Kelompok Suporter Tolak Politisasi Sepak Bola di Pilgub Jakarta 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kelompok suporter klub sepak bola Perserikatan Sepak Bola Jakarta Utara (Persitara), NJ Mania meminta kontestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ( Pilgub) Jakarta 2024 tidak mempolititasi isu sepak bola. Semua pihak diharapkan bisa menjaga suasana kondusif serta tidak menarik sepak bola menjadi isu politik.
Ketua Umum NJ Mania, Parid menilai hal wajar kontestan politik melakukan pendekatan untuk mendapat dukungan dari berbagai pihak. Namun, isu yang berkembang belakangan ini malah menjadi komoditas politik yang berpotensi memecah belah ekosistem sepak bola.
"Tidak salah setiap paslon mencoba membangun relasi dan dukungan dari salah satu kelompok suporter klub besar. Yang jadi persoalan ketika ada politisasi dengan dikotomi identitas dan berpotensi memicu gesekan akar rumput," katanya, Jumat (6/9/2024).
Parid menjelaskan, secara sosial dan psikologis, suporter umumnya memiliki karakter loyal dan militan. Tidak hanya di pinggir lapangan, mereka juga merupakan pribadi yang menjadikan klub idolanya sebagai bagian dari identitas diri.
Kebanyakan dari anggota suporter adalah anak muda yang secara psikologi masih dalam proses pencarian jati diri dan cenderung labil. Karena itu, membuat dikotomi yang tajam dan memancing emosi dengan isu perbedaan identitas klub secara serampangan akan rawan memicu konflik.
Dengan segala pertimbangan tersebut, menurut Parid, politisasi isu sepak bola akan berdampak luas dan berkelanjutan ke depannya. Tidak akan selesai saat kontestasi berkesudahan, dampak perpecahan yang timbul nantinya bakal menjadi akar persoalan dan kerawanan sosial baru.
"Jangan dibuat seolah, misal A adalah pendukung Biru dan musuh dari pendukung oranye. Imbasnya tidak hanya saat Pilgub saja, pasti berkepanjangan," katanya.
Parid menilai, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erik Tohir sedang berupaya membangun harmonisasi ekosistem sepak bola. Tidak hanya berusaha meraih prestasi, visi PSSI ditafsirkannya membangun sepak bola menjadi alat perekat bangsa.
Selain mengingatkan bahaya perpecahan dampak dari politisasi isu sepak bola, Parid juga berharap para kandidat bisa memberikan perhatian dan kesempatan setara kepada seluruh kelompok masyarakat di Jakarta. Misalnya, hak mendapatkan hunian di Rusun JIS tidak hanya diberikan ekslusif kepada warga eks Kampung Bayam.
"Pembangunan JIS serta rusun itu dari duit warga Jakarta. Kesempatan ekslusif memiliki rusun bagi mereka akan membangun kecemburuan dan rasa ketidakadilan bagi masyarakat," ujarnya.
Karena itu, Parid mengimbau para cagub dan cawagub bisa mempelajari lebih dalam tentang akar budaya dan sosial di Jakarta agar memiliki pemahaman yang utuh berbagi hal di Jakarta. Seperti halnya klub sepak bola era perserikatan, dibangun berbasis kota. Jakarta saat ini memiliki 5 kota serta 1 kabupaten administrasi.
"Paslon bertemu Bang Foke untuk memahami budaya Betawi itu sudah langkah bagus. Tapi kami harap juga pelajari akar sosial lain, sehingga akselerasi Jakarta menuju kota global akan lebih smooth dan mulus," katanya.
Ketua Umum NJ Mania, Parid menilai hal wajar kontestan politik melakukan pendekatan untuk mendapat dukungan dari berbagai pihak. Namun, isu yang berkembang belakangan ini malah menjadi komoditas politik yang berpotensi memecah belah ekosistem sepak bola.
"Tidak salah setiap paslon mencoba membangun relasi dan dukungan dari salah satu kelompok suporter klub besar. Yang jadi persoalan ketika ada politisasi dengan dikotomi identitas dan berpotensi memicu gesekan akar rumput," katanya, Jumat (6/9/2024).
Parid menjelaskan, secara sosial dan psikologis, suporter umumnya memiliki karakter loyal dan militan. Tidak hanya di pinggir lapangan, mereka juga merupakan pribadi yang menjadikan klub idolanya sebagai bagian dari identitas diri.
Kebanyakan dari anggota suporter adalah anak muda yang secara psikologi masih dalam proses pencarian jati diri dan cenderung labil. Karena itu, membuat dikotomi yang tajam dan memancing emosi dengan isu perbedaan identitas klub secara serampangan akan rawan memicu konflik.
Dengan segala pertimbangan tersebut, menurut Parid, politisasi isu sepak bola akan berdampak luas dan berkelanjutan ke depannya. Tidak akan selesai saat kontestasi berkesudahan, dampak perpecahan yang timbul nantinya bakal menjadi akar persoalan dan kerawanan sosial baru.
"Jangan dibuat seolah, misal A adalah pendukung Biru dan musuh dari pendukung oranye. Imbasnya tidak hanya saat Pilgub saja, pasti berkepanjangan," katanya.
Parid menilai, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erik Tohir sedang berupaya membangun harmonisasi ekosistem sepak bola. Tidak hanya berusaha meraih prestasi, visi PSSI ditafsirkannya membangun sepak bola menjadi alat perekat bangsa.
Selain mengingatkan bahaya perpecahan dampak dari politisasi isu sepak bola, Parid juga berharap para kandidat bisa memberikan perhatian dan kesempatan setara kepada seluruh kelompok masyarakat di Jakarta. Misalnya, hak mendapatkan hunian di Rusun JIS tidak hanya diberikan ekslusif kepada warga eks Kampung Bayam.
"Pembangunan JIS serta rusun itu dari duit warga Jakarta. Kesempatan ekslusif memiliki rusun bagi mereka akan membangun kecemburuan dan rasa ketidakadilan bagi masyarakat," ujarnya.
Karena itu, Parid mengimbau para cagub dan cawagub bisa mempelajari lebih dalam tentang akar budaya dan sosial di Jakarta agar memiliki pemahaman yang utuh berbagi hal di Jakarta. Seperti halnya klub sepak bola era perserikatan, dibangun berbasis kota. Jakarta saat ini memiliki 5 kota serta 1 kabupaten administrasi.
"Paslon bertemu Bang Foke untuk memahami budaya Betawi itu sudah langkah bagus. Tapi kami harap juga pelajari akar sosial lain, sehingga akselerasi Jakarta menuju kota global akan lebih smooth dan mulus," katanya.
(abd)