Fenomena Kawin Kontrak di Kawasan Puncak Perlahan Tergerus

Selasa, 06 Agustus 2019 - 11:47 WIB
Fenomena Kawin Kontrak di Kawasan Puncak Perlahan Tergerus
Fenomena Kawin Kontrak di Kawasan Puncak Perlahan Tergerus
A A A
BOGOR - Fenomena kawin kontrak antara wisatawan Timur Tengah (Timteng) dengan warga lokal di kawasan Puncak Bogor memang santer pada pertengahan 2009 dan 2015.

Hasil riset Balitbang Kementerian Agama (Kemang) secara garis besar menyatakan ada dua jenis kawin kontrak. Salah satunya sudah menyimpang. Pertama, kawin kontrak yang benar-benar resmi. Kawin kontrak jenis ini, si laki-laki benar-benar bertemu keluarga perempuan untuk meminang.Kemudian oleh tokoh agama setempat dilakukan proses pernikahan resmi. Saksi dan wali nikah juga bisa dipertanggungjawabkan. Sementara jenis kawin kontrak yang berikutnya adalah sudah menjurus pada prostitusi terselubung mulai dari pencatat nikah, saksi, dan wali nikahnya abal-abal.

Semuanya sudah dalam satu jaringan termasuk yang menyediakan vila. Kemudian perempuan yang disiapkan untuk kawin kontrak jenis ini sudah tersedia di sejumlah kosan. Perempuan biasanya dari Cianjur dan Subang. Hal yang membuat resah adalah kawin kontrak mendekati prostitusi terselubung. KORAN SINDO sempat berbincang-bincang dengan wanita pelaku kawin berinisial NL, 35, perempuan asal Cianjur yang kini menetap di kawasan Gadog, Megamendung, Bogor.

Dia mengaku pernah melakukan kawin kontrak pada 2007-2013. “Memang sangat menguntungkan karena saya dikontrak hanya tiga bulan dengan bayaran Rp30-50 juta,” katanya. Namun, kata dia, ada dampak negatif yang dialami selama menjadi pelaku kawin kontrak.

“Saya beberapa kali mengalami kekerasan seksual. Kemudian mereka sewenang-wenang dalam memperlakukan kita, selayaknya budak,” ujarnya. NL mengatakan, hampir setiap malam melayani turis Arab. “Tapi, memang dalam memberikan uang atau nafkah mereka baik. Dalam sebulan bisa memberikan Rp15 juta,” ujarnya.

Bagi masyarakat setempat, fenomena kawin kontrak sangat sensitif karena dampaknya negatif. Sebab banyak hal dilakukan warga untuk mengais rezeki selain dari kawin kontrak. “Kawin kontrak perlahan mulai tergerus seiring perkembangan ekonomi warga yang semakin menggeliat,” ujar SH, 35, salah seorang tukang ojek.

Kawasan Warung Kaleng atau dikenal Kampung Arab memang jauh berbeda dari yang dulu terutama pertumbuhan ekonominya. Padahal 10 tahun lalu, warga Cisarua tepatnya Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan itu dikenal dengan desa tertinggal. Sekarang ekonomi masyarakat semakin bergairah. Hampir 90% warga yang tinggal di kawasan Puncak mengandalkan jasa wisatawan khususnya dari Timur Tengah (Timteng). Bangunan kios atau warung milik warga setempat ataupun warga asal Timteng nyaris sulit dibedakan.

Mereka melebur jadi satu karena sebagian besar tokok bangunan bertulis huruf Arab. Tahun 1991 kawasan ini mulai banyak didatangi pelancong Arab. Seiring berjalannya waktu akhirnya kampung ini menggeliat menjadi Kampung Arab. Para turis melakukan promosi kepada rekan atau saudaranya saat mereka kembali ke kampungnya.

Dampaknya muncullah pengusaha baru dengan membeli sebagian lahan masyarakat dan langsung dibangun usaha yang menguntungkan, seperti restoran, salon, supermarket, biro travel perjalanan wisata, travel mobil, kafe, maupun hiburan dan vila untuk memberikan layanan prima bagi para turis. Jasa penukaran uang pun ketiban rezeki, dolar atau riyal pun ditukar dengan uang rupiah.

Turis Timur tengah menganggap uang rupiah lebih murah dibandingkan uang mereka, kontan saja mereka mesti merasakan perbedaan luar biasa. Walaupun menurut kacamata turis domestik mahal, bagi turis Timur Tengah masih murah dan sangat terjangkau. (Haryudi)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6535 seconds (0.1#10.140)