Denda Progresif dan Mengancam
loading...
A
A
A
"Tidak ada perbedaan dari tiga kali perpanjangan ini. Kita tidak bisa berharap ada perubahan hasil kalau Pemprov DKI hanya berpangku tangan dan sekadar memperpanjang status tanpa ada upaya pencegahan," ungkapnya.
Peningkatan jumlah tes PCR yang selalu digadang-gadang Gubernur Anies harus diimbangi pencegahan dan penertiban ketat protokol kesehatan sehingga tidak membebani tenaga kesehatan yang mulai kewalahan menangani lonjakan pasien positif Covid-19. "Yang terjadi adalah informasi simpang siur di masyarakat, kebijakan rem mendadak hanya menjadi ancaman semu karena hanya Gubernur Anies yang tahu apa maksudnya," keluh Idris.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai positif langkah Pemprov DKI untuk mempersempit penularan Covid-19. Namun, dia menekankan agar Pemprov DKI lebih baik memperketat pengawasan dengan melibatkan masyarakat pada masa PSBB transisi.
"Pengawasan yang dilakukan selama PSBB transisi ini belum ketat dan masyarakat tidak dilibatkan sepenuhnya. Libatkan masyarakat. Percuma denda sebesar apa pun, sanksi pidana saja tidak bisa membuat jera," ucapnya.
Trubus mengingatkan bahwa selain tidak akan efektif tanpa adanya pengawasan, denda progresif justru memperburuk perekonomian yang tengah merosot saat pandemi ini. Hal ini terjadi karena denda progresif nantinya akan membebani pelaku usaha yang akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat. Apalagi pemerintah pusat mengizinkan pelaku usaha beroperasi untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Kalau dikenakan denda progresif, pelaku usaha terbebani. Bisa tutup dia dan akhirnya berdampak terhadap karyawan dan daya beli masyarakat berkurang," tekannya. (Baca juga: Pesan Amien Rais untuk Jowoki: Terus atau Mundur)
Kemarin Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (Ariza) menegaskan adanya pengetatan pengawasan dan penegakan hukum pada masa PSBB transisi yang diperpanjang hingga dua pekan mendatang. Langkah ini diambil dengan alasan status kasus positif Covid-19 di Jakarta masih tinggi. "Semua tempat kita awasi. Kalau sekali melanggar kita kenakan denda, dua kali melanggar dendanya dua kali lipat," ancamnya.
PSBB Transisi dimulai sejak 5 Juni lalu. PSBB transisi fase pertama yang diperpanjang setiap dua pekan itu telah membuka sebagian kegiatan dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Itu sudah berlaku untuk mal atau pusat perbelanjaan, perkantoran, taman, dan sejumlah tempat wisata. Namun, ada beberapa sektor yang belum bisa aktif seperti tempat hiburan malam, resepsi pernikahan, industri pameran/penyewaan tempat pertemuan, konser musik, dan olahraga air.
Satpol PP DKI Jakarta telah menindak 62.158 orang pelanggar PSBB transisi sejak berlaku 5 Juni lalu. Total sanksi denda yang terkumpul mencapai Rp1,5 miliar. Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin memaparkan, untuk kategori perorangan yang melanggar PSBB berjumlah 62.158 orang, yang 55.387 orang di antaranya hanya diberi sanksi sosial. Adapun 6.811 orang telah diberi sanksi denda dengan jumlah yang terkumpul berjumlah Rp1.007.560.000.
Peningkatan jumlah tes PCR yang selalu digadang-gadang Gubernur Anies harus diimbangi pencegahan dan penertiban ketat protokol kesehatan sehingga tidak membebani tenaga kesehatan yang mulai kewalahan menangani lonjakan pasien positif Covid-19. "Yang terjadi adalah informasi simpang siur di masyarakat, kebijakan rem mendadak hanya menjadi ancaman semu karena hanya Gubernur Anies yang tahu apa maksudnya," keluh Idris.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai positif langkah Pemprov DKI untuk mempersempit penularan Covid-19. Namun, dia menekankan agar Pemprov DKI lebih baik memperketat pengawasan dengan melibatkan masyarakat pada masa PSBB transisi.
"Pengawasan yang dilakukan selama PSBB transisi ini belum ketat dan masyarakat tidak dilibatkan sepenuhnya. Libatkan masyarakat. Percuma denda sebesar apa pun, sanksi pidana saja tidak bisa membuat jera," ucapnya.
Trubus mengingatkan bahwa selain tidak akan efektif tanpa adanya pengawasan, denda progresif justru memperburuk perekonomian yang tengah merosot saat pandemi ini. Hal ini terjadi karena denda progresif nantinya akan membebani pelaku usaha yang akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat. Apalagi pemerintah pusat mengizinkan pelaku usaha beroperasi untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Kalau dikenakan denda progresif, pelaku usaha terbebani. Bisa tutup dia dan akhirnya berdampak terhadap karyawan dan daya beli masyarakat berkurang," tekannya. (Baca juga: Pesan Amien Rais untuk Jowoki: Terus atau Mundur)
Kemarin Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (Ariza) menegaskan adanya pengetatan pengawasan dan penegakan hukum pada masa PSBB transisi yang diperpanjang hingga dua pekan mendatang. Langkah ini diambil dengan alasan status kasus positif Covid-19 di Jakarta masih tinggi. "Semua tempat kita awasi. Kalau sekali melanggar kita kenakan denda, dua kali melanggar dendanya dua kali lipat," ancamnya.
PSBB Transisi dimulai sejak 5 Juni lalu. PSBB transisi fase pertama yang diperpanjang setiap dua pekan itu telah membuka sebagian kegiatan dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Itu sudah berlaku untuk mal atau pusat perbelanjaan, perkantoran, taman, dan sejumlah tempat wisata. Namun, ada beberapa sektor yang belum bisa aktif seperti tempat hiburan malam, resepsi pernikahan, industri pameran/penyewaan tempat pertemuan, konser musik, dan olahraga air.
Satpol PP DKI Jakarta telah menindak 62.158 orang pelanggar PSBB transisi sejak berlaku 5 Juni lalu. Total sanksi denda yang terkumpul mencapai Rp1,5 miliar. Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin memaparkan, untuk kategori perorangan yang melanggar PSBB berjumlah 62.158 orang, yang 55.387 orang di antaranya hanya diberi sanksi sosial. Adapun 6.811 orang telah diberi sanksi denda dengan jumlah yang terkumpul berjumlah Rp1.007.560.000.