Denda Progresif dan Mengancam

Jum'at, 14 Agustus 2020 - 06:15 WIB
loading...
Denda Progresif dan Mengancam
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta resmi memperpanjang masa PSBB transisi mulai hari ini, Kamis (13/8/2020) hingga dua pekan mendatang. Perpanjangan ini akan dibarengi denda progresif bagi siapa pun yang melanggar protokol kesehatan Covid-19.

Bagaimana dan seberapa besar denda progresif dimaksud, hingga kemarin belum ada kejelasan. Pemprov masih membahas aturan yang rencananya akan dituangkan dalam peraturan gubernur (pergub). Langkah tegas pada fase PSBB transisi keempat itu diambil karena status kasus positif Covid-19 di Jakarta masih terus meninggi. Denda progresif merupakan bagian dari upaya memperketat pengawasan dan implementasi penegakan hukum.

Namun, sejumlah kalangan pesimistis denda progresif bisa efektif mengendalikan persebaran Covid-19. Pasalnya, selama pandemi berlangsung berbagai kebijakan positif tidak terimplentasikan dengan baik karena lemahnya pengawasan. Mereka melihat sejumlah kebijakan Gubernur Anies Baswedan tidak konsisten dengan upaya menekan penyebarluasan pandemi. (Baca: Sebelum Meninggal, Kadis Pariwisata Sempat Diisolasi karena Sesak Napas)

"Pemprov DKI masih lemah melakukan pengawasan. Pelanggaran masih ditemukan di mana-mana. Saya pesimis ancaman denda progresif ini bisa berjalan mulus," ujar Ketua Fraksi PKB DPRD DKI Jakarta, Hasbiallah Ilyas, kemarin.

Hasbiallah pun menyarankan agar Gubenrur Anies melibatkan pihak kepolisian dan TNI untuk menegakan aturan PSBB kali ini. Dia tidak yakin kalau Satpol PP bisa bergerak sendiri menegakkan aturan ini. "Pengawasan mesti ketat, ide bagus itu kalau koordinasi dengan kepolisian dengan tentara itu turun juga di bawah membantu Satpol PP," katanya.

Denda Progresif dan Mengancam


Tidak jauh beda dengan itu, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Ahmad Idris, juga pesimistis denda progresif bakal berlangsung efektif menekan penyebaran corona. Alasannya, sejumlah kebijakan Pemprov DKI justru kontraproduktif dengan penanganan Covid-19 seperti kebijakan 32 titik pengganti car free day (CFD) dan sistem ganjil-genap.

Idris tidak heran bila dalam dua pekan terakhir positivity rate Jakarta sempat melonjak menjadi 7,1%, jauh di atas standar aman WHO, yakni 5%. Angka kasus positif selama perpanjangan PSBB masa transisi juga meningkat tajam dengan rata-rata kasus 422 orang/hari.

"Kami mendesak Pemprov DKI Jakarta segera membeberkan kebijakan rem darurat yang disiapkan untuk meredam lonjakan kasus di Jakarta. Pengetatan ataupun pelonggaran aturan suatu hal yang lazim dilakukan pada saat Pandemi, terakhir kita lihat kota Manila dan Melbourne kembali memperketat pergerakan warga akibat lonjakan kasus. Gubernur Anies tidak boleh lengah dan ragu untuk menarik rem darurat," katanya dalam siaran tertulisnya, Rabu (5/8/2020). (Baca juga: AS Peringatkan Rusia Tidak Tawarkan Hadiah untuk Tentaranya)

Idris mengungkapkan, saat ini di Jakarta telah merebak kluster-kluster penyebaran infeksi antara lain kluster pasar tradisional yang sudah merambah ke permukiman dan kluster perkantoran. Masyarakat juga cenderung salah mengartikan perpanjangan status PSBB masa transisi sebagai kondisi yang sudah kembali seperti semula.

"Tidak ada perbedaan dari tiga kali perpanjangan ini. Kita tidak bisa berharap ada perubahan hasil kalau Pemprov DKI hanya berpangku tangan dan sekadar memperpanjang status tanpa ada upaya pencegahan," ungkapnya.

Peningkatan jumlah tes PCR yang selalu digadang-gadang Gubernur Anies harus diimbangi pencegahan dan penertiban ketat protokol kesehatan sehingga tidak membebani tenaga kesehatan yang mulai kewalahan menangani lonjakan pasien positif Covid-19. "Yang terjadi adalah informasi simpang siur di masyarakat, kebijakan rem mendadak hanya menjadi ancaman semu karena hanya Gubernur Anies yang tahu apa maksudnya," keluh Idris.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai positif langkah Pemprov DKI untuk mempersempit penularan Covid-19. Namun, dia menekankan agar Pemprov DKI lebih baik memperketat pengawasan dengan melibatkan masyarakat pada masa PSBB transisi.

"Pengawasan yang dilakukan selama PSBB transisi ini belum ketat dan masyarakat tidak dilibatkan sepenuhnya. Libatkan masyarakat. Percuma denda sebesar apa pun, sanksi pidana saja tidak bisa membuat jera," ucapnya.

Trubus mengingatkan bahwa selain tidak akan efektif tanpa adanya pengawasan, denda progresif justru memperburuk perekonomian yang tengah merosot saat pandemi ini. Hal ini terjadi karena denda progresif nantinya akan membebani pelaku usaha yang akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat. Apalagi pemerintah pusat mengizinkan pelaku usaha beroperasi untuk menjaga daya beli masyarakat.

Denda Progresif dan Mengancam


"Kalau dikenakan denda progresif, pelaku usaha terbebani. Bisa tutup dia dan akhirnya berdampak terhadap karyawan dan daya beli masyarakat berkurang," tekannya. (Baca juga: Pesan Amien Rais untuk Jowoki: Terus atau Mundur)

Kemarin Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (Ariza) menegaskan adanya pengetatan pengawasan dan penegakan hukum pada masa PSBB transisi yang diperpanjang hingga dua pekan mendatang. Langkah ini diambil dengan alasan status kasus positif Covid-19 di Jakarta masih tinggi. "Semua tempat kita awasi. Kalau sekali melanggar kita kenakan denda, dua kali melanggar dendanya dua kali lipat," ancamnya.

PSBB Transisi dimulai sejak 5 Juni lalu. PSBB transisi fase pertama yang diperpanjang setiap dua pekan itu telah membuka sebagian kegiatan dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Itu sudah berlaku untuk mal atau pusat perbelanjaan, perkantoran, taman, dan sejumlah tempat wisata. Namun, ada beberapa sektor yang belum bisa aktif seperti tempat hiburan malam, resepsi pernikahan, industri pameran/penyewaan tempat pertemuan, konser musik, dan olahraga air.

Satpol PP DKI Jakarta telah menindak 62.158 orang pelanggar PSBB transisi sejak berlaku 5 Juni lalu. Total sanksi denda yang terkumpul mencapai Rp1,5 miliar. Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin memaparkan, untuk kategori perorangan yang melanggar PSBB berjumlah 62.158 orang, yang 55.387 orang di antaranya hanya diberi sanksi sosial. Adapun 6.811 orang telah diberi sanksi denda dengan jumlah yang terkumpul berjumlah Rp1.007.560.000.

Selanjutnya, kegiatan-kegiatan sosial budaya dan pariwisata yang ditindak ada sekitar 58 tempat dengan 26 tempat di antaranya disegel. Adapun 24 tempat lainnya dikenai denda dan delapan lainnya diberi teguran tertulis. Dari pelanggaran jenis ini terkumpul jumlah denda mencapai Rp193.500.000.

Selain itu, Satpol PP telah menindak pelanggaran di fasilitas-fasilitas umum. Total ada 601 pelanggar yang ditindak dengan 503 di antaranya mendapat sanksi teguran tertulis dan 98 pelanggar dikenai sanksi denda. Jumlah denda yang dikumpulkan Rp369.850.000. Alhasil, keseluruhan denda yang dikumpulkan selama masa PSBB transisi mencapai Rp1.570.000.000. (Baca juga: Pemulung Mencuri di Rumah Mewah, Sebagian Uang Curian Dibagikan ke Fakir Miskin)

Arifin mengakui, sanksi sosial dan sanksi denda yang diberikan itu belum memberi efek jera bagi masyarakat. Untuk itu, saat ini Pemprov DKI Jakarta tengah menyusun peraturan sanksi hasil evaluasi yang dilakukan selama ini. "Nanti akan dikenakan sanksi denda progresif bagi siapa saja pelanggar yang berulang kali melakukan pelanggaran," ancamnya.

Polri Utamakan Pendekatan Preventif

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono menegaskan, dalam penegakan protokol kesehatan di masyarakat Polri menggunakan preventif dan pre-emtif. Alasannya, operasi untuk penegakan protokol kesehatan agar masyarakat aman dari Covid-19 adalah operasi kemanusiaan.

Meski demikian, Awi menggariskan, jika pelanggaran terhadap Undang-Undang Karantina, ITE, maupun KUHP, itu sudah masuk ke ranah Polri. “Karena memang kami ini operasinya operasi kemanusiaan. Kami sampaikan lebih ke preventif dan pre-emtif,” katanya dalam diskusi di Media Center Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, kemarin. (Lihat videonya: Hujan Es Disertai Angin Kencang Terjadi di Cimahi)

Awi menuturkan, penegakan sanksi kepada masyarakat pelanggar protokol kesehatan ada di tangan pemerintah daerah melalui peraturan daerah. Awi pun mendorong pemda untuk mendesain sanksi dalam rangka penegakan hukumnya. Dia memberikan apresiasi kepada pemda yang memberikan saksi sosial agar menjadi efek jera kepada pelanggar protokol kesehatan. (Bima Setiyadi/Binti Mufarida)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1753 seconds (0.1#10.140)