Pembangunan MRT Fase II, Dana Rp25,1 Triliun Akhirnya Disetujui DPRD
A
A
A
JAKARTA - PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta akhirnya mendapatkan persetujuan dana sebesar Rp25,1 triliun dari DPRD untuk melanjutkan pembangunan jalur MRT hingga Kampung Bandan.
Kepala Bidang Perkretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, mengatakan, pembangunan MRT fase II (Bundaran HI)- Kampung Bandan memang membutuhkan dana besar dibanding fase I (Lebak Bulus- Bundaran HI) yang hanya menghabiskan dana sekitar Rp16 triliun. Sebab, fase II seluruhnya berada di bawah tanah dan bahkan ada sekitar 40 meter berada di bawah sungai yang tentunya memiliki kedalaman lebih dibanding di bawah tanah.
Apabila melihat pembangunan fase I yang melintas Kanal Banjir Barat (KBB), lanjut Adit, kedalaman bisa mencapai lebih dari lima sampai delapan meter dari pengeboran bawah tanah pada umumnya. Biayanya pun diprediksi sekitar Rp1,5 triliun.
"Kalau Rp2,7 triliun per kilometer saya tidak paham apa konsennya? Tapi pastinya lebih mahal dari fase I yang kilometernya Rp1 triliun," ujar Aditya Dwi Laksana saat dihubungi Minggu (27/8/2017).
Adit menjelaskan, PT MRT sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta yang ditunjuk Pemprov DKI telah memiliki kontraktor dan sub kontraktor untuk membangun transportasi berbasis rel tersebut. Untuk itu, MRT harus lebih meningkatkan pengawasan dan memiliki estimasi perencanaan yang matang.
Lemahnya pengawasan MRT terhadap kontraktor dan sub kontraktor, kata Adit, telah terjadi pada MRT fase I hingga akhirnya muncul dana tambahan di ujung pengerjaan. Dimana, ada pembangunan jalur layang fase I mengalami kesalahan teknis akibat kurangnya kerja sama antara sub kontraktor dan pihak kontraktor sehingga mengharuskan kerja ulang.
"Jadi dengan biaya yang jauh lebih tinggi, MRT harus cermat dalam estimasi perencanaan dan harus meningkatkan kordinasi antara sub kontraktor dan kontraktor," ungkapnya.
Mantan Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) bidang perkretaapian itu melihat rencana pembangunan MRT fase II, khususnya depo Kampung Bandan di atas lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) belum matang. Apalagi sebelumnya DKI memiliki rencana membangun Depo di kawasan Ancol. Meskipun PT KAI mempersilakan lahannya digunakan untuk Depo, kerja sama bisnis to bisnis antara PT KAI dengan MRT belum ada perjanjian yang pasti.
Direktur Utama PT MRT, William Sabandar, menegaskan, proyek pembangunan MRT fase II yang rencananya mulai pada akhir 2018 cukup berat karena seluruhnya dibangun secara underground. Untuk itu, dana pembangunan per kilometer membengkak jauh ketimbang fase I rute Lebak Bulus - Bundaran HI, yakni sekitar Rp2,7 triliun.
Selain itu, kata William, pembangunan fase II paling rumit ada di sepanjang kali Molenvliet yang membelah jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada. Dimana, nantinya rute MRT akan melintas di bawah kali Molenvliet tersebut. Artinya, pihakny akan membangun saluran baru untuk menampung dan mengalirkan sementara air di kali yang dibangun pada tahun 1648 tersebut.
"Jadi kontruksi untuk fase II akan dibangunan sampai kedalaman 30 meter. Kalau fase I kan hanya 18 - 19 meter saja titik terdalamnya dan biayanya Rp1 triliun per kilometer. Nanti perlu ada relokasi kali Molenvliet juga selama pengerjaan. Makanya kita butuh teknologi yang lebih canggih" ungkapnya.
Anggaran Rp 2,7 triliun perkilometer itu, lanjut William, adalah anggaran perencanaan, bukan anggaran pasti. Angka tersebut merupakan hasil dari rekomendasi feasibility study dan itu yang menjadi alasan dirinya dalam meminta persetujuan DPRD DKI terkait dana tersebut.
"MRT fase II juga akan melewati kawasan Kota Tua dimana banyak terdapat peninggalan cagar budaya. Rp 2,7 per kilometer itu sudah mengakomodir apabila terjadi perubahan-perubahan akibat kondisi di lapangan," jelas William.
Persetujuan dana Rp 25,1 triliun dari DPRD DKI itu terjadi pada Jumat (25/8) malam. Dimana malam itu Ketua DPRD DKI, Prasetio Edi Marsudi harus menyusul Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik menuju Mekkah yang sedang menunaikan ibadah haji.
Taufik sebelum berangkat menyampaikan bahwa tidak akan menyetujui permintaan dana PT MRT sebesar Rp25,1 triliun. Sebab, PT MRT tidak dapat menjelaskan kenapa anggaran tersebut dibebankan semua ke DKI mengingat dalam aturannya pemerintah pusat berkewajiban mendanani 49% pembangunan MRT.
Selain itu, PT MRT juga belum dapat menjelaskan kenapa ada tambahan anggaran MRT fase 1 sebesar Rp2,5 triliun yang dimasukan dalam anggaran fase II hingga totalnya menjadi Rp25,1 triliun.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana yang ikut menyetujui dana MRT fase II, mengatakan, saat rapat persetujuan pembangunan fase II ada beberapa pertanyaan krusial dari anggota dewan. Namun, jawaban dari pihak MRT tak bisa membuat pihak DPRD menolak, sebab kaitannya adalah keselamatan para penumpang MRT.
"Mereka bilang bahwa konstruksi di fase II bakal lebih rumit karena melewati kali hayam wuruk. Jadi nanti ada rute di fase II dimana MRT berjalan dibawah kali," pungkasnya.
Kepala Bidang Perkretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, mengatakan, pembangunan MRT fase II (Bundaran HI)- Kampung Bandan memang membutuhkan dana besar dibanding fase I (Lebak Bulus- Bundaran HI) yang hanya menghabiskan dana sekitar Rp16 triliun. Sebab, fase II seluruhnya berada di bawah tanah dan bahkan ada sekitar 40 meter berada di bawah sungai yang tentunya memiliki kedalaman lebih dibanding di bawah tanah.
Apabila melihat pembangunan fase I yang melintas Kanal Banjir Barat (KBB), lanjut Adit, kedalaman bisa mencapai lebih dari lima sampai delapan meter dari pengeboran bawah tanah pada umumnya. Biayanya pun diprediksi sekitar Rp1,5 triliun.
"Kalau Rp2,7 triliun per kilometer saya tidak paham apa konsennya? Tapi pastinya lebih mahal dari fase I yang kilometernya Rp1 triliun," ujar Aditya Dwi Laksana saat dihubungi Minggu (27/8/2017).
Adit menjelaskan, PT MRT sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta yang ditunjuk Pemprov DKI telah memiliki kontraktor dan sub kontraktor untuk membangun transportasi berbasis rel tersebut. Untuk itu, MRT harus lebih meningkatkan pengawasan dan memiliki estimasi perencanaan yang matang.
Lemahnya pengawasan MRT terhadap kontraktor dan sub kontraktor, kata Adit, telah terjadi pada MRT fase I hingga akhirnya muncul dana tambahan di ujung pengerjaan. Dimana, ada pembangunan jalur layang fase I mengalami kesalahan teknis akibat kurangnya kerja sama antara sub kontraktor dan pihak kontraktor sehingga mengharuskan kerja ulang.
"Jadi dengan biaya yang jauh lebih tinggi, MRT harus cermat dalam estimasi perencanaan dan harus meningkatkan kordinasi antara sub kontraktor dan kontraktor," ungkapnya.
Mantan Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) bidang perkretaapian itu melihat rencana pembangunan MRT fase II, khususnya depo Kampung Bandan di atas lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) belum matang. Apalagi sebelumnya DKI memiliki rencana membangun Depo di kawasan Ancol. Meskipun PT KAI mempersilakan lahannya digunakan untuk Depo, kerja sama bisnis to bisnis antara PT KAI dengan MRT belum ada perjanjian yang pasti.
Direktur Utama PT MRT, William Sabandar, menegaskan, proyek pembangunan MRT fase II yang rencananya mulai pada akhir 2018 cukup berat karena seluruhnya dibangun secara underground. Untuk itu, dana pembangunan per kilometer membengkak jauh ketimbang fase I rute Lebak Bulus - Bundaran HI, yakni sekitar Rp2,7 triliun.
Selain itu, kata William, pembangunan fase II paling rumit ada di sepanjang kali Molenvliet yang membelah jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada. Dimana, nantinya rute MRT akan melintas di bawah kali Molenvliet tersebut. Artinya, pihakny akan membangun saluran baru untuk menampung dan mengalirkan sementara air di kali yang dibangun pada tahun 1648 tersebut.
"Jadi kontruksi untuk fase II akan dibangunan sampai kedalaman 30 meter. Kalau fase I kan hanya 18 - 19 meter saja titik terdalamnya dan biayanya Rp1 triliun per kilometer. Nanti perlu ada relokasi kali Molenvliet juga selama pengerjaan. Makanya kita butuh teknologi yang lebih canggih" ungkapnya.
Anggaran Rp 2,7 triliun perkilometer itu, lanjut William, adalah anggaran perencanaan, bukan anggaran pasti. Angka tersebut merupakan hasil dari rekomendasi feasibility study dan itu yang menjadi alasan dirinya dalam meminta persetujuan DPRD DKI terkait dana tersebut.
"MRT fase II juga akan melewati kawasan Kota Tua dimana banyak terdapat peninggalan cagar budaya. Rp 2,7 per kilometer itu sudah mengakomodir apabila terjadi perubahan-perubahan akibat kondisi di lapangan," jelas William.
Persetujuan dana Rp 25,1 triliun dari DPRD DKI itu terjadi pada Jumat (25/8) malam. Dimana malam itu Ketua DPRD DKI, Prasetio Edi Marsudi harus menyusul Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik menuju Mekkah yang sedang menunaikan ibadah haji.
Taufik sebelum berangkat menyampaikan bahwa tidak akan menyetujui permintaan dana PT MRT sebesar Rp25,1 triliun. Sebab, PT MRT tidak dapat menjelaskan kenapa anggaran tersebut dibebankan semua ke DKI mengingat dalam aturannya pemerintah pusat berkewajiban mendanani 49% pembangunan MRT.
Selain itu, PT MRT juga belum dapat menjelaskan kenapa ada tambahan anggaran MRT fase 1 sebesar Rp2,5 triliun yang dimasukan dalam anggaran fase II hingga totalnya menjadi Rp25,1 triliun.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana yang ikut menyetujui dana MRT fase II, mengatakan, saat rapat persetujuan pembangunan fase II ada beberapa pertanyaan krusial dari anggota dewan. Namun, jawaban dari pihak MRT tak bisa membuat pihak DPRD menolak, sebab kaitannya adalah keselamatan para penumpang MRT.
"Mereka bilang bahwa konstruksi di fase II bakal lebih rumit karena melewati kali hayam wuruk. Jadi nanti ada rute di fase II dimana MRT berjalan dibawah kali," pungkasnya.
(thm)