Ombudsman: Bukan Ganjil Genap, yang Diperlukan Pembatasan Pegawai di Instansi Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya (Ombudsman Jakarta Raya) mempertanyakan alasan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta memberlakukan ganjil genap mulai Senin, 3 Agustus 2020. Pemberlakuan ganjil genap di tengah kenaikan angka Covid yang terus naik di Jakarta merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan tidak memiliki perspektif yang utuh tentang kebencanaan.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho mengatakan, penyelesaian kemacetan di Jakarta selama masa PSBB transisi I dan II harus berangkat dari akar masalahnya. Ombudsman Jakarta Raya menengarai tingginya angka pelaju dari wilayah penyangga Jakarta yang menyebabkan kemacetan di jam-jam sibuk dan penumpukan penumpang di transportasi publik khususnya Commuter Line disebabkan oleh ketidakpatuhan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD juga perusahaan swasta dalam membatasi jumlah pegawainya yang harus masuk bekerja.
Dalam Focus Group Discussion yang diadakan oleh Ombudsman Jakarta Raya pada 26 Juni 2020 lalu, lembaga pengawas pelayanan publik tersebut menemukan fakta dari data yang disampaikan para pemangku kepentingan di bidang transportasi, termasuk PT KCI, Dirlantas Polda Metro Jaya, Transjakarta, Dishub dan Organda bahwa kenaikan pengguna transportasi pribadi dan transportasi publik naik sejak pemberlakuan PSBB transisi 1 dan 2 di jam-jam sibuk.
“Dengan segala upaya yang luar biasa, termasuk memberlakukan contra flow di beberapa lajur tol dan rekayasa lalu lintas, Ditlantas Polda Metro Jaya memang sudah mengakui perlunya dilakukan evaluasi terkait pemberlakukan ganjil genap di Jakarta,” kata Teguh dalam siaran tertulisnya, Senin (3/8/2020). (Baca: Langgar Aturan Ganjil Genap, 45 Mobil Kena Teguran di Jakarta Barat)
Saat FGD, disampaikan bahwa angka kepadatan lalu lintas pada jam sibuk di ruas tol wilayah Jakarta dan arus jalan dalam kota sudah mencapai kepadatan 96% dari angka normal sebelum pandemi. Sementara PT KCI juga mencatatkan pertumbuhan penumpang Commuter Line mencapai angka 4-7% per minggunya dan pada bulan Juli 2020 mencatatkan angka tertinggi mencapai 420.000 penumpang/hari atau mendekati angka psikologis 50% dari total penumpang harian sebelum pandemi berlangsung.
Angka ini belum mencakup para pelaju yang mempergunakan kendaraan roda dua sebagai alat transportasi harian mereka ke tempat kerja. Menurut Ombudsman, masalah utama dalam kepadatan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya adalah tingginya jumlah pelaju yang berangkat dan pulang dari tempat kerja. “Kami memperkirakan dengan total penggabungan angka pelaju pengguna Commuter Line, kendaraan pribadi roda empat dan roda dua, jumlah warga yang berangkat dan pulang dari tempat kerjanya diatas angka 75%,” ungkapnya.
Sehingga, lanjut Teguh, yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta. Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta yang bekerja di Jakarta.
Memberlakukan ganjil genap tanpa didahului melakukan pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga dan perusahaan yang melanggar hanya akan mengalihkan para pelaju dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik. "Kebijakan Dishub DKI yang memberlakukan ganjil genap pada hari Senin, 3 Agustus 2020 jelas mendorong munculnya kluster transmisi Covid-19 ke transportasi publik,” pungkasnya.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho mengatakan, penyelesaian kemacetan di Jakarta selama masa PSBB transisi I dan II harus berangkat dari akar masalahnya. Ombudsman Jakarta Raya menengarai tingginya angka pelaju dari wilayah penyangga Jakarta yang menyebabkan kemacetan di jam-jam sibuk dan penumpukan penumpang di transportasi publik khususnya Commuter Line disebabkan oleh ketidakpatuhan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD juga perusahaan swasta dalam membatasi jumlah pegawainya yang harus masuk bekerja.
Dalam Focus Group Discussion yang diadakan oleh Ombudsman Jakarta Raya pada 26 Juni 2020 lalu, lembaga pengawas pelayanan publik tersebut menemukan fakta dari data yang disampaikan para pemangku kepentingan di bidang transportasi, termasuk PT KCI, Dirlantas Polda Metro Jaya, Transjakarta, Dishub dan Organda bahwa kenaikan pengguna transportasi pribadi dan transportasi publik naik sejak pemberlakuan PSBB transisi 1 dan 2 di jam-jam sibuk.
“Dengan segala upaya yang luar biasa, termasuk memberlakukan contra flow di beberapa lajur tol dan rekayasa lalu lintas, Ditlantas Polda Metro Jaya memang sudah mengakui perlunya dilakukan evaluasi terkait pemberlakukan ganjil genap di Jakarta,” kata Teguh dalam siaran tertulisnya, Senin (3/8/2020). (Baca: Langgar Aturan Ganjil Genap, 45 Mobil Kena Teguran di Jakarta Barat)
Saat FGD, disampaikan bahwa angka kepadatan lalu lintas pada jam sibuk di ruas tol wilayah Jakarta dan arus jalan dalam kota sudah mencapai kepadatan 96% dari angka normal sebelum pandemi. Sementara PT KCI juga mencatatkan pertumbuhan penumpang Commuter Line mencapai angka 4-7% per minggunya dan pada bulan Juli 2020 mencatatkan angka tertinggi mencapai 420.000 penumpang/hari atau mendekati angka psikologis 50% dari total penumpang harian sebelum pandemi berlangsung.
Angka ini belum mencakup para pelaju yang mempergunakan kendaraan roda dua sebagai alat transportasi harian mereka ke tempat kerja. Menurut Ombudsman, masalah utama dalam kepadatan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya adalah tingginya jumlah pelaju yang berangkat dan pulang dari tempat kerja. “Kami memperkirakan dengan total penggabungan angka pelaju pengguna Commuter Line, kendaraan pribadi roda empat dan roda dua, jumlah warga yang berangkat dan pulang dari tempat kerjanya diatas angka 75%,” ungkapnya.
Sehingga, lanjut Teguh, yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta. Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta yang bekerja di Jakarta.
Memberlakukan ganjil genap tanpa didahului melakukan pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga dan perusahaan yang melanggar hanya akan mengalihkan para pelaju dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik. "Kebijakan Dishub DKI yang memberlakukan ganjil genap pada hari Senin, 3 Agustus 2020 jelas mendorong munculnya kluster transmisi Covid-19 ke transportasi publik,” pungkasnya.
(hab)