Wakil Wali Kota Bogor: Ada Oknum Orang Tua yang Manfaatkan Kemudahan Numpang Domisili untuk PPDB
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Wali Kota Bogor , Dedie A. Rachim mengatakan dipermudahnya semua urusan dan pelayanan kependudukan terhadap masyarakat, menjadi salah satu faktor polemik adanya ‘numpang domisili atau numpang Kartu Keluarga (KK)’ dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) .
"Di dalam peraturan soal kependudukan kan di zaman sekarang ini semua urusan masyarakat harus dipermudah. Nah ini juga akhirnya bertolak belakang, Disatu sisi RT/RW ya sudah mereka memberikan keterangan domisili. Kemudian setelah RT/RW memberikan keterangan domisili tentu kelurahan melaksanakan proses administrasi," kata Dedie dalam diskusi Polemik MNC Trijaya secara daring, Sabtu (8/7/2023).
Karena kemudahan itu, lanjut Dedie, timbul lah kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh beberapa oknum orang tua murid.
"Dan karena kemudahan itulah menimbulkan kecurangan-kecurangan yang asli yang dirugikan banyak tetapi kemudian permasalahan-permasalahan seperti ini muncul terus," jelasnya.
Permasalahan lainnya, kata Dedie yakni terkait kewenangan penanganan tingkat pendidikan hingga SLTA yang ada di pemerintah provinsi sulit untuk dilakukan koordinasi.
Maka dari itu, menurut Dedie, ke depan perlu adanya satu pintu di Pemda untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dari SD hingga SMA.
"Karena kalau sekarang kita kesulitan betul bagaimana mengatasi urusan-urusan bukan hanya zonasi, misalnya tawuran, kenakalan, urusan-urusan sosial lainnya yang kemudian karena perbedaan atau bukan kewenangan maka sulit sekali kita melaksanakan koordinasi," ujarnya.
Tidak hanya itu, Dedie mengungkapkan permasalahan lainnya yakni terkait rasio sekolah. Di Bogor jumlah SD Negeri sebanyak 218, SMP Negeri berjumlah 20, dan SMA Negeri hanya 10.
"Nah ini yang dikerubuti ini SMP Negeri dan SMA Negeri. Nah mungkin juga harus bisa mengeluarkan semacam rekomendasi tentang jumlah rasio perbandingan ya yang paling ril supaya tidak kemudian terjadi permasalahan-permasalahan," ungkap Dedie.
"Kemudian juga pembagian zonasi harus berkeadilan bisa saja ada aturannya misalnya setiap kecamatan atau dengan jumlah penduduk tertentu harus ada satu SMA negeri. Nah ini mungkin yang bisa menyelamatkan kedepan supaya rasa keadilan masyarakat bisa terpenuhi," ucapnya.
"Di dalam peraturan soal kependudukan kan di zaman sekarang ini semua urusan masyarakat harus dipermudah. Nah ini juga akhirnya bertolak belakang, Disatu sisi RT/RW ya sudah mereka memberikan keterangan domisili. Kemudian setelah RT/RW memberikan keterangan domisili tentu kelurahan melaksanakan proses administrasi," kata Dedie dalam diskusi Polemik MNC Trijaya secara daring, Sabtu (8/7/2023).
Karena kemudahan itu, lanjut Dedie, timbul lah kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh beberapa oknum orang tua murid.
"Dan karena kemudahan itulah menimbulkan kecurangan-kecurangan yang asli yang dirugikan banyak tetapi kemudian permasalahan-permasalahan seperti ini muncul terus," jelasnya.
Permasalahan lainnya, kata Dedie yakni terkait kewenangan penanganan tingkat pendidikan hingga SLTA yang ada di pemerintah provinsi sulit untuk dilakukan koordinasi.
Maka dari itu, menurut Dedie, ke depan perlu adanya satu pintu di Pemda untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dari SD hingga SMA.
"Karena kalau sekarang kita kesulitan betul bagaimana mengatasi urusan-urusan bukan hanya zonasi, misalnya tawuran, kenakalan, urusan-urusan sosial lainnya yang kemudian karena perbedaan atau bukan kewenangan maka sulit sekali kita melaksanakan koordinasi," ujarnya.
Tidak hanya itu, Dedie mengungkapkan permasalahan lainnya yakni terkait rasio sekolah. Di Bogor jumlah SD Negeri sebanyak 218, SMP Negeri berjumlah 20, dan SMA Negeri hanya 10.
"Nah ini yang dikerubuti ini SMP Negeri dan SMA Negeri. Nah mungkin juga harus bisa mengeluarkan semacam rekomendasi tentang jumlah rasio perbandingan ya yang paling ril supaya tidak kemudian terjadi permasalahan-permasalahan," ungkap Dedie.
"Kemudian juga pembagian zonasi harus berkeadilan bisa saja ada aturannya misalnya setiap kecamatan atau dengan jumlah penduduk tertentu harus ada satu SMA negeri. Nah ini mungkin yang bisa menyelamatkan kedepan supaya rasa keadilan masyarakat bisa terpenuhi," ucapnya.
(hab)