Pemprov DKI Diminta Tak Terburu-buru Terapkan ERP untuk Atasi Kemacetan
loading...
A
A
A
“Hal ini terjadi karena sistem transportasi publik kita belum bisa diandalkan, integrasinya belum siap sehingga biaya menggunakan transportasi publik menjadi cukup mahal. Karena itu, transportasi publik harus dibenahi dulu baru kemudian ERP diterapkan,” ungkapnya.
Belakangan ini di tengah masifnya pembangunan transportasi publik, keterbatasan kapasitas transportasi publik dalam menampung mobilitas penduduk kembali menjadi sorotan. Seperti fenomena menumpuknya penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Manggarai pada jam-jam sibuk.
Di saat yang sama keterisian masih belum dapat mencapai tingkat keterisian yang ditargetkan oleh Pemprov DKI sebesar 70 ribu setiap harinya.
Jika pemerintah memaksakan penerapan ERP, juga akan berdampak luas pada aktivitas masyarakat dan semakin membuat lebar kesenjangan sosial. Contohnya para pengguna ojek online yang kabarnya juga akan dikenakan tarif ERP.
Maka siapa yang harus membayar biaya ERP, apakah masyarakat, driver, atau aplikator tentu hal tersebut akan menjadi perdebatan kembali. “Kalau aplikator maupun driver ojol yang dikenakan, maka ada tambahan beban biaya di mereka. Sementara jika biaya tersebut dibebankan ke pelanggan dengan cara menaikkan tarif akan membebani masyarakat dan ojol akan kehilangan pelanggan,” ujar Nirwono.
Dampak paling akhir yakni jika seluruh biaya operasional masyarakat di ibu kota semakin tinggi, bukan tidak mungkin pelaku bisnis akan hengkang dan memindahkan kantor mereka ke luar Jakarta.
Menanggapi itu, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, masih terus menggodok kebijakan ERP karena hingga kini masih dalam tahap pengkajian.
Dia membuka kesempatan bagi masyarakat yang hendak memberi masukan dan aspirasi terkait wacana tersebut. Adanya ERP sebagai upaya Pemprov DKI mengatasi kemacetan di Jakarta.
“Rencana implementasinya masih butuh waktu panjang. Aturannya pun masih dalam proses kajian. Silakan bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan aspirasinya,” kata Heru.
Belakangan ini di tengah masifnya pembangunan transportasi publik, keterbatasan kapasitas transportasi publik dalam menampung mobilitas penduduk kembali menjadi sorotan. Seperti fenomena menumpuknya penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Manggarai pada jam-jam sibuk.
Di saat yang sama keterisian masih belum dapat mencapai tingkat keterisian yang ditargetkan oleh Pemprov DKI sebesar 70 ribu setiap harinya.
Jika pemerintah memaksakan penerapan ERP, juga akan berdampak luas pada aktivitas masyarakat dan semakin membuat lebar kesenjangan sosial. Contohnya para pengguna ojek online yang kabarnya juga akan dikenakan tarif ERP.
Maka siapa yang harus membayar biaya ERP, apakah masyarakat, driver, atau aplikator tentu hal tersebut akan menjadi perdebatan kembali. “Kalau aplikator maupun driver ojol yang dikenakan, maka ada tambahan beban biaya di mereka. Sementara jika biaya tersebut dibebankan ke pelanggan dengan cara menaikkan tarif akan membebani masyarakat dan ojol akan kehilangan pelanggan,” ujar Nirwono.
Dampak paling akhir yakni jika seluruh biaya operasional masyarakat di ibu kota semakin tinggi, bukan tidak mungkin pelaku bisnis akan hengkang dan memindahkan kantor mereka ke luar Jakarta.
Menanggapi itu, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, masih terus menggodok kebijakan ERP karena hingga kini masih dalam tahap pengkajian.
Dia membuka kesempatan bagi masyarakat yang hendak memberi masukan dan aspirasi terkait wacana tersebut. Adanya ERP sebagai upaya Pemprov DKI mengatasi kemacetan di Jakarta.
“Rencana implementasinya masih butuh waktu panjang. Aturannya pun masih dalam proses kajian. Silakan bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan aspirasinya,” kata Heru.
(jon)