Pemprov DKI Diminta Tak Terburu-buru Terapkan ERP untuk Atasi Kemacetan

Senin, 13 Februari 2023 - 20:34 WIB
loading...
Pemprov DKI Diminta Tak Terburu-buru Terapkan ERP untuk Atasi Kemacetan
Rencana Pemprov DKI Jakarta menerapkan sistem Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar menuai sorotan dari berbagai kalangan. Foto: Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Rencana Pemprov DKI Jakarta menerapkan sistem Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar menuai sorotan dari berbagai kalangan. Pasalnya, untuk bisa menerapkan ERP secara efektif dibutuhkan kajian yang benar-benar merepresentasikan perilaku mobilitas publik.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga mengatakan, Pemprov DKI harus mengkaji ulang beberapa poin penting dan tidak terpaku pada opsi ERP saja.

Salah satu hal yang disoroti yakni pemilihan 25 ruas jalan yang harus mensyaratkan lebar jalur yang ada.
Baca juga: Wacana ERP di Jakarta, Sahroni: Asas Manfaat Harus Diperhatikan

“Yang paling penting, di ruas jalan tersebut sudah ada transportasi publik yang memenuhi syarat seperti dekat lokasi perkantoran. Tujuan utamanya tentu mengurai kemacetan lalu lintas sehingga mendorong masyarakat pindah ke angkutan umum,” ujar Nirwono, Senin (13/2/2023).

Sejauh ini, baru ada beberapa ruas jalan yang paling siap fasilitas angkutan publiknya seperti Jalan Sudirman-Thamrin, MT Haryono, Gatot Subroto, dan Rasuna Said. Sementara di beberapa ruas jalan lain masih ada permukiman sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut akan merasa dirugikan.

Yang juga harus diperhatikan adalah sasaran ERP warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sementara warga di luar Jabodetabek yang hanya sesekali melewati jalan tersebut kemungkinan tidak punya aplikasi ERP di kendaraannya.

“ERP ini sebaiknya jangan diberlakukan dulu di lokasi-lokasi yang ada permukimannya. Masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun di situ dan belum tentu menggunakan transportasi publik pasti akan komplain. Pertanyaannya, apakah kalau ERP ini diterapkan kemacetan akan berkurang? Belum tentu juga kan,” katanya.

Sejatinya ada beberapa opsi lain yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi kemacetan. Salah satunya pengenaan biaya parkir progresif. Misalnya, untuk tarif parkir yang lokasinya berada semakin ke pusat kota, maka tarif parkirnya semakin mahal. Selain itu, juga perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat transportasi publik.

“Jadi ada alternatif-alternatif lain yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan lalu lintas,” ujar Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti ini.

Yang terpenting, menata kawasan secara keseluruhan. Sebelum rencana penerapan ERP, sebenarnya Pemprov DKI sudah menerapkan sistem 3 in 1 dan ganjil-genap. Namun, upaya-upaya yang sejatinya diciptakan untuk mengurangi volume kendaraan di jalan-jalan sibuk tersebut terbukti tidak berjalan efektif dalam mengurai kemacetan dan berulang kali dievaluasi.

“Hal ini terjadi karena sistem transportasi publik kita belum bisa diandalkan, integrasinya belum siap sehingga biaya menggunakan transportasi publik menjadi cukup mahal. Karena itu, transportasi publik harus dibenahi dulu baru kemudian ERP diterapkan,” ungkapnya.

Belakangan ini di tengah masifnya pembangunan transportasi publik, keterbatasan kapasitas transportasi publik dalam menampung mobilitas penduduk kembali menjadi sorotan. Seperti fenomena menumpuknya penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Manggarai pada jam-jam sibuk.

Di saat yang sama keterisian masih belum dapat mencapai tingkat keterisian yang ditargetkan oleh Pemprov DKI sebesar 70 ribu setiap harinya.

Jika pemerintah memaksakan penerapan ERP, juga akan berdampak luas pada aktivitas masyarakat dan semakin membuat lebar kesenjangan sosial. Contohnya para pengguna ojek online yang kabarnya juga akan dikenakan tarif ERP.

Maka siapa yang harus membayar biaya ERP, apakah masyarakat, driver, atau aplikator tentu hal tersebut akan menjadi perdebatan kembali. “Kalau aplikator maupun driver ojol yang dikenakan, maka ada tambahan beban biaya di mereka. Sementara jika biaya tersebut dibebankan ke pelanggan dengan cara menaikkan tarif akan membebani masyarakat dan ojol akan kehilangan pelanggan,” ujar Nirwono.

Dampak paling akhir yakni jika seluruh biaya operasional masyarakat di ibu kota semakin tinggi, bukan tidak mungkin pelaku bisnis akan hengkang dan memindahkan kantor mereka ke luar Jakarta.

Menanggapi itu, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, masih terus menggodok kebijakan ERP karena hingga kini masih dalam tahap pengkajian.

Dia membuka kesempatan bagi masyarakat yang hendak memberi masukan dan aspirasi terkait wacana tersebut. Adanya ERP sebagai upaya Pemprov DKI mengatasi kemacetan di Jakarta.

“Rencana implementasinya masih butuh waktu panjang. Aturannya pun masih dalam proses kajian. Silakan bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan aspirasinya,” kata Heru.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1654 seconds (0.1#10.140)