Pemprov DKI Diminta Tak Terburu-buru Terapkan ERP untuk Atasi Kemacetan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana Pemprov DKI Jakarta menerapkan sistem Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar menuai sorotan dari berbagai kalangan. Pasalnya, untuk bisa menerapkan ERP secara efektif dibutuhkan kajian yang benar-benar merepresentasikan perilaku mobilitas publik.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga mengatakan, Pemprov DKI harus mengkaji ulang beberapa poin penting dan tidak terpaku pada opsi ERP saja.
Salah satu hal yang disoroti yakni pemilihan 25 ruas jalan yang harus mensyaratkan lebar jalur yang ada.
Baca juga: Wacana ERP di Jakarta, Sahroni: Asas Manfaat Harus Diperhatikan
“Yang paling penting, di ruas jalan tersebut sudah ada transportasi publik yang memenuhi syarat seperti dekat lokasi perkantoran. Tujuan utamanya tentu mengurai kemacetan lalu lintas sehingga mendorong masyarakat pindah ke angkutan umum,” ujar Nirwono, Senin (13/2/2023).
Sejauh ini, baru ada beberapa ruas jalan yang paling siap fasilitas angkutan publiknya seperti Jalan Sudirman-Thamrin, MT Haryono, Gatot Subroto, dan Rasuna Said. Sementara di beberapa ruas jalan lain masih ada permukiman sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut akan merasa dirugikan.
Yang juga harus diperhatikan adalah sasaran ERP warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sementara warga di luar Jabodetabek yang hanya sesekali melewati jalan tersebut kemungkinan tidak punya aplikasi ERP di kendaraannya.
“ERP ini sebaiknya jangan diberlakukan dulu di lokasi-lokasi yang ada permukimannya. Masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun di situ dan belum tentu menggunakan transportasi publik pasti akan komplain. Pertanyaannya, apakah kalau ERP ini diterapkan kemacetan akan berkurang? Belum tentu juga kan,” katanya.
Sejatinya ada beberapa opsi lain yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi kemacetan. Salah satunya pengenaan biaya parkir progresif. Misalnya, untuk tarif parkir yang lokasinya berada semakin ke pusat kota, maka tarif parkirnya semakin mahal. Selain itu, juga perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat transportasi publik.
“Jadi ada alternatif-alternatif lain yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan lalu lintas,” ujar Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti ini.
Yang terpenting, menata kawasan secara keseluruhan. Sebelum rencana penerapan ERP, sebenarnya Pemprov DKI sudah menerapkan sistem 3 in 1 dan ganjil-genap. Namun, upaya-upaya yang sejatinya diciptakan untuk mengurangi volume kendaraan di jalan-jalan sibuk tersebut terbukti tidak berjalan efektif dalam mengurai kemacetan dan berulang kali dievaluasi.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga mengatakan, Pemprov DKI harus mengkaji ulang beberapa poin penting dan tidak terpaku pada opsi ERP saja.
Salah satu hal yang disoroti yakni pemilihan 25 ruas jalan yang harus mensyaratkan lebar jalur yang ada.
Baca juga: Wacana ERP di Jakarta, Sahroni: Asas Manfaat Harus Diperhatikan
“Yang paling penting, di ruas jalan tersebut sudah ada transportasi publik yang memenuhi syarat seperti dekat lokasi perkantoran. Tujuan utamanya tentu mengurai kemacetan lalu lintas sehingga mendorong masyarakat pindah ke angkutan umum,” ujar Nirwono, Senin (13/2/2023).
Sejauh ini, baru ada beberapa ruas jalan yang paling siap fasilitas angkutan publiknya seperti Jalan Sudirman-Thamrin, MT Haryono, Gatot Subroto, dan Rasuna Said. Sementara di beberapa ruas jalan lain masih ada permukiman sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut akan merasa dirugikan.
Yang juga harus diperhatikan adalah sasaran ERP warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sementara warga di luar Jabodetabek yang hanya sesekali melewati jalan tersebut kemungkinan tidak punya aplikasi ERP di kendaraannya.
“ERP ini sebaiknya jangan diberlakukan dulu di lokasi-lokasi yang ada permukimannya. Masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun di situ dan belum tentu menggunakan transportasi publik pasti akan komplain. Pertanyaannya, apakah kalau ERP ini diterapkan kemacetan akan berkurang? Belum tentu juga kan,” katanya.
Sejatinya ada beberapa opsi lain yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi kemacetan. Salah satunya pengenaan biaya parkir progresif. Misalnya, untuk tarif parkir yang lokasinya berada semakin ke pusat kota, maka tarif parkirnya semakin mahal. Selain itu, juga perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat transportasi publik.
“Jadi ada alternatif-alternatif lain yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan lalu lintas,” ujar Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti ini.
Yang terpenting, menata kawasan secara keseluruhan. Sebelum rencana penerapan ERP, sebenarnya Pemprov DKI sudah menerapkan sistem 3 in 1 dan ganjil-genap. Namun, upaya-upaya yang sejatinya diciptakan untuk mengurangi volume kendaraan di jalan-jalan sibuk tersebut terbukti tidak berjalan efektif dalam mengurai kemacetan dan berulang kali dievaluasi.