95.668 Penduduk Jakarta Masih Miskin Ekstrem
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penduduk Jakarta yang masuk kategori miskin ekstrem masih cukup tinggii. Data Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2022 kemiskinan ekstrem di Jakarta mencapai 0,89 persen atau 95.668 jiwa.
Fakta itu disampaikan Kepala Bagian Umum BPS DKI Jakarta Suryana usai mengikuti rapat terbatas (ratas) membahas kemiskinan ekstrem di Ibu Kota bersama Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), di Balai Kota, Senin (30/1/2023).
Suryana membeberkan, fakta di lapangan yang ditemui oleh BPS DKI Jakarta melalui survei sosial ekonomi yang dilakukan dua kali dalam setahun, masih ditemukan sampel rumah tangga yang teridentifikasi sebagai penduduk miskin ekstrem.
"Arahan Pak Pj Gubernur tadi, bahwa akan ditelusuri siapa (yang tergolong penduduk dengan kemiskinan ekstrem) dan di mananya (lokasinya), sehingga terlebih dahulu akan dilakukan verifikasi data," ujar Suryana.
Selanjutnya, pihaknya akan melakukan intervensi terbaik agar kemiskinan ekstrem di DKI Jakarta bisa tertuntaskan. Hal itu sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi yang memberikan target angka kemiskinan di Tanah Air mencapai 0 persen.
Untuk itu, PJ Gubernur Heru menginstruksikan agar dalam waktu singkat dapat ditemukan akar masalah kemiskinan ekstrem, sehingga dapat dilakukan intervensi yang tepat sasaran. Selain itu, memastikan data selalu terupdate.
"Saya sudah minta kepada BKKBN untuk menetapkan sampel dan memastikan data-data yang ada di Carik Jakarta (yang juga sudah terkoneksi dengan BKKBN) selalu update dan sasarannya tepat,” kata Heru.
Nantinya akan ada profiling (pemetaan) dan verifikasi data untuk dicocokkan dengan program bantuan sosial (bansos) Pemprov DKI. Hal senada juga diutarakan Sekretaris Utama BKKBN Tavip Agus Rayanto yang melihat jumlah bantuan yang diberikan pemerintah seharusnya tidak ada penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem.
"Dari jumlah bantuan yang ada, logikanya harusnya sudah tidak ada penduduk miskin ekstrem jika tidak ada pertambahan penduduk baru lagi. Karena sebetulnya orang-orang yang ada di DKI sudah diintervensi dengan berbagai skema (bantuan) yang ada. Inilah justru sedang dicari akar persoalannya," ujar Tavip.
Terdapat perbedaan antara kemiskinan secara umum dan kemiskinan ekstrem. Tavip menuturkan, penghitungan kemiskinan umum dilakukan menggunakan garis batas yang disebut garis kemiskinan.
Sementara garis kemiskinan ekstrem itu angkanya lebih rendah (dari garis kemiskinan umum) lagi di angka setara USD1,9 (Purchasing Power Parity) atau keseimbangan kemampuan berbelanja.
"Kalau dikonversikan ke rupiah senilai Rp11.633 per orang per hari atau Rp350.000 per orang per bulan. Jadi orang akan terkategori sebagai penduduk miskin ekstrem kalau pengeluaran per kapita per harinya itu di bawah Rp11.633 atau secara akumulasi rumah tangga pengeluarannya di bawah Rp350.000 per kapita per bulan," jelasnya.
Fakta itu disampaikan Kepala Bagian Umum BPS DKI Jakarta Suryana usai mengikuti rapat terbatas (ratas) membahas kemiskinan ekstrem di Ibu Kota bersama Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), di Balai Kota, Senin (30/1/2023).
Baca Juga
Suryana membeberkan, fakta di lapangan yang ditemui oleh BPS DKI Jakarta melalui survei sosial ekonomi yang dilakukan dua kali dalam setahun, masih ditemukan sampel rumah tangga yang teridentifikasi sebagai penduduk miskin ekstrem.
"Arahan Pak Pj Gubernur tadi, bahwa akan ditelusuri siapa (yang tergolong penduduk dengan kemiskinan ekstrem) dan di mananya (lokasinya), sehingga terlebih dahulu akan dilakukan verifikasi data," ujar Suryana.
Baca Juga
Selanjutnya, pihaknya akan melakukan intervensi terbaik agar kemiskinan ekstrem di DKI Jakarta bisa tertuntaskan. Hal itu sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi yang memberikan target angka kemiskinan di Tanah Air mencapai 0 persen.
Untuk itu, PJ Gubernur Heru menginstruksikan agar dalam waktu singkat dapat ditemukan akar masalah kemiskinan ekstrem, sehingga dapat dilakukan intervensi yang tepat sasaran. Selain itu, memastikan data selalu terupdate.
"Saya sudah minta kepada BKKBN untuk menetapkan sampel dan memastikan data-data yang ada di Carik Jakarta (yang juga sudah terkoneksi dengan BKKBN) selalu update dan sasarannya tepat,” kata Heru.
Nantinya akan ada profiling (pemetaan) dan verifikasi data untuk dicocokkan dengan program bantuan sosial (bansos) Pemprov DKI. Hal senada juga diutarakan Sekretaris Utama BKKBN Tavip Agus Rayanto yang melihat jumlah bantuan yang diberikan pemerintah seharusnya tidak ada penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem.
"Dari jumlah bantuan yang ada, logikanya harusnya sudah tidak ada penduduk miskin ekstrem jika tidak ada pertambahan penduduk baru lagi. Karena sebetulnya orang-orang yang ada di DKI sudah diintervensi dengan berbagai skema (bantuan) yang ada. Inilah justru sedang dicari akar persoalannya," ujar Tavip.
Terdapat perbedaan antara kemiskinan secara umum dan kemiskinan ekstrem. Tavip menuturkan, penghitungan kemiskinan umum dilakukan menggunakan garis batas yang disebut garis kemiskinan.
Sementara garis kemiskinan ekstrem itu angkanya lebih rendah (dari garis kemiskinan umum) lagi di angka setara USD1,9 (Purchasing Power Parity) atau keseimbangan kemampuan berbelanja.
"Kalau dikonversikan ke rupiah senilai Rp11.633 per orang per hari atau Rp350.000 per orang per bulan. Jadi orang akan terkategori sebagai penduduk miskin ekstrem kalau pengeluaran per kapita per harinya itu di bawah Rp11.633 atau secara akumulasi rumah tangga pengeluarannya di bawah Rp350.000 per kapita per bulan," jelasnya.
(thm)