Saatnya Evaluasi Zonasi PPDB

Sabtu, 04 Juli 2020 - 06:16 WIB
Foto/Koran SINDO
JAKARTA - Penerimaan peserta didik baru (PPDB) menimbulkan polemik. Penyebabnya, peraturan PPDB untuk Tahun Ajaran 2020-2021 dengan dasar hukum Permendikbud Nomor 44/2019 dinilai masih kaku. Pada ketentuan penerimaan melalui jalur zonasi, misalnya, diberlakukan dengan mengacu pada jarak terdekat antara rumah siswa dan sekolah yang dituju.

Kuota paling sedikit untuk penerimaan dari jalur ini adalah 50% dari daya tampung sekolah sehingga terbuka peluang sebuah sekolah hanya akan diisi oleh siswa yang berdomisili dekat dengan lokasi sekolah. Tak hanya itu, penerimaan melalui jalur ini juga dinilai rawan tindakan pemalsuan keterangan domisili.

Jalur zonasi seharusnya mampu memberikan keadilan bagi siswa untuk dapat bersekolah sesuai pilihan. Bukan membatasi hak siswa untuk mengakses sarana dan prasarana pendidikan. Polemik tersebut terjadi di seluruh Indonesia. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan sistem PPDB paling rumit dan membingungkan. Misalnya, penggunaan umur sebagai dasar menentukan penerimaan siswa pada jalur zonasi.



Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta menggunakan jalur zonasi berbasis kelurahan hingga rukun warga (RW). Adapun usia digunakan sebagai cara menerima siswa saat berkaitan dengan daya tampung sekolah. Inilah salah satu sumber masalah yang diprotes para orang tua siswa. (Baca: Intip Payudara Pelanggan, Karyawan Starbuck Ditetapkan Tersangka)

Pemprov DKI berdalih, ketentuan tersebut ada dalam Permendikbud Nomor 44/2019, bahwa untuk setiap jenjang pendidikan disyaratkan adanya usia minimal dan maksimal yang mesti dipenuhi calon peserta didik baru (CPDB). Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menuturkan, kisruh PPDB bukan terjadi kali ini saja, tapi rutin dari tahun ke tahun. "Bahkan sejak periode pertama Presiden Jokowi yang lalu," jelas Ubaid di Jakarta kemarin.

Menurut dia, kisruh ini kembali muncul lantaran terjadi pembiaran. Padahal, pemerintah sebenarnya tahu potensi ini kerap muncul setiap tahun. Terlebih proses PPDB tahun ini berlangsung di tengah wabah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. "Tiap tahun ramai seperti ini, tapi tidak ada penyelesaiannya. Itu namanya pembiaran," tudingnya.

Ubaid juga menganggap munculnya polemik PPDB tahun ini karena bagian dari sistem PPDB yang setengah hati, atau lebih tepatnya zonasi setengah hati. "Penerapan zonasi yang masih 50% juga turut menyumbang masalah baru bagi daerah-daerah, sehingga hal ini mempengaruhi kualitas pendidikan kita," tambahnya.

Sejumlah daerah menerapkan secara kaku Permendikbud Nomor 44/2019. Provinsi DKI Jakarta, misalnya, memberlakukan ketentuan untuk pemenuhan kuota atau daya tampung terakhir dilakukan menggunakan ketentuan usia peserta didik yang lebih tua sesuai dengan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.

Hal inilah yang kemudian PPDB DKI Jakarta menjadi kisruh. Di Provinsi Banten, beberapa kabupaten/kota menetapkan klausul zonasi secara kaku, yaitu ada sekolah yang kuotanya dipenuhi oleh siswa yang berdomisili tak lebih dari 1 kilometer dari lokasi sekolah.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More