Profil Hakim Artidjo Alkostar Ditakuti Koruptor dan Pernah Vonis Mati Ryan Jombang
Sabtu, 02 April 2022 - 10:59 WIB
JAKARTA - Artidjo Alkostar nama salah satu hakim di Indonesia ini pastinya tak asing lagi di telinga. Sosok Artidjo Alkosar merupakan hakim yang paling ditakuti oleh koruptor .
Selain ditakuti para koruptor, Artidjo juga tercatat sebagai hakim yang menjatuhkan vonis mati terhadap Ryan Jombang pada 5 Juli 2012. Diketahui, Ryan Jombang sempat mengajukan peninjauan kembali kepada MA, namun peninjauan tersebut ditolak.
Artidjo Alkostar lahir pada 22 Mei 1948 di Situbondo. Ia merupakan lulusan sarjana hukum di Fakultas Hukum Univesitas Islam Indonesia pada 1976. Kemudian ia melanjutkan gelar magister di Universitas Northwestern Chicago Amerika Serikat pada tahun 2002.
Artidjo meraih gelar doktor di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Ia mengawali kariernya menjadi dosen pengajar di FH UII Yogyakarta pada tahun 1976. Kemudian Artidjo bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan pernah menjabat sebagai direktur dan wakil direktur. Ia juga pernah bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun.
Sepulang dari Amerika, Artidjo mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates. Pada tahun 2000, ia terpilih sebagai Hakim Agung Republik Indonesia. Ia menjabat Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Indonesia sejak 2007 hingga pensiun pada tahun 2018. Artidjo kerap menangani kasus-kasus besar, seperti kasus Santa Cruz (Timor Timur), kasus pembunuhan wartawan Bernas Muhammad Syafruddin, suap impor daging, dan suap ketua Mahkamah Konstitusi.
Namanya juga mencuat ketika ia memberikan vonis 12 tahun penjara kepada Angelina Sondakh, di tingkat kasasi. Padahal semula Angelina hanya divonis 4 tahun, yang kemudian berubah jadi 10 tahun setelah peninjauan kembali.
Artidjo juga merupakan hakim yang menolak kasasi Anas Urbaningrum atas kasus vonis 8 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Anas Urbaningrum bahkan diperberat dari hukuman 8 tahun menjadi 14 tahun.
Selama menjadi hakim, ia dikenal dengan kesederhanaannya karena sedikit berbicara namun lebih banyak bekerja. Ia merupakan hakim yang memegang teguh prinsip-prinsip hidup dan berintegritas tinggi. Pengakuan integritasnya itu diakui oleh tokoh-tokoh di Indonesia seperti Mahfud MD.
Mahfud MD pernah menyebutkan bahwa hakim Artidjo merupakan sosok hebat yang memiliki integritas tinggi dalam menegakkan keadilan. Ia kerap memberikan hukuman tertinggi pada para koruptor.
Setelah pensiun pada 22 Mei 2018, tercatat Artidjo telah menyelesaikan sebanyak 19.708 berkas perkara di Mahkamah Agung. Ia kemudian menjadi Dewan Pengawas KPK periode 2019-2021.
Artidjo tutup usia pada 28 Februari 2021 di usianya yang ke 73 tahun. Pada 4 Agustus 2021, Presiden Jokowi memberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana untuk Artidjo.
Semasa hidup, ia juga aktif dalam dunia akademis. Ia memiliki banyak tulisan dalam buku, jurnal, artikel dan opini yang telah diterbitkan. Beberapa buku tulisannya yaitu, Identitas Hukum Nasional, Negara Tanpa Hukum, dan Korupsi Politik di Negara Modern.
Lihat Juga: Panggilan Yang Mulia bagi Hakim Berlebihan, Mahfud MD: Lebih Layak Disebut Yang Terhinakan
Selain ditakuti para koruptor, Artidjo juga tercatat sebagai hakim yang menjatuhkan vonis mati terhadap Ryan Jombang pada 5 Juli 2012. Diketahui, Ryan Jombang sempat mengajukan peninjauan kembali kepada MA, namun peninjauan tersebut ditolak.
Artidjo Alkostar lahir pada 22 Mei 1948 di Situbondo. Ia merupakan lulusan sarjana hukum di Fakultas Hukum Univesitas Islam Indonesia pada 1976. Kemudian ia melanjutkan gelar magister di Universitas Northwestern Chicago Amerika Serikat pada tahun 2002.
Artidjo meraih gelar doktor di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Ia mengawali kariernya menjadi dosen pengajar di FH UII Yogyakarta pada tahun 1976. Kemudian Artidjo bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan pernah menjabat sebagai direktur dan wakil direktur. Ia juga pernah bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun.
Sepulang dari Amerika, Artidjo mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates. Pada tahun 2000, ia terpilih sebagai Hakim Agung Republik Indonesia. Ia menjabat Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Indonesia sejak 2007 hingga pensiun pada tahun 2018. Artidjo kerap menangani kasus-kasus besar, seperti kasus Santa Cruz (Timor Timur), kasus pembunuhan wartawan Bernas Muhammad Syafruddin, suap impor daging, dan suap ketua Mahkamah Konstitusi.
Namanya juga mencuat ketika ia memberikan vonis 12 tahun penjara kepada Angelina Sondakh, di tingkat kasasi. Padahal semula Angelina hanya divonis 4 tahun, yang kemudian berubah jadi 10 tahun setelah peninjauan kembali.
Artidjo juga merupakan hakim yang menolak kasasi Anas Urbaningrum atas kasus vonis 8 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Anas Urbaningrum bahkan diperberat dari hukuman 8 tahun menjadi 14 tahun.
Selama menjadi hakim, ia dikenal dengan kesederhanaannya karena sedikit berbicara namun lebih banyak bekerja. Ia merupakan hakim yang memegang teguh prinsip-prinsip hidup dan berintegritas tinggi. Pengakuan integritasnya itu diakui oleh tokoh-tokoh di Indonesia seperti Mahfud MD.
Mahfud MD pernah menyebutkan bahwa hakim Artidjo merupakan sosok hebat yang memiliki integritas tinggi dalam menegakkan keadilan. Ia kerap memberikan hukuman tertinggi pada para koruptor.
Setelah pensiun pada 22 Mei 2018, tercatat Artidjo telah menyelesaikan sebanyak 19.708 berkas perkara di Mahkamah Agung. Ia kemudian menjadi Dewan Pengawas KPK periode 2019-2021.
Artidjo tutup usia pada 28 Februari 2021 di usianya yang ke 73 tahun. Pada 4 Agustus 2021, Presiden Jokowi memberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana untuk Artidjo.
Semasa hidup, ia juga aktif dalam dunia akademis. Ia memiliki banyak tulisan dalam buku, jurnal, artikel dan opini yang telah diterbitkan. Beberapa buku tulisannya yaitu, Identitas Hukum Nasional, Negara Tanpa Hukum, dan Korupsi Politik di Negara Modern.
Lihat Juga: Panggilan Yang Mulia bagi Hakim Berlebihan, Mahfud MD: Lebih Layak Disebut Yang Terhinakan
(hab)
tulis komentar anda