Mengintip Pesona Nara Kupu Village, Surga Buku dan Penghasil Sayuran Organik
Rabu, 10 November 2021 - 06:27 WIB
DEPOK - Nara Kupu Village punya pesona berbeda di antara secret gem yang kita kenal. Tempat itu menawarkan narasi alam di mana buku-buku, sayuran hidroponik , serta hewan-hewan seperti rusa dan angsa bisa berinteraksi langsung dengan manusia.
Di jalan beraspal kasar, dua mobil yang berlawanan arah maju perlahan-lahan, menghindari singgungan. Jalan mobil memang tak terlalu lebar. Apalagi di tepi jalan ibu-ibu tampak melangkah beriringan, pergi kondangan ke sebuah rumah yang menyelenggarakan pernikahan. Di situlah sebuah pesta yang diiringi penyanyi dangdut dengan rok pendek dan organ tunggal tengah digelar.
Suasana berubah total ketika gerbang masuk dibuka. Gemuruh dangdut mendadak senyap, satu-satunya bunyi berasal dari 11 ekor angsa yang senantiasa sibuk mengeksplorasi kolam berair dangkal dan lapangan rumput hijau. Sementara, sembilan ekor rusa tutul yang sesungguhnya merupakan pusat perhatian pengunjung, dengan matanya yang besar diam-diam mengamati dari kejauhan.
Rusa-rusa cantik, sehat, yang terbiasa dengan kehadiran manusia itu tak ragu menghampiri pengunjung yang menyodorkan penganan spesial: wortel, juga biskuit. Bahkan si Rambo, begitu salah satu rusa yang paling senior di komunitas itu dipanggil, terkadang menggosokkan kepalanya yang bertanduk tumpul dan badannya kepada pengunjung, pertanda ia menginginkan biskuit di tangan pengunjung. Biskuit adalah suplemen makanannya.
Sejak 2015, rusa tutul jadi penduduk resmi Nara Kupu Village. Dan Si Rambo, sang kepala suku yang disegani komunitasnya, merupakan generasi kedua dari hewan yang jinak ini.
Nara Kupu Village memang bukan situs yang terasing dari lingkungan perkampungan yang cukup padat di Sawangan, Depok. Setiap pagi, sebelum azan subuh, pengunjung bisa mendengar ratib, tahlil dan tarhim dari pengeras suara langgar dan masjid setempat. Namun Kupu Nara Village adalah secret gem. Ada ketenangan yang reflektif, ada “permata tersembunyi” di antara pemukiman penduduk, perumahan-perumahan dan hijau pepohonan di mana patung Dewi Sri, sang dewi kesuburan dari bahan fiber, tegak di pinggir kolam sambil menuangkan air kehidupan dari sebuah kendi.
Sosok Dewi Sri seakan mengingatkan kembali bahwa Indonesia adalah negara agrarisyang telah ditinggalkan para petani mudanya, seraya mencari kerja ke sentra-sentra industri di kota. Kepada para pengunjung yang berasal dari kota-kota Jakarta, Bogor bahkan Bandung,Nara Kupu Village memang menyodorkan sebuah narasi pertanian: kisah perjalanan panjang sebelum sayur-mayur dari tanah pertanian yang subur itu dihidangkan di ruang makan keluarga. Suatu ide sederhana, namun amat penting disimak anak-anak kota yang selama ini terasingkan dari kehidupan agraris.
Nara Kupu Village adalah secret gem yang bisa “bercerita” banyak. Tiap-tiap pagi Ismail, 19 tahun, pemuda asal Cianjur, Jawa Barat, mengontrolderetan sayur selada, kale, bayam dan caisim muda yang tertata rapi pada pipa-pipa paralon yang berlubang. Di lahan hidroponik ini, bibit-bibit tanaman itu disemai pada rockwool, spons mungil berukuran 2 x 2 cm yang berfungsi menggantikan tanah, dialiri air yang mengandung nutrisi tanaman AB Mixed, sebelum akhirnya bisa dipanen lima minggu kemudian.
Khusus untuk menghalau kutu, Ismail secara reguler menyemprotkan air yang mengandung brontowali dan tembakau pada daun-daun muda mereka. Ya, di lahan hidroponik yang tak banyak menyita ruang itu, bibit-bibit sayuran tumbuh menjadi tanaman “bayi”, menjadi “remaja,” lalu sayur yang siap dipanen dan dikemas, untuk dikirim ke Kedai Sayur Kendal, Jakarta.
Di jalan beraspal kasar, dua mobil yang berlawanan arah maju perlahan-lahan, menghindari singgungan. Jalan mobil memang tak terlalu lebar. Apalagi di tepi jalan ibu-ibu tampak melangkah beriringan, pergi kondangan ke sebuah rumah yang menyelenggarakan pernikahan. Di situlah sebuah pesta yang diiringi penyanyi dangdut dengan rok pendek dan organ tunggal tengah digelar.
Suasana berubah total ketika gerbang masuk dibuka. Gemuruh dangdut mendadak senyap, satu-satunya bunyi berasal dari 11 ekor angsa yang senantiasa sibuk mengeksplorasi kolam berair dangkal dan lapangan rumput hijau. Sementara, sembilan ekor rusa tutul yang sesungguhnya merupakan pusat perhatian pengunjung, dengan matanya yang besar diam-diam mengamati dari kejauhan.
Rusa-rusa cantik, sehat, yang terbiasa dengan kehadiran manusia itu tak ragu menghampiri pengunjung yang menyodorkan penganan spesial: wortel, juga biskuit. Bahkan si Rambo, begitu salah satu rusa yang paling senior di komunitas itu dipanggil, terkadang menggosokkan kepalanya yang bertanduk tumpul dan badannya kepada pengunjung, pertanda ia menginginkan biskuit di tangan pengunjung. Biskuit adalah suplemen makanannya.
Sejak 2015, rusa tutul jadi penduduk resmi Nara Kupu Village. Dan Si Rambo, sang kepala suku yang disegani komunitasnya, merupakan generasi kedua dari hewan yang jinak ini.
Nara Kupu Village memang bukan situs yang terasing dari lingkungan perkampungan yang cukup padat di Sawangan, Depok. Setiap pagi, sebelum azan subuh, pengunjung bisa mendengar ratib, tahlil dan tarhim dari pengeras suara langgar dan masjid setempat. Namun Kupu Nara Village adalah secret gem. Ada ketenangan yang reflektif, ada “permata tersembunyi” di antara pemukiman penduduk, perumahan-perumahan dan hijau pepohonan di mana patung Dewi Sri, sang dewi kesuburan dari bahan fiber, tegak di pinggir kolam sambil menuangkan air kehidupan dari sebuah kendi.
Sosok Dewi Sri seakan mengingatkan kembali bahwa Indonesia adalah negara agrarisyang telah ditinggalkan para petani mudanya, seraya mencari kerja ke sentra-sentra industri di kota. Kepada para pengunjung yang berasal dari kota-kota Jakarta, Bogor bahkan Bandung,Nara Kupu Village memang menyodorkan sebuah narasi pertanian: kisah perjalanan panjang sebelum sayur-mayur dari tanah pertanian yang subur itu dihidangkan di ruang makan keluarga. Suatu ide sederhana, namun amat penting disimak anak-anak kota yang selama ini terasingkan dari kehidupan agraris.
Nara Kupu Village adalah secret gem yang bisa “bercerita” banyak. Tiap-tiap pagi Ismail, 19 tahun, pemuda asal Cianjur, Jawa Barat, mengontrolderetan sayur selada, kale, bayam dan caisim muda yang tertata rapi pada pipa-pipa paralon yang berlubang. Di lahan hidroponik ini, bibit-bibit tanaman itu disemai pada rockwool, spons mungil berukuran 2 x 2 cm yang berfungsi menggantikan tanah, dialiri air yang mengandung nutrisi tanaman AB Mixed, sebelum akhirnya bisa dipanen lima minggu kemudian.
Khusus untuk menghalau kutu, Ismail secara reguler menyemprotkan air yang mengandung brontowali dan tembakau pada daun-daun muda mereka. Ya, di lahan hidroponik yang tak banyak menyita ruang itu, bibit-bibit sayuran tumbuh menjadi tanaman “bayi”, menjadi “remaja,” lalu sayur yang siap dipanen dan dikemas, untuk dikirim ke Kedai Sayur Kendal, Jakarta.
tulis komentar anda