Sempat Dirawat di Rumah Sakit, Pengusaha Diskotek Pepen Meninggal Terpapar Covid-19
Selasa, 20 Juli 2021 - 21:31 WIB
JAKARTA - Pengusaha diskotek Arifin Widjaja alias Pepen, meninggal di RSPP Simprug pada Jumat, 16 Juli 2021. Tahanan Rutan Kelas I Kabupaten Tangerang yang perkaranya masih dalam tahap banding di Pengadilan Tinggi Banten dirawat sejak Rabu, 7 Juli 2021 setelah mengeluh demam dan berdasarkan pemeriksaan pihak rutan terpapar Covid-19.
"Kami sangat menyesalkan Pak Arifin yang telah berusia lanjut ditahan dan akhirnya meninggal karena terpapar Covid-19 di dalam rutan. Kami pernah meminta kepada Pengadilan dan Kejaksaan agar Pak Arifin dialihkan penahanannya menjadi tahanan kota atau tahanan rumah karena berusia lanjut," kata Kuasa Hukum Arifin, H Onggowijaya, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/7/2021).
Onggo menjelaskan, sebelum insiden ini pihaknya sempat mengkhawatirkan kesehatan Arifin yang sudah berusia lanjut dan punya riwayat penyakit. Pihaknya juga sudah mengajukan penangguhan penahanan namun tidak dikabulkan.
Sementara kasus yang membelit Arifin berawal dari transaksi tanah sekitar 53 hektare di daerah Kohod, Kabupaten Tangerang, pada Februari 2017. Pembeli tanah bernama Hengki Lohanda membeli tanah dari Arifin dengan membayar uang muka 30% atau sekitar Rp11,9 Miliar.
Arifin hanya 2 kali bertemu dengan Henki, yaitu pertama kali di Restoran Jakarta Barat untuk menyepakati harga transaksi Rp75.000 meter persegi. Dan kedua kalinya saat penandatanganan PPJB di Kantor Notaris Martianis.
Sebelum transaksi, Hengki melalui mediator mensyaratkan untuk pembayaran 30% dari harga transaksi harus ada Nomor NIB dari ke-22 bidang tanah tersebut, dan permasalahan timbul karena nomor yang tercantum dalam akta PPJB bukan nomor NIB tetapi nomor urut hasil pencatatan peta bidang tanah yang diurus oleh mediator.
Fakta persidangan terungkap bahwa Notaris pernah menawarkan agar untuk NIB diurus oleh Notaris, namun pembeli menolak dan lebih memilih pengurusan NIB dilakukan oleh mediator bernama Syam.
Menurut Onggo, Arifin sama sekali tidak tahu soal NIB dan ia juga mempercayakan kepada mediator untuk mengurusnya bahkan telah mengeluarkan uang sebesar Rp250 juta untuk biaya pengukuran ulang tanah. Berdasarkan permasalahan NIB inilah Arifin dituduh melakukan penipuan dan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
"Di persidangan semua saksi mengatakan Pak Arifin tidak pernah menyuruh siapapun memasukan kata NIB apalagi nomor NIB yang tidak benar, oleh karenanya Pak Arifin dinyatakan oleh Pengadilan tidak terbukti memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Perkara ini pertama kali dilaporkan Hengki Lohanda ke Polda Metro Jaya 5 April 2017 dan penyidikan telah dihentikan (SP3) berdasarkan putusan Praperadilan 2018, anehnya Pak Arifin dilaporkan lagi di tahun yang sama dengan obyek dan bukti yang sama, sehingga beliau terjerat kasus hukum ini dan meninggal dunia," jelas Onggo.
Onggo menyesalkan meninggalnya Arifin lantaran seharusnya dalam perkara, kliennya dapat ditetapkan restorative justice karena telah mengembalikan uang Rp11,9 miliar ke PT SKG sebelum berkasnya dinyatakan lengkap oleh kejaksaan.
"Kami sangat menyesalkan Pak Arifin yang telah berusia lanjut ditahan dan akhirnya meninggal karena terpapar Covid-19 di dalam rutan. Kami pernah meminta kepada Pengadilan dan Kejaksaan agar Pak Arifin dialihkan penahanannya menjadi tahanan kota atau tahanan rumah karena berusia lanjut," kata Kuasa Hukum Arifin, H Onggowijaya, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/7/2021).
Onggo menjelaskan, sebelum insiden ini pihaknya sempat mengkhawatirkan kesehatan Arifin yang sudah berusia lanjut dan punya riwayat penyakit. Pihaknya juga sudah mengajukan penangguhan penahanan namun tidak dikabulkan.
Baca Juga
Sementara kasus yang membelit Arifin berawal dari transaksi tanah sekitar 53 hektare di daerah Kohod, Kabupaten Tangerang, pada Februari 2017. Pembeli tanah bernama Hengki Lohanda membeli tanah dari Arifin dengan membayar uang muka 30% atau sekitar Rp11,9 Miliar.
Arifin hanya 2 kali bertemu dengan Henki, yaitu pertama kali di Restoran Jakarta Barat untuk menyepakati harga transaksi Rp75.000 meter persegi. Dan kedua kalinya saat penandatanganan PPJB di Kantor Notaris Martianis.
Sebelum transaksi, Hengki melalui mediator mensyaratkan untuk pembayaran 30% dari harga transaksi harus ada Nomor NIB dari ke-22 bidang tanah tersebut, dan permasalahan timbul karena nomor yang tercantum dalam akta PPJB bukan nomor NIB tetapi nomor urut hasil pencatatan peta bidang tanah yang diurus oleh mediator.
Fakta persidangan terungkap bahwa Notaris pernah menawarkan agar untuk NIB diurus oleh Notaris, namun pembeli menolak dan lebih memilih pengurusan NIB dilakukan oleh mediator bernama Syam.
Menurut Onggo, Arifin sama sekali tidak tahu soal NIB dan ia juga mempercayakan kepada mediator untuk mengurusnya bahkan telah mengeluarkan uang sebesar Rp250 juta untuk biaya pengukuran ulang tanah. Berdasarkan permasalahan NIB inilah Arifin dituduh melakukan penipuan dan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
"Di persidangan semua saksi mengatakan Pak Arifin tidak pernah menyuruh siapapun memasukan kata NIB apalagi nomor NIB yang tidak benar, oleh karenanya Pak Arifin dinyatakan oleh Pengadilan tidak terbukti memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Perkara ini pertama kali dilaporkan Hengki Lohanda ke Polda Metro Jaya 5 April 2017 dan penyidikan telah dihentikan (SP3) berdasarkan putusan Praperadilan 2018, anehnya Pak Arifin dilaporkan lagi di tahun yang sama dengan obyek dan bukti yang sama, sehingga beliau terjerat kasus hukum ini dan meninggal dunia," jelas Onggo.
Onggo menyesalkan meninggalnya Arifin lantaran seharusnya dalam perkara, kliennya dapat ditetapkan restorative justice karena telah mengembalikan uang Rp11,9 miliar ke PT SKG sebelum berkasnya dinyatakan lengkap oleh kejaksaan.
(thm)
tulis komentar anda