Lahan Dicaplok Perusahaan, Petani Desa Dayun Sambangi Istana Merdeka
Selasa, 24 November 2020 - 08:26 WIB
JAKARTA - Enam orang perwakilan petani kelapa sawit dari Desa Dayun, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta. Kedatangan mereka untuk meminta bantuan pemerintah karena kebun yang dijadikan sebagai mata pemcaharian mereka dicaplokperusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), PT RAPP.
Koordinator Lapangan aksi, Ridwan Pakpahan menyebutkan, lebih dari 600 petani lain sudah berkebun kelapa sawit di desa itu sejak tahun 1990. "Waktu itu kami masih kelompok-kelompok kecil. Kalau ditotal semua, luas kebun kelapa sawit petani hampir 2.000 hektar," katanya di Jakarta, Senin 23 November 2020.
Sejak 2015 dikatakan Ridwan, tidak ada masalah antara petani dan perusahaan meski pun kebun mereka berdampingan hanya dibatasi dengan kanal besar yang sengaja dibuat oleh RAPP. Saat ini tanaman kelapa sawit petani, khususnya yang berdampingan dengan kebun akasia perusahaan, malah sudah berumur 15-18 tahun.
Tapi entah kenapa kemudian, di tahun 2015, utusan perusahan mulai mendatangi petani dan menyebut kalau lahan kebun kelapa sawit petani adalah areal konsesi perusahaan sesuai SK Menhut nomor 180 tahun 2013. "Mulai dari security, humas, baju coklat hingga baju loreng, gantian mendatangi kami. Lama kelamaan, kami mulai diintervensi. Yang tak mau menyerahkan lahannya, perusahan mengancam akan mempolisikan kami," ujar Ridwan.
Dapat ancaman seperti itu, satu persatu petani mulai ketakutan dan menyerahkan lahannya kepada perusahaan. "Yang menyerahkan lahannya dikasi sagu hati Rp3 juta per hektar. Ada juga yang ngotot tak mau menyerahkan, dipenjarakan. Inilah yang membuat petani semakin takut," urai Ridwan.
Biar masyarakat kompak, tahun 2017 petani bersepakat menyatu dan mendirikan Koperasi Sukses Maju Bersama Siak (SMBS). "Kami sudah menyurati semua instansi yang terkait dengan persoalan kami, mulai dari daerah hingga ke pusat. Namun yang terjadi perusahaan justru semakin beringas," katanya.
Memang kata Ridwan, sekitar tahun 2016, lewat SK 1004, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada membuat sanksi kepada perusahaan. Sanksi itu berupa pencabutan tanaman akasia yang sudah sempat ditanam perusahaan, begitu juga dengan kanal yang sudah sempat digali, ditutup kembali.
"Ada sekitar 80% lahan yang akasianya harus dicabut. Nah, sejak tahun 2017, kami aman lagi tidak ada gangguan meski perusahaan dan Pemda masih mengatakan kalau kebun kami adalah areal konsesi RAPP," katanya. (
)
Tahun ini kata Ridwan, RAPP datang lagi. "Sikap perusahaan semakin arogan. Kebun kami dirusak. Lahan petani yang diambil paksa langsung ditanami akasia. Bolak balik kami membuat laporan ke pemerintah dan pihak berwenang, tapi tak ada tanggapan. Itulah makanya kami nekat datang ke sini ingin langsung bertemu dengan presiden. Kami tak akan pulang sebelum kami bisa bertemu," ujarnya.
Alasan untuk ketemu itu kata Ridwan sangat kuat. Tiga tahun lalu Presiden sudah mengeluarkan peraturan 88 2017 tentang penyelesaian persoalan tanah. "Tapi bolak balik kami mengajukan lahan kami yang sudah bersurat SKGR bahkan sertifikat untuk diselesaikan masalahnya, tak ada perkembangan. Kami menagih janji presiden tentang Perpres 88 itu," ucapnya.
Koordinator Lapangan aksi, Ridwan Pakpahan menyebutkan, lebih dari 600 petani lain sudah berkebun kelapa sawit di desa itu sejak tahun 1990. "Waktu itu kami masih kelompok-kelompok kecil. Kalau ditotal semua, luas kebun kelapa sawit petani hampir 2.000 hektar," katanya di Jakarta, Senin 23 November 2020.
Sejak 2015 dikatakan Ridwan, tidak ada masalah antara petani dan perusahaan meski pun kebun mereka berdampingan hanya dibatasi dengan kanal besar yang sengaja dibuat oleh RAPP. Saat ini tanaman kelapa sawit petani, khususnya yang berdampingan dengan kebun akasia perusahaan, malah sudah berumur 15-18 tahun.
Tapi entah kenapa kemudian, di tahun 2015, utusan perusahan mulai mendatangi petani dan menyebut kalau lahan kebun kelapa sawit petani adalah areal konsesi perusahaan sesuai SK Menhut nomor 180 tahun 2013. "Mulai dari security, humas, baju coklat hingga baju loreng, gantian mendatangi kami. Lama kelamaan, kami mulai diintervensi. Yang tak mau menyerahkan lahannya, perusahan mengancam akan mempolisikan kami," ujar Ridwan.
Dapat ancaman seperti itu, satu persatu petani mulai ketakutan dan menyerahkan lahannya kepada perusahaan. "Yang menyerahkan lahannya dikasi sagu hati Rp3 juta per hektar. Ada juga yang ngotot tak mau menyerahkan, dipenjarakan. Inilah yang membuat petani semakin takut," urai Ridwan.
Biar masyarakat kompak, tahun 2017 petani bersepakat menyatu dan mendirikan Koperasi Sukses Maju Bersama Siak (SMBS). "Kami sudah menyurati semua instansi yang terkait dengan persoalan kami, mulai dari daerah hingga ke pusat. Namun yang terjadi perusahaan justru semakin beringas," katanya.
Memang kata Ridwan, sekitar tahun 2016, lewat SK 1004, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada membuat sanksi kepada perusahaan. Sanksi itu berupa pencabutan tanaman akasia yang sudah sempat ditanam perusahaan, begitu juga dengan kanal yang sudah sempat digali, ditutup kembali.
"Ada sekitar 80% lahan yang akasianya harus dicabut. Nah, sejak tahun 2017, kami aman lagi tidak ada gangguan meski perusahaan dan Pemda masih mengatakan kalau kebun kami adalah areal konsesi RAPP," katanya. (
Baca Juga
Tahun ini kata Ridwan, RAPP datang lagi. "Sikap perusahaan semakin arogan. Kebun kami dirusak. Lahan petani yang diambil paksa langsung ditanami akasia. Bolak balik kami membuat laporan ke pemerintah dan pihak berwenang, tapi tak ada tanggapan. Itulah makanya kami nekat datang ke sini ingin langsung bertemu dengan presiden. Kami tak akan pulang sebelum kami bisa bertemu," ujarnya.
Alasan untuk ketemu itu kata Ridwan sangat kuat. Tiga tahun lalu Presiden sudah mengeluarkan peraturan 88 2017 tentang penyelesaian persoalan tanah. "Tapi bolak balik kami mengajukan lahan kami yang sudah bersurat SKGR bahkan sertifikat untuk diselesaikan masalahnya, tak ada perkembangan. Kami menagih janji presiden tentang Perpres 88 itu," ucapnya.
(mhd)
tulis komentar anda