Tanah Abang, Warisan Pusat Kulakan Termegah

Sabtu, 12 September 2020 - 07:09 WIB
Pasar terbesar diIbu Kota ini menjadi pusat perbelanjaan fashion yang bukan hanya dikunjungi pembeli dari berbagai penjuru tanah air, tapi juga dari luar negeri. Foto/SINDOnews/Isra Triansyah
JAKARTA - Semua saling bertumpuk. Trotoar begitu tampak padat. Lebih dari separuh ruas pejalan kaki itu penuh dijejali para pedagang kaki lima (PKL). Pejalan kaki terpaksa melipir menggunakan badan jalan untuk bisa melangkah. Macet pun akhirnya menjadi pemandangan tak berkesudahan di bawah kemegahan gedung-gedung menjulang Pasar Tanah Abang.

Jalanan dan trotoar kawasan Tanah Abang tak henti menjadi magnet para PKL ratusan ribu orang yang datang ke kawasan ini tiap harinya seolah menjadi gula-gula bagi PKL. Berulang kali penertiban dilakukan oleh aparat seperti Satpol PP. Namun berulang kali juga mereka datang kembali untuk berjualan. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak berebut Jihad di Perang Badar)

Terlepas dari persoalan pelik soal PKL itu, di usianya yang hampir 3 abad, Pasar Tanah Abang tak henti memberi penghidupan bagi banyak orang. Tak hanya bagi warga metropolitan, jutaan orang telah mendapatkan berkah dari Tanah Abang. Pasar sentral produk fashion ini pun terus berkembang.



Jauh sebelum Tanah Abang semewah dan semegah ini, H Iman, pemilik tiga kios di Blok A, mengatakan kondisi pusat perkulakan ini kusut dan semrawut. Pertama kali berdagang di tahun 1980-an, Iman kala itu datang ke Jakarta mencoba menjadi PKL pakaian di sekitar Tanah Abang. “Jalan H Mas Mansyur kala itu dipenuhi orang berdagang seperti saya,” ceritanya.



Dengan omzet ratusan ribu rupiah per harinya di waktu itu, Iman untung besar. Dia rela menyewa beberapa preman sekitar membantu menjadi pengawal bila sewaktu-waktu terjadi konflik dengan aparat seperti saat penertiban atau penggusuran.

Namun bukannya malah membantu, keberadaan preman justru mulai mengganggu Iman. Palakan per hari meningkat seiring omzet Iman yang besar. Iman mulai terganggu dengan aktivitas ini. Kondisi diperparah dengan banyak preman yang bermunculan membentuk sejumlah kelompok. (Baca juga: Mahfud MD Kembali Tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)

“Satu sisi saya butuh mereka, sisi lain saya merasa malas karena mereka tak peduli dengan omzet kami. Kalau dagangan terjual banyak dan untung besar tak masalah, tapi kalau lagi sepi, ya agak tersiksa,” kata Iman.

Puncaknya menjelang 1996, pertikaian antarpreman di Tanah Abang tak terelakkan. Lantaran didera ketakutan, dia sempat berhenti berdagang. Akhir 1996 saat situasi kian aman, Iman kemudian berdagang lagi. Namun kali ini Iman nekat membeli satu unit kios di pasar modern.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More