Tanah Abang, Warisan Pusat Kulakan Termegah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Semua saling bertumpuk. Trotoar begitu tampak padat. Lebih dari separuh ruas pejalan kaki itu penuh dijejali para pedagang kaki lima (PKL). Pejalan kaki terpaksa melipir menggunakan badan jalan untuk bisa melangkah. Macet pun akhirnya menjadi pemandangan tak berkesudahan di bawah kemegahan gedung-gedung menjulang Pasar Tanah Abang.
Jalanan dan trotoar kawasan Tanah Abang tak henti menjadi magnet para PKL ratusan ribu orang yang datang ke kawasan ini tiap harinya seolah menjadi gula-gula bagi PKL. Berulang kali penertiban dilakukan oleh aparat seperti Satpol PP. Namun berulang kali juga mereka datang kembali untuk berjualan. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak berebut Jihad di Perang Badar)
Terlepas dari persoalan pelik soal PKL itu, di usianya yang hampir 3 abad, Pasar Tanah Abang tak henti memberi penghidupan bagi banyak orang. Tak hanya bagi warga metropolitan, jutaan orang telah mendapatkan berkah dari Tanah Abang. Pasar sentral produk fashion ini pun terus berkembang.
Jauh sebelum Tanah Abang semewah dan semegah ini, H Iman, pemilik tiga kios di Blok A, mengatakan kondisi pusat perkulakan ini kusut dan semrawut. Pertama kali berdagang di tahun 1980-an, Iman kala itu datang ke Jakarta mencoba menjadi PKL pakaian di sekitar Tanah Abang. “Jalan H Mas Mansyur kala itu dipenuhi orang berdagang seperti saya,” ceritanya.
Dengan omzet ratusan ribu rupiah per harinya di waktu itu, Iman untung besar. Dia rela menyewa beberapa preman sekitar membantu menjadi pengawal bila sewaktu-waktu terjadi konflik dengan aparat seperti saat penertiban atau penggusuran.
Namun bukannya malah membantu, keberadaan preman justru mulai mengganggu Iman. Palakan per hari meningkat seiring omzet Iman yang besar. Iman mulai terganggu dengan aktivitas ini. Kondisi diperparah dengan banyak preman yang bermunculan membentuk sejumlah kelompok. (Baca juga: Mahfud MD Kembali Tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)
“Satu sisi saya butuh mereka, sisi lain saya merasa malas karena mereka tak peduli dengan omzet kami. Kalau dagangan terjual banyak dan untung besar tak masalah, tapi kalau lagi sepi, ya agak tersiksa,” kata Iman.
Puncaknya menjelang 1996, pertikaian antarpreman di Tanah Abang tak terelakkan. Lantaran didera ketakutan, dia sempat berhenti berdagang. Akhir 1996 saat situasi kian aman, Iman kemudian berdagang lagi. Namun kali ini Iman nekat membeli satu unit kios di pasar modern.
Di lapak barunya dia menjual beberapa pakaian jeans yang kala itu tengah booming. Belum sempat menabung setelah balik modal, kerusuhan Mei 1998 terjadi. Kios Iman yang kala itu berada di lantai 2 pasar menjadi sasaran amuk massa. Sejumlah dagangannya pun ikut dijarah. Iman merugi hingga jutaan rupiah. Bahkan satu karyawannya nyaris jadi sasaran amuk massa.
Berbulan-bulan vakum, Iman kemudian kembali berdagang pada September 1998. Dengan meminjam modal dari kakaknya yang juga pedagang, pundi-pundi pendapatan mulai dikeruk, kehidupan ekonomi Iman mulai membaik hingga akhirnya mampu membeli satu kios di blok yang sama. Pada 2010 usahanya makin lancar dan dia memiliki total 7 kios. Iman pun mulai berjualan dengan dukungan teknologi digital. Kini omzet ratusan juta berhasil dia kantongi tiap bulannya. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Tuan Tanah Kolonial
Jauh sebelum Pasar Tanah Abang semegah dan menjadi yang terbesar se-Asia Tenggara seperti saat ini, pasar ini awalnya hanya kawasan rimbun dengan pepohonan. Adalah kapitan China dan insinyur perairan Phoa Beng Gam yang memprakarsai berdirinya kawasan Tanah Abang pada 1648. Setelah mendapatkan restu dari VOC atau Belanda, Phoa kemudian menanami lahan merah yang kosong itu dengan sejumlah pohon.
Menurut buku Tenabang Tempo Doeloe yang ditulis Abdul Chaer (2017), etnik Tionghoa perlahan mulai mendirikan permukiman di tempat tersebut. Ini terjadi lantaran kondisi kawasan kian aman, tepatnya seusai pembangunan Kota Lama (Batavia) rampung pada 1740. Bukti keberadaan mereka dikukuhkan dengan adanya Kelenteng Hok Tek Tengsin yang dibangun sekitar 1808. Letak kelenteng ini menyempil di antara Blok A dan Blok F pusat grosir. (Baca juga: Al-Qur'an Kembali Dibakar di Swedia, Turki Jengkel)
Sebelum kelenteng itu terbangun, tuan tanah kolonial VOC Justinus Vinck menginisiasi pembangunan Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Setelah Pasar Senen selesai dibangun pada 1735, dua tahun berikutnya Tanah Abang ganti didirikan yang pembangunannya atas restu Gubernur Jenderal VOC Abraham Patras.
“Pasar diselenggarakan hari Senin untuk Pasar Weltevreden (Pasar Senen), hari Sabtu untuk pasar yang akan dibangun di Bukit Tanah Abang,” tulis Abraham Patras dalam suratnya kepada Vinck seperti dikutip PD Pasar Jaya dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun.
Guna menghubungkan kedua pasar itu, Jalan Prapatan dan Jalan Kebon Sirih pun dibangun. Lambat laun jalur ini menjadi jalur sutera perdagangan di Batavia. Namun lima tahun setelah berdiri, pasar ini porak-poranda akibat tragedi pembantaian orang China (chineezenmoord). Ribuan orang mati menjadi korban.
Menurut Buku Batavia 1970 karya Windoro Adi pada 2010, akhirnya pasar kembali dibuka setelah sejumlah orang Arab berdatangan ke Tanah Abang, Mereka kemudian hidup berdampingan dengan pedagang China. Pasar Tanah Abang pun kembali ramai. Sejak 1766 pasar dibuka penuh. (Baca juga: Inilah Negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu Ledak Nuklir)
Sejarawan dan budayawan Chandirian Attahiriyat mengatakan, saat pertama dibuka kembali, bangunan pasar sangat sederhana. Hanya dinding bambu dan atap dari rumbia. Namun peradaban yang kian maju membuat perusahaan kereta api Hindia Belanda, Staatsspoorwegwn Westerlijnen (SS-WL), membangun dan meresmikan Stasiun Tanah Abang pada 1 Oktober 1899. Jalur pada operasi perdana adalah Jakarta–Angke–Rangkasbitung.
Adanya stasiun membuat aktivitas perdagangan di Tanah Abang meningkat. Kelenteng Hok Tek Tjen kembali dipugar dan Masjid Al-Makmur dibangun.
Sempat mengalami perbaikan saat dibuka kembali, Tanah Abang kembali direvitalisasi oleh Hindia Belanda pada 1913. Hindia Belanda kemudian membongkar Pasar Tanah Abang dan menggantinya menjadi bangunan permanen berupa tiga los panjang dari tembok dan papan serta beratap genteng. Kantor pasarnya di atas bangunan pasar mirip kandang burung.
Untuk membantu jasa pengangkutan parkir di depan pasar dibuat sedikit luas dengan tempat singgah sejumlah kuda penarik delman dan gerobak. Chandrian menyebut, di kawasan itu terdapat kobakan air besar untuk minum kuda dan toko penjual dedak kuda. (Baca juga:Virus Corona Intai Pembalap Tour de Franxce 2020)
Beberapa puluh meter dari toko dedak ada sebuah gang yang dikenal sebagai Gang Madat, tempat lokalisasi para pemadat. “Tapi di zaman Jepang, pasar tidak berfungsi dan menjadi tempat gelandangan,” tuturnya.
Kepala Humas PD Pasar Jaya Amanda mengatakan, sejak didirikan pada 24 Desember 1966, PD Pasar Jaya telah mengambil pengelolaan pasar. Barulah pada 1973, saat Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, Pasar Tanah Abang diremajakan dan selesai tahun 1975 dengan wajah baru, empat bangunan berlantai tiga. “Bangunan awal yang didirikan tahun 1975 adalah Blok A, B, C, D dan E, yang hanya terdiri atas 3 lantai,” kata Amanda.
Pasar ini sempat dua kali mengalami kebakaran, yakni pada 30 Desember 1978 dan 13 Agustus 1979. Pada tahun ini kiosnya mencapai 4.351 unit dengan 3.016 pedagang.
Sejak 1975 PD Pasar Jaya kemudian meremajakan beberapa blok secara bertahap, yakni Blok A tahun 2004, Blok B, C, D dan sebagian Blok E yang kemudian bergabung menjadi Blok B di tahun 2012. Lalu Blok F yang rampung revitalisasi tahun 2014 lalu. Yang terakhir Blok G yang dibangun bertahap sejak 1986. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Nekat Kabur)
Pembangunan tahap ketiga yang kini telah dilakukan terpaksa tertunda karena Covid-19 pada awal tahun 2020. “Totalnya ada sekitar 19.143 tempat usaha. Terbagi atas kios, counter, dan los,” terang Amanda.
Pasar itu menyediakan beragam barang. Mulai dari busana seperti pakaian muslim, baju batik, kerudung, mukena, busana haji hingga pakaian anak-anak. Tak hanya itu, perlengkapan rumah tangga dari spring bed, gorden, seprai, handuk hingga keset juga tersedia dari berbagai pabrikan. Di tempat ini aksesori seperti kalung, gesper, gelang, bros juga turut dijajakan. Tak ketinggalan ada pula tas cantik dan koper yang motifnya beragam.
Kini Pasar Tanah Abang bertumbuh pesat sebagai pusat grosir. Pada 2019 Pemprov DKI mencatat perputaran uang di pasar ini mencapai Rp75 miliar. (Yan Yusuf)
Jalanan dan trotoar kawasan Tanah Abang tak henti menjadi magnet para PKL ratusan ribu orang yang datang ke kawasan ini tiap harinya seolah menjadi gula-gula bagi PKL. Berulang kali penertiban dilakukan oleh aparat seperti Satpol PP. Namun berulang kali juga mereka datang kembali untuk berjualan. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak berebut Jihad di Perang Badar)
Terlepas dari persoalan pelik soal PKL itu, di usianya yang hampir 3 abad, Pasar Tanah Abang tak henti memberi penghidupan bagi banyak orang. Tak hanya bagi warga metropolitan, jutaan orang telah mendapatkan berkah dari Tanah Abang. Pasar sentral produk fashion ini pun terus berkembang.
Jauh sebelum Tanah Abang semewah dan semegah ini, H Iman, pemilik tiga kios di Blok A, mengatakan kondisi pusat perkulakan ini kusut dan semrawut. Pertama kali berdagang di tahun 1980-an, Iman kala itu datang ke Jakarta mencoba menjadi PKL pakaian di sekitar Tanah Abang. “Jalan H Mas Mansyur kala itu dipenuhi orang berdagang seperti saya,” ceritanya.
Dengan omzet ratusan ribu rupiah per harinya di waktu itu, Iman untung besar. Dia rela menyewa beberapa preman sekitar membantu menjadi pengawal bila sewaktu-waktu terjadi konflik dengan aparat seperti saat penertiban atau penggusuran.
Namun bukannya malah membantu, keberadaan preman justru mulai mengganggu Iman. Palakan per hari meningkat seiring omzet Iman yang besar. Iman mulai terganggu dengan aktivitas ini. Kondisi diperparah dengan banyak preman yang bermunculan membentuk sejumlah kelompok. (Baca juga: Mahfud MD Kembali Tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)
“Satu sisi saya butuh mereka, sisi lain saya merasa malas karena mereka tak peduli dengan omzet kami. Kalau dagangan terjual banyak dan untung besar tak masalah, tapi kalau lagi sepi, ya agak tersiksa,” kata Iman.
Puncaknya menjelang 1996, pertikaian antarpreman di Tanah Abang tak terelakkan. Lantaran didera ketakutan, dia sempat berhenti berdagang. Akhir 1996 saat situasi kian aman, Iman kemudian berdagang lagi. Namun kali ini Iman nekat membeli satu unit kios di pasar modern.
Di lapak barunya dia menjual beberapa pakaian jeans yang kala itu tengah booming. Belum sempat menabung setelah balik modal, kerusuhan Mei 1998 terjadi. Kios Iman yang kala itu berada di lantai 2 pasar menjadi sasaran amuk massa. Sejumlah dagangannya pun ikut dijarah. Iman merugi hingga jutaan rupiah. Bahkan satu karyawannya nyaris jadi sasaran amuk massa.
Berbulan-bulan vakum, Iman kemudian kembali berdagang pada September 1998. Dengan meminjam modal dari kakaknya yang juga pedagang, pundi-pundi pendapatan mulai dikeruk, kehidupan ekonomi Iman mulai membaik hingga akhirnya mampu membeli satu kios di blok yang sama. Pada 2010 usahanya makin lancar dan dia memiliki total 7 kios. Iman pun mulai berjualan dengan dukungan teknologi digital. Kini omzet ratusan juta berhasil dia kantongi tiap bulannya. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
Tuan Tanah Kolonial
Jauh sebelum Pasar Tanah Abang semegah dan menjadi yang terbesar se-Asia Tenggara seperti saat ini, pasar ini awalnya hanya kawasan rimbun dengan pepohonan. Adalah kapitan China dan insinyur perairan Phoa Beng Gam yang memprakarsai berdirinya kawasan Tanah Abang pada 1648. Setelah mendapatkan restu dari VOC atau Belanda, Phoa kemudian menanami lahan merah yang kosong itu dengan sejumlah pohon.
Menurut buku Tenabang Tempo Doeloe yang ditulis Abdul Chaer (2017), etnik Tionghoa perlahan mulai mendirikan permukiman di tempat tersebut. Ini terjadi lantaran kondisi kawasan kian aman, tepatnya seusai pembangunan Kota Lama (Batavia) rampung pada 1740. Bukti keberadaan mereka dikukuhkan dengan adanya Kelenteng Hok Tek Tengsin yang dibangun sekitar 1808. Letak kelenteng ini menyempil di antara Blok A dan Blok F pusat grosir. (Baca juga: Al-Qur'an Kembali Dibakar di Swedia, Turki Jengkel)
Sebelum kelenteng itu terbangun, tuan tanah kolonial VOC Justinus Vinck menginisiasi pembangunan Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Setelah Pasar Senen selesai dibangun pada 1735, dua tahun berikutnya Tanah Abang ganti didirikan yang pembangunannya atas restu Gubernur Jenderal VOC Abraham Patras.
“Pasar diselenggarakan hari Senin untuk Pasar Weltevreden (Pasar Senen), hari Sabtu untuk pasar yang akan dibangun di Bukit Tanah Abang,” tulis Abraham Patras dalam suratnya kepada Vinck seperti dikutip PD Pasar Jaya dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun.
Guna menghubungkan kedua pasar itu, Jalan Prapatan dan Jalan Kebon Sirih pun dibangun. Lambat laun jalur ini menjadi jalur sutera perdagangan di Batavia. Namun lima tahun setelah berdiri, pasar ini porak-poranda akibat tragedi pembantaian orang China (chineezenmoord). Ribuan orang mati menjadi korban.
Menurut Buku Batavia 1970 karya Windoro Adi pada 2010, akhirnya pasar kembali dibuka setelah sejumlah orang Arab berdatangan ke Tanah Abang, Mereka kemudian hidup berdampingan dengan pedagang China. Pasar Tanah Abang pun kembali ramai. Sejak 1766 pasar dibuka penuh. (Baca juga: Inilah Negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu Ledak Nuklir)
Sejarawan dan budayawan Chandirian Attahiriyat mengatakan, saat pertama dibuka kembali, bangunan pasar sangat sederhana. Hanya dinding bambu dan atap dari rumbia. Namun peradaban yang kian maju membuat perusahaan kereta api Hindia Belanda, Staatsspoorwegwn Westerlijnen (SS-WL), membangun dan meresmikan Stasiun Tanah Abang pada 1 Oktober 1899. Jalur pada operasi perdana adalah Jakarta–Angke–Rangkasbitung.
Adanya stasiun membuat aktivitas perdagangan di Tanah Abang meningkat. Kelenteng Hok Tek Tjen kembali dipugar dan Masjid Al-Makmur dibangun.
Sempat mengalami perbaikan saat dibuka kembali, Tanah Abang kembali direvitalisasi oleh Hindia Belanda pada 1913. Hindia Belanda kemudian membongkar Pasar Tanah Abang dan menggantinya menjadi bangunan permanen berupa tiga los panjang dari tembok dan papan serta beratap genteng. Kantor pasarnya di atas bangunan pasar mirip kandang burung.
Untuk membantu jasa pengangkutan parkir di depan pasar dibuat sedikit luas dengan tempat singgah sejumlah kuda penarik delman dan gerobak. Chandrian menyebut, di kawasan itu terdapat kobakan air besar untuk minum kuda dan toko penjual dedak kuda. (Baca juga:Virus Corona Intai Pembalap Tour de Franxce 2020)
Beberapa puluh meter dari toko dedak ada sebuah gang yang dikenal sebagai Gang Madat, tempat lokalisasi para pemadat. “Tapi di zaman Jepang, pasar tidak berfungsi dan menjadi tempat gelandangan,” tuturnya.
Kepala Humas PD Pasar Jaya Amanda mengatakan, sejak didirikan pada 24 Desember 1966, PD Pasar Jaya telah mengambil pengelolaan pasar. Barulah pada 1973, saat Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, Pasar Tanah Abang diremajakan dan selesai tahun 1975 dengan wajah baru, empat bangunan berlantai tiga. “Bangunan awal yang didirikan tahun 1975 adalah Blok A, B, C, D dan E, yang hanya terdiri atas 3 lantai,” kata Amanda.
Pasar ini sempat dua kali mengalami kebakaran, yakni pada 30 Desember 1978 dan 13 Agustus 1979. Pada tahun ini kiosnya mencapai 4.351 unit dengan 3.016 pedagang.
Sejak 1975 PD Pasar Jaya kemudian meremajakan beberapa blok secara bertahap, yakni Blok A tahun 2004, Blok B, C, D dan sebagian Blok E yang kemudian bergabung menjadi Blok B di tahun 2012. Lalu Blok F yang rampung revitalisasi tahun 2014 lalu. Yang terakhir Blok G yang dibangun bertahap sejak 1986. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Nekat Kabur)
Pembangunan tahap ketiga yang kini telah dilakukan terpaksa tertunda karena Covid-19 pada awal tahun 2020. “Totalnya ada sekitar 19.143 tempat usaha. Terbagi atas kios, counter, dan los,” terang Amanda.
Pasar itu menyediakan beragam barang. Mulai dari busana seperti pakaian muslim, baju batik, kerudung, mukena, busana haji hingga pakaian anak-anak. Tak hanya itu, perlengkapan rumah tangga dari spring bed, gorden, seprai, handuk hingga keset juga tersedia dari berbagai pabrikan. Di tempat ini aksesori seperti kalung, gesper, gelang, bros juga turut dijajakan. Tak ketinggalan ada pula tas cantik dan koper yang motifnya beragam.
Kini Pasar Tanah Abang bertumbuh pesat sebagai pusat grosir. Pada 2019 Pemprov DKI mencatat perputaran uang di pasar ini mencapai Rp75 miliar. (Yan Yusuf)
(ysw)