Penurunan Muka Tanah Masuk Zona Kritis, Jakarta Butuh Ini
Selasa, 14 Mei 2024 - 08:49 WIB
JAKARTA - Kondisi Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta saat ini sudah memasuki zona kritis hingga rusak akibat eksploitasi air tanah di atas ambang batas normal yang direkomendasikan. Eksploitasi air tanah saat ini tercatat sudah mencapai 40% dari batas aman 20%.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Suci Fitria Tanjung mengatakan jika tak dicarikan solusi, kerusakan ini akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan, seperti kontaminasi air akuifer di bagian atas dan bawah hingga penurunan permukaan tanah atau land subsidence.
“Ketika dieksploitasi berlebih, maka penyajian tanah di Jakarta itu sudah kehilangan kemampuannya untuk menopang tanah,” ujar Suci dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (14/5/2024).
Dampak yang paling terlihat, kata Suci, kondisi geologi di Jakarta Utara, di mana tanahnya sudah berada 4 meter di bawah permukaan air laut. Suci mengatakan salah satu cara mengendalikan penurunan tanah ini yakni dengan mengendalikan pengambilan air tanah dalam.
Ia melanjutkan beberapa tahun lalu memang terbit aturan tentang zona bebas air tanah, utamanya di wilayah-wilayah protokol seperti daerah Kuningan. Namun hal itu saja belum cukup, mengingat 90% permukaan tanah di Jakarta tertutup beton.
Menurut dia, harus ada daerah resapan air yang mengalir ke tanah dalam. ”Maka kami Walhi Jakarta mendorong pemerintah untuk memaksimalkan ruang permukaan hijau,” kata Suci.
Selain itu, dikatakan Suci, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam tata kelola air untuk kebutuhan Jakarta.
Berdasarkan data dari PAM Jaya pada 2023, kebutuhan air di DKI Jakarta saat ini mencapai 24.000 liter per detik, sementara kapasitas produksi PAM Jaya hanya sebesar 20.225 liter per detik. Kekurangan ini tentu mengakibatkan defisit kebutuhan air bersih sekitar 4.000 liter per detik.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Suci Fitria Tanjung mengatakan jika tak dicarikan solusi, kerusakan ini akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan, seperti kontaminasi air akuifer di bagian atas dan bawah hingga penurunan permukaan tanah atau land subsidence.
“Ketika dieksploitasi berlebih, maka penyajian tanah di Jakarta itu sudah kehilangan kemampuannya untuk menopang tanah,” ujar Suci dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (14/5/2024).
Dampak yang paling terlihat, kata Suci, kondisi geologi di Jakarta Utara, di mana tanahnya sudah berada 4 meter di bawah permukaan air laut. Suci mengatakan salah satu cara mengendalikan penurunan tanah ini yakni dengan mengendalikan pengambilan air tanah dalam.
Ia melanjutkan beberapa tahun lalu memang terbit aturan tentang zona bebas air tanah, utamanya di wilayah-wilayah protokol seperti daerah Kuningan. Namun hal itu saja belum cukup, mengingat 90% permukaan tanah di Jakarta tertutup beton.
Menurut dia, harus ada daerah resapan air yang mengalir ke tanah dalam. ”Maka kami Walhi Jakarta mendorong pemerintah untuk memaksimalkan ruang permukaan hijau,” kata Suci.
Selain itu, dikatakan Suci, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam tata kelola air untuk kebutuhan Jakarta.
Berdasarkan data dari PAM Jaya pada 2023, kebutuhan air di DKI Jakarta saat ini mencapai 24.000 liter per detik, sementara kapasitas produksi PAM Jaya hanya sebesar 20.225 liter per detik. Kekurangan ini tentu mengakibatkan defisit kebutuhan air bersih sekitar 4.000 liter per detik.
tulis komentar anda