Minta Keadilan, Terpidana dan Korban First Travel Ajukan PK
Selasa, 11 Agustus 2020 - 00:25 WIB
JAKARTA - Terpidana dan 63.000 jemaah korban First Travel masih mencari keadilan. Berbagai cara telah diupayakan oleh calon jamaah, seperti memproses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga dengan menyepakati adanya perdamaian, serta melaporkan ke Bareskrim Polri dengan harapan agar para calon jamaah masih tetap bisa diberangkatkan ke Tanah Suci.
"Setidaknya uang yang telah mereka setorkan pada First Travel bisa dikembalikan," kata kuasa hukum terpidana, Boris Tampubolon dalam keterangan resminya, Senin (10/8/2020).
Namun proses penegakan hukum yang berjalan sejak Agustus 2018 hingga akhirnya keluar Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3096K/PID.SUS/2018, tertanggal 31 Januari 2019, memupus semua harapan itu. Para terpidana dihukum dengan hukuman fantastis, dan harta yang disita dirampas untuk negara alih-alih dikembalikan kepada jamaah. "Puncaknya, pada akhir tahun 2019 Kejari Depok berencana mengeksekusi harta yang dirampas negara tersebut," katanya.( )
Menurut Boris, putusan itu tidak mencerminkan keadilan di masyarakat, baik bagi terpidana maupun puluhan ribu calon jamaah. Padahal jelas pada Pasal 5 UU Mahkamah Agung menyatakan hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. "Yang dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Saat ini, satu-satunya jalan untuk mengobati rasa keadilan dan mewujudkan tujuan penegakan hukum pada perkara First Travel adalah melalui upaya hukum luar biasa PK ( Peninjauan Kembali ) yang akan dilakukan terpidana Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraida Hasibuan," katanya.
DNT Lawyers sebagai kuasa hukum para terpidana telah mengumpulkan bukti baru, baik dari dalam dan luar negeri, yang akan menjadi dasar menentukan permohonan PK. Adapun beberapa dasar-dasar pertimbangan pengajuan PK ini antara lain hubungan hukum antara para pemohon PK (yakni para terpidana) dan jamaah umrah merupakan hubungan perdata. Jauh sebelum perkara pidana diproses dan diputuskan, perkara PKPU telah didaftarkan lebih dahulu hingga terjadi perjanjian perdamaian (homologasi) antara para jamaah dan para terpidana. Secara hukum setiap orang tidak dapat dipidana akibat hubungan perdata.
"Kedua merupakan sebuah kekeliruan jika para terpidana dihukum karena melakukan penipuan dengan program umrah promo Rp14.300.000. Faktanya, para terpidana telah memberangkatkan 29.985 jamaah dari paket umrah promo sejak 16 November 2016 sampai 14 Juni 2017. Artinya tidak ada niat dari para pemohon PK untuk melakukan penipuan. Bahkan jauh sebelum itu, yakni sejak tahun 2010, First Travel telah memberangkatkan puluhan ribu jamaah tanpa halangan apapun," ujarnya.(Baca Juga: Bukti Lemah, Hakim PN Depok Tolak Gugatan Perdata Korban First Travel)
Ketiga, secara hukum, aset yang dapat dirampas dalam perkara pencucian uang harus dikembalikan kepada yang berhak. Sangat keliru jika aset yang diduga merupakan hasil pencucian tersebut malah dirampas untuk negara. Seharusnya aset tersebut dikembalikan kepada para terpidana agar mereka dapat memenuhi kewajiban kepada para calon jamaah berdasarkan perjanjian perdamaian (homologasi).
Keempat, secara hukum, aset yang dapat dirampas dalam suatu tindak pidana adalah benda-benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana. Pada kasus First Travel, para terpidana dinyatakan melakukan tindak pidana sejak 2015-2017. Nyatanya harta benda milik terpidana yang diperoleh sejak 2009-2014 juga turut dirampas seperti rumah, mobil dan lain-lain. Sebagian besar di antaranya 'dikembalikan' kepada oknum-oknum yang tidak berhak.
Peninjauan Kembali (PK) diharapkan dapat memperjuangkan pemulihan hak-hak para calon jamaah yang menjadi korban First Travel serta hak hukum para terpidana pula. "Kuasa hukum pun meminta agar semua aset First Travel harus segera dikembalikan pada para terpidana agar bisa melaksanakan perjanjian damai (homologasi) kepada para calon jamaah. Dengan demikian para calon jamaah akan memperoleh kembali haknya serta memenuhi rasa keadilan," katanya.
"Setidaknya uang yang telah mereka setorkan pada First Travel bisa dikembalikan," kata kuasa hukum terpidana, Boris Tampubolon dalam keterangan resminya, Senin (10/8/2020).
Namun proses penegakan hukum yang berjalan sejak Agustus 2018 hingga akhirnya keluar Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3096K/PID.SUS/2018, tertanggal 31 Januari 2019, memupus semua harapan itu. Para terpidana dihukum dengan hukuman fantastis, dan harta yang disita dirampas untuk negara alih-alih dikembalikan kepada jamaah. "Puncaknya, pada akhir tahun 2019 Kejari Depok berencana mengeksekusi harta yang dirampas negara tersebut," katanya.( )
Menurut Boris, putusan itu tidak mencerminkan keadilan di masyarakat, baik bagi terpidana maupun puluhan ribu calon jamaah. Padahal jelas pada Pasal 5 UU Mahkamah Agung menyatakan hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. "Yang dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Saat ini, satu-satunya jalan untuk mengobati rasa keadilan dan mewujudkan tujuan penegakan hukum pada perkara First Travel adalah melalui upaya hukum luar biasa PK ( Peninjauan Kembali ) yang akan dilakukan terpidana Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraida Hasibuan," katanya.
DNT Lawyers sebagai kuasa hukum para terpidana telah mengumpulkan bukti baru, baik dari dalam dan luar negeri, yang akan menjadi dasar menentukan permohonan PK. Adapun beberapa dasar-dasar pertimbangan pengajuan PK ini antara lain hubungan hukum antara para pemohon PK (yakni para terpidana) dan jamaah umrah merupakan hubungan perdata. Jauh sebelum perkara pidana diproses dan diputuskan, perkara PKPU telah didaftarkan lebih dahulu hingga terjadi perjanjian perdamaian (homologasi) antara para jamaah dan para terpidana. Secara hukum setiap orang tidak dapat dipidana akibat hubungan perdata.
"Kedua merupakan sebuah kekeliruan jika para terpidana dihukum karena melakukan penipuan dengan program umrah promo Rp14.300.000. Faktanya, para terpidana telah memberangkatkan 29.985 jamaah dari paket umrah promo sejak 16 November 2016 sampai 14 Juni 2017. Artinya tidak ada niat dari para pemohon PK untuk melakukan penipuan. Bahkan jauh sebelum itu, yakni sejak tahun 2010, First Travel telah memberangkatkan puluhan ribu jamaah tanpa halangan apapun," ujarnya.(Baca Juga: Bukti Lemah, Hakim PN Depok Tolak Gugatan Perdata Korban First Travel)
Ketiga, secara hukum, aset yang dapat dirampas dalam perkara pencucian uang harus dikembalikan kepada yang berhak. Sangat keliru jika aset yang diduga merupakan hasil pencucian tersebut malah dirampas untuk negara. Seharusnya aset tersebut dikembalikan kepada para terpidana agar mereka dapat memenuhi kewajiban kepada para calon jamaah berdasarkan perjanjian perdamaian (homologasi).
Keempat, secara hukum, aset yang dapat dirampas dalam suatu tindak pidana adalah benda-benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana. Pada kasus First Travel, para terpidana dinyatakan melakukan tindak pidana sejak 2015-2017. Nyatanya harta benda milik terpidana yang diperoleh sejak 2009-2014 juga turut dirampas seperti rumah, mobil dan lain-lain. Sebagian besar di antaranya 'dikembalikan' kepada oknum-oknum yang tidak berhak.
Peninjauan Kembali (PK) diharapkan dapat memperjuangkan pemulihan hak-hak para calon jamaah yang menjadi korban First Travel serta hak hukum para terpidana pula. "Kuasa hukum pun meminta agar semua aset First Travel harus segera dikembalikan pada para terpidana agar bisa melaksanakan perjanjian damai (homologasi) kepada para calon jamaah. Dengan demikian para calon jamaah akan memperoleh kembali haknya serta memenuhi rasa keadilan," katanya.
(abd)
tulis komentar anda