Mesin Parkir Meter Tidak Efektif, DKI Akan Ganti dengan E-Parking
A
A
A
JAKARTA - Unit Pengelola Teknis (UPT) Parkir Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan mengganti 214 unit mesin parkir meter atau yang dikenal terminal parkir elektronik (TPE) dengan e-parkir. Pergantian ini menyusul tidak berfungsinya ratusan mesin parkir meter di sejumlah titik.
Padahal, tujuan TPE yang dipasang sejak 2015 untuk menekan kebocoran dan mengurangi kemacetan di ruas jalan yang menyediakan parking on the street. Faktanya justru terbalik. Mesin parkir banyak yang tak berfungsi, bahkan juru parkir seenaknya memungut tarif dan kemacetan tak bisa dihindarkan, terutama pada jam-jam sibuk. Salah satu contohnya di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT) Parkir Dinas Perhubungan DKI Jakarta Aji Kusambarto mengakui banyak mesin di TPE tidak lagi berfungsi. Saat ini mesin parkir tersebut sedang diperbaiki vendor. "Ke depan TPE akan digantikan dengan aplikasi e-parkir," kata Aji. (Baca: Parkir Kendaraan Bermotor di Jalan Sabang Akan Dibatasi)
Dia menjelaskan, aplikasi e-parkir lebih efektif ketimbang TPE. Pengawasannya terpantau langsung, bahkan bisa memesan langsung. Sayangnya, dia belum bisa menyebutkan kapan e-parkir akan diterapkan di seluruh jalur parking on the street. "Kami masih evaluasi uji coba aplikasi e-parkir. Dalam waktu dekat akan kami luncurkan," ungkapnya.
Sejak 2015 Pemprov DKI Jakarta membuat kontrak kerja sama dengan PT Mata Elang Biru untuk memasang dan mengoperasikan mesin parkir meter. Kontrak berlangsung tiga tahun, berakhir pada Desember 2017. Dari kontrak tersebut, Pemprov DKI hanya mengantongi 30% dari hasil retribusi TPE dan PT Mata Biru mendapat 70%.
Tidak ada anggaran Pemerintah DKI Jakarta yang dikeluarkan untuk pembelian alat TPE karena biaya investasi di keluarkan oleh PT Mata Elang Biru, dengan pengeluaran terbesar dialokasikan untuk investasi alat, operasional, dan gaji juru parkir. Karena itu pengelola mendapat bagian yang lebih besar daripada Pemprov DKI.
Humas UPT Parkir Dinas Perhubungan DKI Jakarta Ivan mengatakan, ada sekitar 400 titik parking on the street di lima wilayah DKI Jakarta. Dari jumlah itu 40 di antaranya sudah menggunakan parkir mesin.
Saat ini dinasnya sedang menguji coba aplikasi e-parkir di kawasan Mangga Besar, Jakarta Pusat. Di sana, pemilik kendaraan yang terparkir akan dihampiri juru parkir dan memfoto nomor polisinya. Kemudian mobile printer yang disediakan di lokasi akan mengeluarkan struk pembayaran. Pada uji coba ini tarif yang berlaku sama, Rp5.000. “Berdasarkan hasil uji coba sementara, kebocoran parkir bisa ditekan hingga 10%. Bahkan, pengawasan juru parkir nakal menjadi lebih mudah karena di dalam aplikasi terlihat ada atau tidaknya juru parkir yang bekerja dan nakal mengantongi retribusinya,” ungkap Ivan.
Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Jupiter meminta Dinas Perhubungan DKI Jakarta membuka data resmi hasil pendapatan parkir sejak awal diberlakukannya kerja sama dengan PT Mata Elang Biru hingga berakhirnya kontrak kerja sama di akhir 2017, termasuk perpanjangannya hingga akhir 2019. “Kami perlu kaji bersama efektivitas kontrak kerja sama dan pengelolaan oleh Dinas Perhubungan,” ucapnya.
Politisi Partai NasDem ini juga meminta Dinas Perhubungan DKI melakukan evaluasi prosesnya dan aplikasi e-parkir yang sudah siap digunakan. Artinya, jangan sampai proses evaluasi berlarut-larut dan memunculkan peluang terjadinya kebocoran pendapatan parkir. “Segera mungkin tingkatkan pendapatan DKI Jakarta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya. (Baca juga: Belum Optimal, DKI Kaji Ulang Teknologi Aplikasi Parkir On Street)
Pengamat transportasi dari Universitas Tarumanegara, Leksmono Suryo Putranto, menilai wajar apabila mesin parkir TPE tidak efektif mengurai kemacetan dan menekan retribusi parkir seperti tujuan awalnya. Alasannya, sejak awal percontohan hingga pengembangan parkir mesin tidak pernah ada evaluasi dan pemasangan yang serius. (Bima Setiyadi)
Padahal, tujuan TPE yang dipasang sejak 2015 untuk menekan kebocoran dan mengurangi kemacetan di ruas jalan yang menyediakan parking on the street. Faktanya justru terbalik. Mesin parkir banyak yang tak berfungsi, bahkan juru parkir seenaknya memungut tarif dan kemacetan tak bisa dihindarkan, terutama pada jam-jam sibuk. Salah satu contohnya di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT) Parkir Dinas Perhubungan DKI Jakarta Aji Kusambarto mengakui banyak mesin di TPE tidak lagi berfungsi. Saat ini mesin parkir tersebut sedang diperbaiki vendor. "Ke depan TPE akan digantikan dengan aplikasi e-parkir," kata Aji. (Baca: Parkir Kendaraan Bermotor di Jalan Sabang Akan Dibatasi)
Dia menjelaskan, aplikasi e-parkir lebih efektif ketimbang TPE. Pengawasannya terpantau langsung, bahkan bisa memesan langsung. Sayangnya, dia belum bisa menyebutkan kapan e-parkir akan diterapkan di seluruh jalur parking on the street. "Kami masih evaluasi uji coba aplikasi e-parkir. Dalam waktu dekat akan kami luncurkan," ungkapnya.
Sejak 2015 Pemprov DKI Jakarta membuat kontrak kerja sama dengan PT Mata Elang Biru untuk memasang dan mengoperasikan mesin parkir meter. Kontrak berlangsung tiga tahun, berakhir pada Desember 2017. Dari kontrak tersebut, Pemprov DKI hanya mengantongi 30% dari hasil retribusi TPE dan PT Mata Biru mendapat 70%.
Tidak ada anggaran Pemerintah DKI Jakarta yang dikeluarkan untuk pembelian alat TPE karena biaya investasi di keluarkan oleh PT Mata Elang Biru, dengan pengeluaran terbesar dialokasikan untuk investasi alat, operasional, dan gaji juru parkir. Karena itu pengelola mendapat bagian yang lebih besar daripada Pemprov DKI.
Humas UPT Parkir Dinas Perhubungan DKI Jakarta Ivan mengatakan, ada sekitar 400 titik parking on the street di lima wilayah DKI Jakarta. Dari jumlah itu 40 di antaranya sudah menggunakan parkir mesin.
Saat ini dinasnya sedang menguji coba aplikasi e-parkir di kawasan Mangga Besar, Jakarta Pusat. Di sana, pemilik kendaraan yang terparkir akan dihampiri juru parkir dan memfoto nomor polisinya. Kemudian mobile printer yang disediakan di lokasi akan mengeluarkan struk pembayaran. Pada uji coba ini tarif yang berlaku sama, Rp5.000. “Berdasarkan hasil uji coba sementara, kebocoran parkir bisa ditekan hingga 10%. Bahkan, pengawasan juru parkir nakal menjadi lebih mudah karena di dalam aplikasi terlihat ada atau tidaknya juru parkir yang bekerja dan nakal mengantongi retribusinya,” ungkap Ivan.
Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Jupiter meminta Dinas Perhubungan DKI Jakarta membuka data resmi hasil pendapatan parkir sejak awal diberlakukannya kerja sama dengan PT Mata Elang Biru hingga berakhirnya kontrak kerja sama di akhir 2017, termasuk perpanjangannya hingga akhir 2019. “Kami perlu kaji bersama efektivitas kontrak kerja sama dan pengelolaan oleh Dinas Perhubungan,” ucapnya.
Politisi Partai NasDem ini juga meminta Dinas Perhubungan DKI melakukan evaluasi prosesnya dan aplikasi e-parkir yang sudah siap digunakan. Artinya, jangan sampai proses evaluasi berlarut-larut dan memunculkan peluang terjadinya kebocoran pendapatan parkir. “Segera mungkin tingkatkan pendapatan DKI Jakarta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya. (Baca juga: Belum Optimal, DKI Kaji Ulang Teknologi Aplikasi Parkir On Street)
Pengamat transportasi dari Universitas Tarumanegara, Leksmono Suryo Putranto, menilai wajar apabila mesin parkir TPE tidak efektif mengurai kemacetan dan menekan retribusi parkir seperti tujuan awalnya. Alasannya, sejak awal percontohan hingga pengembangan parkir mesin tidak pernah ada evaluasi dan pemasangan yang serius. (Bima Setiyadi)
(ysw)