Pemilihan Calon Wagub DKI Rawan Money Politics
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang akan dilaksanakan beberapa waktu mendatang rentan praktik money politics. Oknum-oknum berkepentingan yang memiliki uang banyak diduga akan bermain dalam pemilihan ini.
Direktur Investigasi dan Advaksi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi mengungkapkan, meski massa jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta mendatang tidak penuh satu periode atau lima tahun, namun jabatan tersebut memiliki pengaruh kekuasan yang sangat besar.
Tentunya bagi siapa yang bisa mendekati wakil gubernur tersebut akan mendapatkan keuntungan besar.
Bukan tidak mungkin para pemodal bersedia mendanai pemilihan tersebut dengan nilai berapapun, agar kandidat yang dicalonkannya berjalan mulus menuju kursi DKI 2.
"Tujuannya adalah untuk bisa menikmati APBD DKI Jakarta yang nilainya mencapai ratusan triliunan rupiah," ungkap Ucok Sky Khadafi kepada Sindonews di Jakarta, Senin (22/9/2014).
Menurut Ucok, money politics itu tidak dapat dipungkiri dan sulit diditeksi. Sebab, pemilihan wakil gubernur ini merupakan hasil negosiasi dan pilihan di tingkat elite.
Bukan lagi pilihan rakyat. Sehingga kemungkinan dan kerawanan itu besar terjadi.
Siapa pun calon yang akan dimajukan pasti akan menggunakan berbagai cara supaya mendapatkan kursi nomor 2 DKI Jakarta itu.
Permainan ini dilakoni oleh orang partai politik yang menjalankan lobi-lobi politik. Di dalam lobi itu akan diselipkan cara transaksi money politics yang didanai oleh "big bos".
"Bisa saja big bos itu mengeluarkan dana Rp2 triliun, asalkan bisa menikmati APBD DKI Jakarta yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah nantinya," sebutnya.
Sebagaimana diketahui pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan berlangsung beberapa bulan mendatang, setelah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) resmi mengundurkan diri untuk dilantik sebagai Presiden.
Di dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah junto UU No 12/2008 tentang perubahan kedua atas UU No 32/2004, menyebutkan wakil gubernur yang akan mengisi jabatan yang ditinggalkan akan dipilih oleh DPRD atas dua orang calon yang diusulkan partai pengusung.
Dalam hal ini parpol pengusung, yakni PDIP dan Partai Gerindra.
Direktur Investigasi dan Advaksi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi mengungkapkan, meski massa jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta mendatang tidak penuh satu periode atau lima tahun, namun jabatan tersebut memiliki pengaruh kekuasan yang sangat besar.
Tentunya bagi siapa yang bisa mendekati wakil gubernur tersebut akan mendapatkan keuntungan besar.
Bukan tidak mungkin para pemodal bersedia mendanai pemilihan tersebut dengan nilai berapapun, agar kandidat yang dicalonkannya berjalan mulus menuju kursi DKI 2.
"Tujuannya adalah untuk bisa menikmati APBD DKI Jakarta yang nilainya mencapai ratusan triliunan rupiah," ungkap Ucok Sky Khadafi kepada Sindonews di Jakarta, Senin (22/9/2014).
Menurut Ucok, money politics itu tidak dapat dipungkiri dan sulit diditeksi. Sebab, pemilihan wakil gubernur ini merupakan hasil negosiasi dan pilihan di tingkat elite.
Bukan lagi pilihan rakyat. Sehingga kemungkinan dan kerawanan itu besar terjadi.
Siapa pun calon yang akan dimajukan pasti akan menggunakan berbagai cara supaya mendapatkan kursi nomor 2 DKI Jakarta itu.
Permainan ini dilakoni oleh orang partai politik yang menjalankan lobi-lobi politik. Di dalam lobi itu akan diselipkan cara transaksi money politics yang didanai oleh "big bos".
"Bisa saja big bos itu mengeluarkan dana Rp2 triliun, asalkan bisa menikmati APBD DKI Jakarta yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah nantinya," sebutnya.
Sebagaimana diketahui pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan berlangsung beberapa bulan mendatang, setelah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) resmi mengundurkan diri untuk dilantik sebagai Presiden.
Di dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah junto UU No 12/2008 tentang perubahan kedua atas UU No 32/2004, menyebutkan wakil gubernur yang akan mengisi jabatan yang ditinggalkan akan dipilih oleh DPRD atas dua orang calon yang diusulkan partai pengusung.
Dalam hal ini parpol pengusung, yakni PDIP dan Partai Gerindra.
(whb)