Ini Kata Pedagang soal Dugaan Penyelewengan di Pasar Cibinong
A
A
A
BOGOR - Sejumlah dugaan penyelewengan dalam pembangunan Pasar Cibinong mulai terkuak. Salah satunya soal ukuran kios dan los saat sosialisasi pada Maret 2012 tidak sama dengan saat kios dan los selesai diterima pedagang Agustus 2014.
Sekretaris Forum Komunikasi Pedagang Pasar Cibinong (FKPPC) Indra menjelaskan, saat sosialisasi awal ukuran kios yang ditawarkan 2 x 2,5 meter persegi namun kenyataan setelah diterima ukurannya berubah hanya 2 x 1,8 meter.
Indra menuturkan, dengan ukuran sekecil itu para pedagang yang memiliki kartu kuning harus mengeluarkan kocek dari Rp80 juta hingga ratusan juta.
"Pedagang seperti saya itu seharusnya diberikan ukuran lebar yang lebih luas bukan panjangnya. Memangnya mau dagang baso atau rumah makan. Kalau untuk rumah makan memang cocok memanjang, tapi ini kan buat dagang tas, baju dan kelontongan. Bagaimana mau memajang barang dagangan, " papar Indra kepada Sindonews, Rabu (10/92014).
Ironisnya, kata Indra, para pedagang pemegang kartu kuning juga hanya diperkenankan menempati Blok C .
"Saya saja pemegang kartu kuning harus membayar Rp96 juta untuk mendapatkan kios di Blok C. Itupun tempatnya di belakang dan kurang strategis, " ungkap Indra .
Sementara, kata dia, untuk Blok A (depan) ditawarkan mencapai Rp400 juta-Rp700 juta. Sedangkan di Blok B antara Rp200-Rp300 juta.
"Untuk kedua Blok ini banyak dikuasai para cukong berduit yang bukan pemegang kartu kuning. Mereka diantaranya para pedagang di Tana Abang dan Cipulir, " kata pedagang tas di pasar penampungan ini.
Pria ini juga menyoroti site plan dan spesifikasi bangunan yang tidak sesuai spek. Menurut dia, PT Rimba Artha Pertiwi selaku pengembang merubah hingga tiga kali site plan dari awal pembangunan hingga selesai.
Saat masih pasar lama, lanjut dia, kiosnya berjumlah kurang lebih 800 unit. Sementara saat site plan pembangunan ditandatangani oleh Bupati Bogor Rachmat Yasin jumlah kios 700 unit. Namun ternyata ketika selesai dibangun jumlahnya mencapai kurang lebih 1.500 kios.
"Ini merupakan jawaban mengapa kios yang diterima sangat kecil. Karena jumlahnya meningkat dua kali lipat. Pengembang seharusnya jangan mencari keuntungan diatas penderitaan para pedagang, " timpal dia.
Dia juga menyesalkan adanya restribusi sebesar Rp7.500 per hari untuk kios serta Rp6.000 untuk los yang mulai diberlakukan 1 September 2014.
"Kalau jelas peruntukannya ya kita siap bayar. Tapi pengelola saat ditanya jawabannya malah mencla mencle, " tegas dia.
Indra menuturkan Tim 10 yang seharusnya menjadi perwakilan pedagang bernegoisasi dengan pengembang, justru terkesan malah membela kepentingan PT Rimba Artha Pertiwi.
Sedangkan untuk spesifikasi bangunan pasar, Indra menyoroti atap baja ringan yang tidak dilengkapi dengan alumunium foil. Sehingga jika hujan deras akan berisik dan tampias dan bisa terjadi kebocoran. "Padahal alumunium foil kan berguna jika terjadi kebakaran, " tukas pria ini.
Berdasarkan pengamatan kebocoran pernah terjadi saat hujan pada akhir Agustus lalu. Hal ini dialami Hen pedagang di los C lantai 2 yang sedang mengecat los miliknya di lantai 2.
"Sepertinya ada kebocoran halus atau tampias di Los C lantai 2. Kalau untuk dagang baju bisa basah juga dong barang dagangan saya, " kata Hen.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh H Basri seorang pedagang di Blok B. "Ya kalau hujan begini kios Blok B di sisi kiri terkena tampias dari air hujan, " kata dia, pada 29 Agustus lalu saat hujan deras.
Terpisah, baik Direktur Utama PD Pasar Tohaga, Cahya Vidiadi maupun Direktur Operasional PT Rimba Artha Pertiwi MH Ages selaku pengembang, ketika dihubungi Sindonews lewat ponsel tidak menjawab.
Sekretaris Forum Komunikasi Pedagang Pasar Cibinong (FKPPC) Indra menjelaskan, saat sosialisasi awal ukuran kios yang ditawarkan 2 x 2,5 meter persegi namun kenyataan setelah diterima ukurannya berubah hanya 2 x 1,8 meter.
Indra menuturkan, dengan ukuran sekecil itu para pedagang yang memiliki kartu kuning harus mengeluarkan kocek dari Rp80 juta hingga ratusan juta.
"Pedagang seperti saya itu seharusnya diberikan ukuran lebar yang lebih luas bukan panjangnya. Memangnya mau dagang baso atau rumah makan. Kalau untuk rumah makan memang cocok memanjang, tapi ini kan buat dagang tas, baju dan kelontongan. Bagaimana mau memajang barang dagangan, " papar Indra kepada Sindonews, Rabu (10/92014).
Ironisnya, kata Indra, para pedagang pemegang kartu kuning juga hanya diperkenankan menempati Blok C .
"Saya saja pemegang kartu kuning harus membayar Rp96 juta untuk mendapatkan kios di Blok C. Itupun tempatnya di belakang dan kurang strategis, " ungkap Indra .
Sementara, kata dia, untuk Blok A (depan) ditawarkan mencapai Rp400 juta-Rp700 juta. Sedangkan di Blok B antara Rp200-Rp300 juta.
"Untuk kedua Blok ini banyak dikuasai para cukong berduit yang bukan pemegang kartu kuning. Mereka diantaranya para pedagang di Tana Abang dan Cipulir, " kata pedagang tas di pasar penampungan ini.
Pria ini juga menyoroti site plan dan spesifikasi bangunan yang tidak sesuai spek. Menurut dia, PT Rimba Artha Pertiwi selaku pengembang merubah hingga tiga kali site plan dari awal pembangunan hingga selesai.
Saat masih pasar lama, lanjut dia, kiosnya berjumlah kurang lebih 800 unit. Sementara saat site plan pembangunan ditandatangani oleh Bupati Bogor Rachmat Yasin jumlah kios 700 unit. Namun ternyata ketika selesai dibangun jumlahnya mencapai kurang lebih 1.500 kios.
"Ini merupakan jawaban mengapa kios yang diterima sangat kecil. Karena jumlahnya meningkat dua kali lipat. Pengembang seharusnya jangan mencari keuntungan diatas penderitaan para pedagang, " timpal dia.
Dia juga menyesalkan adanya restribusi sebesar Rp7.500 per hari untuk kios serta Rp6.000 untuk los yang mulai diberlakukan 1 September 2014.
"Kalau jelas peruntukannya ya kita siap bayar. Tapi pengelola saat ditanya jawabannya malah mencla mencle, " tegas dia.
Indra menuturkan Tim 10 yang seharusnya menjadi perwakilan pedagang bernegoisasi dengan pengembang, justru terkesan malah membela kepentingan PT Rimba Artha Pertiwi.
Sedangkan untuk spesifikasi bangunan pasar, Indra menyoroti atap baja ringan yang tidak dilengkapi dengan alumunium foil. Sehingga jika hujan deras akan berisik dan tampias dan bisa terjadi kebocoran. "Padahal alumunium foil kan berguna jika terjadi kebakaran, " tukas pria ini.
Berdasarkan pengamatan kebocoran pernah terjadi saat hujan pada akhir Agustus lalu. Hal ini dialami Hen pedagang di los C lantai 2 yang sedang mengecat los miliknya di lantai 2.
"Sepertinya ada kebocoran halus atau tampias di Los C lantai 2. Kalau untuk dagang baju bisa basah juga dong barang dagangan saya, " kata Hen.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh H Basri seorang pedagang di Blok B. "Ya kalau hujan begini kios Blok B di sisi kiri terkena tampias dari air hujan, " kata dia, pada 29 Agustus lalu saat hujan deras.
Terpisah, baik Direktur Utama PD Pasar Tohaga, Cahya Vidiadi maupun Direktur Operasional PT Rimba Artha Pertiwi MH Ages selaku pengembang, ketika dihubungi Sindonews lewat ponsel tidak menjawab.
(sms)