Tragedi Bintaro
A
A
A
Sindonews.com - Bau anyir darah memenuhi udara di perlintasan Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2013) pagi. Api juga nampak berkobar besar dengan asap hitam pekat mengangkasa.
Saat itu, nampak sebuah truk bermuatan 24.000 liter bahan bakar minyak (BBM) tergolek dan terbakar, serta sebuah kereta api dengan wujud tak karuan.
Ya, sebuah kecelakaan kereta api besar baru saja terjadi kembali. Delapan jiwa melayang sia-sia dalam peristiwa tersebut, sementara puluhan penumpang lainnya mengalami luka-luka, berat maupun ringan. Banyak masyarakat-pun kemudian menyebutnya dengan sebutan "Tragedi Bintaro II".
Insiden memilukan itu tentu mengingatkan kita akan insiden Tragedi Bintaro I, 26 tahun silam. Tepat di hari yang sama, dua buah kereta terlibat ''adu banteng'' di lokasi yang sama dengan ''Tragedi Bintaro II'', hanya terpaut 200 meter.
Kecelakaan dahsyat itu menewaskan 153 jiwa, dan 300 orang luka-luka. Sontak semua 'mata pena' baik lokal, nasional hingga mancanegara tertuju pada peristiwa itu. Insiden itupun menjadi tamparan hebat bagi perkereta-apian di Indonesia.
Kecelakaan Bintaro I melibatkan dua buah kereta api, yakni KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang mengangkut 700 penumpang; dan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang - Merak yang mengangkut 500 penumpang. Peristiwa itu juga terjadi pada saat jam sibuk orang berangkat kerja.
Insiden Bintaro I merupakan peristiwa terburuk kedua setelah sebelumnya peristiwa tabrakan kereta api besar juga terjadi 20 September 1968 yang menewaskan 116 orang. Tabrakan itu terjadi antara Kereta Api Bumel dengan Kereta Api Cepat, di Desa Ratujaya, Depok.
Perjalanan menuju maut
Berdasarkan data dari berbagai sumber yang dihimpun SINDOnews, kecelakaan ini berawal saat KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio; asistennya Soleh; dan seorang kondektur, Adung Syafei, berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara.
KA 225 tersebut bersilang dengan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang – Merak yang dimasinisi Amung Sunary; dengan asistennya, Mujiono.
Saat bersilang dan tanpa berkomunikasi dengan Stasiun Sudimara, petugas Stasiun Serpong justru memberikan sinyal aman bagi kereta api yang dimasinisi Slamet untuk jalan. Padahal, tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena penuhnya jalur di Stasiun Sudimara.
Slamet pun melaju keretanya dari Serpong dan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.45 Wib. Namun, ternyata memang penuh dengan KA. Maka, Kepala Stasiun Sudimara pun lantas melansir perintah kepada Slamet masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu), dengan posisi di Stasiun Sudimara.
Saat akan dilansir, Slamet ternyata tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena penuhnya lokomotif pada saat itu. Kemudian Slamet bertanya kepada penumpang yang berada di lokomotif "berangkat ?", penumpang menjawab "berangkat !!". Sang masinis pun membunyikan Semboyan 35 dan berjalan.
Juru lansir yang kaget kemudian mengejar kereta itu dan naik di gerbong paling belakang. Para petugas stasiun kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor.
PPKA Sudimara, Djamhari, mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah. Namun sia-sia.
Djamhari pun kembali ke stasiun dengan sedih, dia membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.
KA 225 berjalan dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30km/jam.
Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang itu akhirnya bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat.
Mayat bergelimpangan
Benturan dua kereta itu terlihat dahsyat. Pasalnya, hingga gerbong pertama persis di belakang lokomotif di kedua kereta langsung menyelimuti masing-masing lokomotifnya.
Efek teleskopik ini menewaskan banyak penumpang, dan mereka yang bernasib malang langsung “tergiling” oleh putaran kipas radiator lokomotif.
Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif, yaitu tipe 303 dengan seri BB 303-17 dan tipe 306 dengan seri BB 306-17 rusak berat. Jumlah korban jiwa 153 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Karena itu tidak heran bahwa semua korban tewas berada di gerbong pertama dan di lokomotif. Sesaat setelah tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan, erangan, serta bau darah dari dalam rongsokan kereta.
Hukuman sang masinis
Akibat tragedi tersebut, masinis KA 225, Slamet Suradio, diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.
Nasib yang sama juga harus dialami Adung Syafei, Kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Peristiwa Bintaro 1987 memang sangat memilukan. Tak heran bila kemudian musisi kenamaan Indonesia, Iwan Fals, membuat sebuah lagu untuk mengenang peristiwa tersebut.
Selain itu, peristiwa ini juga sempat diangkat ke layar lebar pada tahun 1989 dengan Judul “Tragedi Bintaro”. Film ini disutradarai oleh Butje Malawau dan dibintangi oleh Lia Chaidir dan kawan-kawan serta termasuk film tersukses pada tahun tersebut.
(*Diolah dari berbagai sumber)
Baca informasi lengkap seputar Tragedi Bintaro di SINDOnews
Saat itu, nampak sebuah truk bermuatan 24.000 liter bahan bakar minyak (BBM) tergolek dan terbakar, serta sebuah kereta api dengan wujud tak karuan.
Ya, sebuah kecelakaan kereta api besar baru saja terjadi kembali. Delapan jiwa melayang sia-sia dalam peristiwa tersebut, sementara puluhan penumpang lainnya mengalami luka-luka, berat maupun ringan. Banyak masyarakat-pun kemudian menyebutnya dengan sebutan "Tragedi Bintaro II".
Insiden memilukan itu tentu mengingatkan kita akan insiden Tragedi Bintaro I, 26 tahun silam. Tepat di hari yang sama, dua buah kereta terlibat ''adu banteng'' di lokasi yang sama dengan ''Tragedi Bintaro II'', hanya terpaut 200 meter.
Kecelakaan dahsyat itu menewaskan 153 jiwa, dan 300 orang luka-luka. Sontak semua 'mata pena' baik lokal, nasional hingga mancanegara tertuju pada peristiwa itu. Insiden itupun menjadi tamparan hebat bagi perkereta-apian di Indonesia.
Kecelakaan Bintaro I melibatkan dua buah kereta api, yakni KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang mengangkut 700 penumpang; dan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang - Merak yang mengangkut 500 penumpang. Peristiwa itu juga terjadi pada saat jam sibuk orang berangkat kerja.
Insiden Bintaro I merupakan peristiwa terburuk kedua setelah sebelumnya peristiwa tabrakan kereta api besar juga terjadi 20 September 1968 yang menewaskan 116 orang. Tabrakan itu terjadi antara Kereta Api Bumel dengan Kereta Api Cepat, di Desa Ratujaya, Depok.
Perjalanan menuju maut
Berdasarkan data dari berbagai sumber yang dihimpun SINDOnews, kecelakaan ini berawal saat KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio; asistennya Soleh; dan seorang kondektur, Adung Syafei, berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara.
KA 225 tersebut bersilang dengan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang – Merak yang dimasinisi Amung Sunary; dengan asistennya, Mujiono.
Saat bersilang dan tanpa berkomunikasi dengan Stasiun Sudimara, petugas Stasiun Serpong justru memberikan sinyal aman bagi kereta api yang dimasinisi Slamet untuk jalan. Padahal, tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena penuhnya jalur di Stasiun Sudimara.
Slamet pun melaju keretanya dari Serpong dan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.45 Wib. Namun, ternyata memang penuh dengan KA. Maka, Kepala Stasiun Sudimara pun lantas melansir perintah kepada Slamet masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu), dengan posisi di Stasiun Sudimara.
Saat akan dilansir, Slamet ternyata tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena penuhnya lokomotif pada saat itu. Kemudian Slamet bertanya kepada penumpang yang berada di lokomotif "berangkat ?", penumpang menjawab "berangkat !!". Sang masinis pun membunyikan Semboyan 35 dan berjalan.
Juru lansir yang kaget kemudian mengejar kereta itu dan naik di gerbong paling belakang. Para petugas stasiun kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor.
PPKA Sudimara, Djamhari, mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah. Namun sia-sia.
Djamhari pun kembali ke stasiun dengan sedih, dia membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.
KA 225 berjalan dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30km/jam.
Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang itu akhirnya bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat.
Mayat bergelimpangan
Benturan dua kereta itu terlihat dahsyat. Pasalnya, hingga gerbong pertama persis di belakang lokomotif di kedua kereta langsung menyelimuti masing-masing lokomotifnya.
Efek teleskopik ini menewaskan banyak penumpang, dan mereka yang bernasib malang langsung “tergiling” oleh putaran kipas radiator lokomotif.
Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif, yaitu tipe 303 dengan seri BB 303-17 dan tipe 306 dengan seri BB 306-17 rusak berat. Jumlah korban jiwa 153 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Karena itu tidak heran bahwa semua korban tewas berada di gerbong pertama dan di lokomotif. Sesaat setelah tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan, erangan, serta bau darah dari dalam rongsokan kereta.
Hukuman sang masinis
Akibat tragedi tersebut, masinis KA 225, Slamet Suradio, diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.
Nasib yang sama juga harus dialami Adung Syafei, Kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Peristiwa Bintaro 1987 memang sangat memilukan. Tak heran bila kemudian musisi kenamaan Indonesia, Iwan Fals, membuat sebuah lagu untuk mengenang peristiwa tersebut.
Selain itu, peristiwa ini juga sempat diangkat ke layar lebar pada tahun 1989 dengan Judul “Tragedi Bintaro”. Film ini disutradarai oleh Butje Malawau dan dibintangi oleh Lia Chaidir dan kawan-kawan serta termasuk film tersukses pada tahun tersebut.
(*Diolah dari berbagai sumber)
Baca informasi lengkap seputar Tragedi Bintaro di SINDOnews
(rsa)