Atasi kemacetan, tak cukup dengan enam ruas tol dalam kota
A
A
A
Sindonews.com - Rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota yang disetujui Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dinilai tidak efektif mengurangi kemacetan di Jakarta.
Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, kemacetan Jakarta bukan hanya sekedar menjadi tanggung jawab Pemerintah Propinsi DKI Jakarta saja, tetapi juga pemerintah pusat.
Selama ini, kata Hamdi, rezim yang memimpin Indonesia tak pernah memikirkan masalah itu.
"Kan sebenarnya, yang Jokowi setuju itu cuma dua ruas yaitu Sunter-Palimanan, namun media bilang 6 ruas. Saya berpendapat, kemacetan Jakarta juga tanggung jawab pemeirntah pusat. Kebijakan tambah transportasi di sektor publik kan selama ini tak dipenuhi rezim yang sudah memimpin," tukasnya di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Rabu (16/01/2013).
Kesalahannya, kata dia, terletak pada letak tata ruang yang menjadi pemicu kemacetan di Jakarta. Hamdi mengatakan kemacetan di Jakarta disumbang oleh tingginya jumlah kommuter dari beberapa kota penyangga ibu kota.
"Saya berpendapat, jumlah penyumbang kemacetan di Jakarta itu kommuter, lalu lalang dari kota penyangga seperti Depok, secara administratif bukan DKI, tapi mereka menyerbu Jakarta," katanya.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh letak tata ruang Jakarta dimana masyarakat dijauhkan dari pusat kerja. Ditambah dengan transportasi massal yang tidak cukup.
"Permasalahan selanjutnya, bagaimana mengangkut orang dari pinggir ke dalam. Celakanya lagi, transportasi massal enggak cukup," imbuhnya.
Ia menambahkan, sebanyak apapun jalan yang dibangun untuk mengurai kemacetan, kemacetan akan selalu terjadi apabila tata ruang tidak dibenahi. Namun, kemacetan dapat dikurangi dengan pembatasan jumlah kendaraan pribadi dan menaikkan pajak kendaraan.
Pemerintah juga diminta untuk membenahi sistem transportasi massal yang nyaman dan mencukupi, seperti kereta dan feeder busway. Apabila transportasi massal sudah terpenuhi, Hamdi menilai kemacetan dapat dikurangi.
"Macet akan selalu terjadi, sepanjang tata ruang enggak dibenahi. Berkurang bisa, asal ratio kendaraan pribadi terlalu banyak, kereta paling efisien. Jokowi harus lobi PT KAI perbanyak jalur dari pinggir Jakarta," tandasnya.
Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, kemacetan Jakarta bukan hanya sekedar menjadi tanggung jawab Pemerintah Propinsi DKI Jakarta saja, tetapi juga pemerintah pusat.
Selama ini, kata Hamdi, rezim yang memimpin Indonesia tak pernah memikirkan masalah itu.
"Kan sebenarnya, yang Jokowi setuju itu cuma dua ruas yaitu Sunter-Palimanan, namun media bilang 6 ruas. Saya berpendapat, kemacetan Jakarta juga tanggung jawab pemeirntah pusat. Kebijakan tambah transportasi di sektor publik kan selama ini tak dipenuhi rezim yang sudah memimpin," tukasnya di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Rabu (16/01/2013).
Kesalahannya, kata dia, terletak pada letak tata ruang yang menjadi pemicu kemacetan di Jakarta. Hamdi mengatakan kemacetan di Jakarta disumbang oleh tingginya jumlah kommuter dari beberapa kota penyangga ibu kota.
"Saya berpendapat, jumlah penyumbang kemacetan di Jakarta itu kommuter, lalu lalang dari kota penyangga seperti Depok, secara administratif bukan DKI, tapi mereka menyerbu Jakarta," katanya.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh letak tata ruang Jakarta dimana masyarakat dijauhkan dari pusat kerja. Ditambah dengan transportasi massal yang tidak cukup.
"Permasalahan selanjutnya, bagaimana mengangkut orang dari pinggir ke dalam. Celakanya lagi, transportasi massal enggak cukup," imbuhnya.
Ia menambahkan, sebanyak apapun jalan yang dibangun untuk mengurai kemacetan, kemacetan akan selalu terjadi apabila tata ruang tidak dibenahi. Namun, kemacetan dapat dikurangi dengan pembatasan jumlah kendaraan pribadi dan menaikkan pajak kendaraan.
Pemerintah juga diminta untuk membenahi sistem transportasi massal yang nyaman dan mencukupi, seperti kereta dan feeder busway. Apabila transportasi massal sudah terpenuhi, Hamdi menilai kemacetan dapat dikurangi.
"Macet akan selalu terjadi, sepanjang tata ruang enggak dibenahi. Berkurang bisa, asal ratio kendaraan pribadi terlalu banyak, kereta paling efisien. Jokowi harus lobi PT KAI perbanyak jalur dari pinggir Jakarta," tandasnya.
(stb)