Pengamat Nilai Pergub DKI No 133/2019 Bisa Dimanfaatkan Penghuni Nakal
A
A
A
JAKARTA - Pergub DKI Jakarta No 133/2019 tentang Perubahan atas Pergub No 132/2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik secara prinsip menekankan adanya perlindungan kepada para penghuni agar terhindar dari penguasaan oleh salah satu pihak atau kelompok.
Pengamat Hukum Pertanahan dan Properti Eddy Leks mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak perlu sampai membatasi pengurus dalam pemutusan fasilitas dasar.
Peraturan tersebut terdapat dalam pasal tambahan yakni Pasal 102 C. Di situ disebutkan, bahwa jika terjadi permasalahan di lingkungan rusun, Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) atau pengelola dilarang melakukan tindakan pembatasan atau pemutusan fasilitas dasar.
Fasilitas dasar yang dimaksud yakni penyediaan energi listrik, penyediaan sumber air bersih dan pemanfaatan atas denda, bagian dan tanah bersama, termasuk pemberian akses keluar masuk hunian. “Untuk alasan pembatasan atau pemutusan fasilitas, itu sangat luas dan dapat dimanfaatkan oleh penghuni yang memang berniat untuk tidak membayar, karena tahu ada larangan mengenai pemutusan fasilitas dasar,” kata Eddy di Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Eddy menilai, jika persoalan hukum sedang terjadi, misalnya sedang terjadi dualisme pengelolaan, memang penghuni akan merasa serba salah akan bayar IPL ke rekening lama atau ke rekening baru. Namun hal ini dapat menjadi celah bagi penghuni yang memiliki niat tidak baik, yakni tidak membayar kepada kedua rekening tersebut.
Tentu bagi pengelola pembayaran iuran pengelolaan lingkungan (IPL) sangat penting. Karena melalui pembayaran IPL tersebut operasional sehari-hari rusun bisa berjalan. Dapat dibayangkan jika IPL tidak menjadi kewajiban bakal muncul banyak masalah, seperti keamanan dan keselamatan.
“Jika uang tidak memadai, karena IPL tidak dibayar secara penuh, atau sama sekali tidak dibayar, maka semua penghuni rusun tersebut akan terdampak. Akhirnya akan menjadi masalah penafsiran, apakah perselisihan itu betul ada sesuai alasan-alasan yang diuraikan dalam Pergub atau tidak. Jika bagi pengelola perselisihan itu tidak ada atau alasan-alasan di Pergub tidak terwujud, atas dasar asumsi tersebut, tentu hak membatasi dan memutus fasilitas dasar masih ada,” terangnya.
Padahal ketentuan tersebut adalah hal baru yang tidak ada sebelumnya dalam Peraturan Menteri PUPR. "Justru, di dalam lampiran Permen yang ada di dalam ART, malah diatur bahwa layanan bisa dihentikan berdasarkan tata tertib," tuturnya.
Hal-hal seperti ini, kata Eddy, yang sering kali muncul dalam penerbitan aturan-aturan di level daerah. "Saya tidak heran pemerintah pusat mencanangkan Omnibus Law karena aturan-aturan di level daerah malah sering menyimpang atau tidak selaras dengan aturan pemerintah pusat. Dengan demikian, penafsiran hukum menjadi terdistorsi dan ini tidak baik bagi negara hukum seperti negara Indonesia,” ujarnya.
Pengamat Hukum Pertanahan dan Properti Eddy Leks mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak perlu sampai membatasi pengurus dalam pemutusan fasilitas dasar.
Peraturan tersebut terdapat dalam pasal tambahan yakni Pasal 102 C. Di situ disebutkan, bahwa jika terjadi permasalahan di lingkungan rusun, Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) atau pengelola dilarang melakukan tindakan pembatasan atau pemutusan fasilitas dasar.
Fasilitas dasar yang dimaksud yakni penyediaan energi listrik, penyediaan sumber air bersih dan pemanfaatan atas denda, bagian dan tanah bersama, termasuk pemberian akses keluar masuk hunian. “Untuk alasan pembatasan atau pemutusan fasilitas, itu sangat luas dan dapat dimanfaatkan oleh penghuni yang memang berniat untuk tidak membayar, karena tahu ada larangan mengenai pemutusan fasilitas dasar,” kata Eddy di Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Eddy menilai, jika persoalan hukum sedang terjadi, misalnya sedang terjadi dualisme pengelolaan, memang penghuni akan merasa serba salah akan bayar IPL ke rekening lama atau ke rekening baru. Namun hal ini dapat menjadi celah bagi penghuni yang memiliki niat tidak baik, yakni tidak membayar kepada kedua rekening tersebut.
Tentu bagi pengelola pembayaran iuran pengelolaan lingkungan (IPL) sangat penting. Karena melalui pembayaran IPL tersebut operasional sehari-hari rusun bisa berjalan. Dapat dibayangkan jika IPL tidak menjadi kewajiban bakal muncul banyak masalah, seperti keamanan dan keselamatan.
“Jika uang tidak memadai, karena IPL tidak dibayar secara penuh, atau sama sekali tidak dibayar, maka semua penghuni rusun tersebut akan terdampak. Akhirnya akan menjadi masalah penafsiran, apakah perselisihan itu betul ada sesuai alasan-alasan yang diuraikan dalam Pergub atau tidak. Jika bagi pengelola perselisihan itu tidak ada atau alasan-alasan di Pergub tidak terwujud, atas dasar asumsi tersebut, tentu hak membatasi dan memutus fasilitas dasar masih ada,” terangnya.
Padahal ketentuan tersebut adalah hal baru yang tidak ada sebelumnya dalam Peraturan Menteri PUPR. "Justru, di dalam lampiran Permen yang ada di dalam ART, malah diatur bahwa layanan bisa dihentikan berdasarkan tata tertib," tuturnya.
Hal-hal seperti ini, kata Eddy, yang sering kali muncul dalam penerbitan aturan-aturan di level daerah. "Saya tidak heran pemerintah pusat mencanangkan Omnibus Law karena aturan-aturan di level daerah malah sering menyimpang atau tidak selaras dengan aturan pemerintah pusat. Dengan demikian, penafsiran hukum menjadi terdistorsi dan ini tidak baik bagi negara hukum seperti negara Indonesia,” ujarnya.
(poe)