Selain Proses Pelaku, LPSK Nilai Perlindungan Terhadap Anak Korban Tak Kalah Penting
A
A
A
JAKARTA - Selain memproses hukum sindikat perdagangan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi di Penjaringan, Jakarta Utara, ada hal lain yang juga tak kalah penting yaitu perlindungan terhadap anak korban.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo mendukung aparat penegak hukum memproses para pelaku perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur. Dukungan itu termasuk kesiapan LPSK memberikan perlindungan kepada anak korban sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut dia, inti dari kedua pasal tersebut adalah anak korban kekerasan seksual dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhak atas perlindungan LPSK serta dapat mengakses layanan yang disediakan negara melalui LPSK, mulai bantuan medis, rehabilitasi psikologis maupun rehabilitasi psikososial.
“LPSK berharap kasus (eksploitasi anak di bawah umur secara ekonomi dan seksual di Jakarta Utara) dapat diproses berdasarkan UU Perlindungan Anak dan sekaligus UU Pemberantasan Tindak Pidana TPPO,” ujar Antonius di Jakarta, Sabtu (25/1/2020). (Baca juga: Sehari Korban PSK Anak Wajib Layani 10 Tamu dengan Tarif Rp150 Ribu)
Jika kasus ini akan diproses berdasarkan UU TPPO, pihak kepolisian dapat langsung memintakan perlindungan bagi anak korban kepada LPSK. Namun, seandainya diproses menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, LPSK berharap elemen masyarakat yang peduli dengan perlindungan anak, misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bersedia menjadi pendamping dan memintakan perlindungan ke LPSK.
“Berdasarkan kewenangan yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK juga bisa melakukan tindakan proaktif untuk memberikan perlindungan bagi anak korban,” kata Antonius.
Tak hanya itu, kementerian/lembaga atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki tugas, pokok dan fungsi perlindungan anak, juga dapat mengambil peran sebagai pendamping dan memohonkan perlindungan bagi anak korban ke LPSK.
“Selanjutnya, LPSK akan menggandeng K/L dan SKPD/pemda terkait untuk bersama-sama memberikan perlindungan dan layanan medis, psikologis, psikososial, dan hak lainnya bagi anak korban pelacuran/TPPO,” ungkapnya.
Sebab, menurut kedua undang-undang itu baik UU Perlindungan Anak maupun UU Pemberantasan TPPO, pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab pada masalah perlindungan anak dan penanganan korban.
Sebagaimana diberitakan, Polda Metro Jaya membekuk enam tersangka sindikat perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual maupun ekonomi. Mereka diketahui memaksa dan mempekerjakan 10 anak perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Kafe Khayangan, Jalan Rawa Bebek, Penjaringan,JakartaUtara. Enam tersangka yang ditangkap masing-masing berperan sebagai pemilik kafe bersama dan mucikari.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo mendukung aparat penegak hukum memproses para pelaku perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur. Dukungan itu termasuk kesiapan LPSK memberikan perlindungan kepada anak korban sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut dia, inti dari kedua pasal tersebut adalah anak korban kekerasan seksual dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhak atas perlindungan LPSK serta dapat mengakses layanan yang disediakan negara melalui LPSK, mulai bantuan medis, rehabilitasi psikologis maupun rehabilitasi psikososial.
“LPSK berharap kasus (eksploitasi anak di bawah umur secara ekonomi dan seksual di Jakarta Utara) dapat diproses berdasarkan UU Perlindungan Anak dan sekaligus UU Pemberantasan Tindak Pidana TPPO,” ujar Antonius di Jakarta, Sabtu (25/1/2020). (Baca juga: Sehari Korban PSK Anak Wajib Layani 10 Tamu dengan Tarif Rp150 Ribu)
Jika kasus ini akan diproses berdasarkan UU TPPO, pihak kepolisian dapat langsung memintakan perlindungan bagi anak korban kepada LPSK. Namun, seandainya diproses menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, LPSK berharap elemen masyarakat yang peduli dengan perlindungan anak, misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bersedia menjadi pendamping dan memintakan perlindungan ke LPSK.
“Berdasarkan kewenangan yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK juga bisa melakukan tindakan proaktif untuk memberikan perlindungan bagi anak korban,” kata Antonius.
Tak hanya itu, kementerian/lembaga atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki tugas, pokok dan fungsi perlindungan anak, juga dapat mengambil peran sebagai pendamping dan memohonkan perlindungan bagi anak korban ke LPSK.
“Selanjutnya, LPSK akan menggandeng K/L dan SKPD/pemda terkait untuk bersama-sama memberikan perlindungan dan layanan medis, psikologis, psikososial, dan hak lainnya bagi anak korban pelacuran/TPPO,” ungkapnya.
Sebab, menurut kedua undang-undang itu baik UU Perlindungan Anak maupun UU Pemberantasan TPPO, pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab pada masalah perlindungan anak dan penanganan korban.
Sebagaimana diberitakan, Polda Metro Jaya membekuk enam tersangka sindikat perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual maupun ekonomi. Mereka diketahui memaksa dan mempekerjakan 10 anak perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Kafe Khayangan, Jalan Rawa Bebek, Penjaringan,JakartaUtara. Enam tersangka yang ditangkap masing-masing berperan sebagai pemilik kafe bersama dan mucikari.
(jon)