Akibat Perilaku Seks Bebas, Ratusan Remaja Bekasi Terkena Penyakit Menular
A
A
A
BEKASI - Penyakit IMS ( infeksi menular seksual ) menjadi momok yang sangat menakutkan di Kota Bekasi karena penderitanya terus meningkat. Hingga Agustus ini tercatat sebanyak 696 kasus dengan penyebab perilaku seks bebas dan gonta-ganti pasangan.
”Penderitanya semakin tinggi, walaupun angkanya masih jauh dari tahun sebelumnya, penyakit ini perlu di waspadai oleh warga Bekasi, karena bisa menular lewat perilaku seks bebas,” ujar Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Dezy Syukrawati, Selasa (27/8/2019).
Menurut dia, dari 696 kasus selama 2019 ini, penderita IMS yang sudah berhasil diobati sebanyak 256 orang. Sisanya 440 orang belum ditangan. Sedang di tahun 2018 lalu, jumlah penderita IMS mencapai 760 kasus. Apalagi, faktor kemajemukan masyarakat mempengaruhi perilaku dan gaya hidup. Sehingga, mereka dengan bebas melakukan tindakan apapun.
Dezy menjelaskan, seks bebas terdiri dari beberbagai macam penyakit. Tapi yang paling sering adalah klamidia, yakni berupa penyakit menular seksual yang berasal dari bakteri chlamydia trachomatis. Penyakit ini menular melalui hubungan seksual maupun diturunkan oleh ibu kepada bayinya.
Selain itu juga, lanjut dia, meski penyakit menular seksual ini bisa disembuhkan tapi rentan tertular HIV/AIDS. ”Penyakit infeksi seks menular ini pada dasarnya bisa disembuhkan dengan cara meminum obat rutin yang sudah diberikan dokter, yang lebih baik lagi tidak melakukan seks secara bebas,” katanya. (Baca Juga: Belasan Balita di Bekasi Terkena HIV/AIDS)
Hanya saja, kata dia, kalau sudah sembuh perilaku seks bebas itu bakal diulang lagi, sehingga orang yang pernah terinfeksi virus ini akan terus menderita penyakit yang serupa, karena perilaku yang terus dilakukan oleh mereka. ”Begitu terus terulang. Padahal rawan terpapar HIV, seharusnya sudah tidak berperilaku seperti itu,” ungkapnya.
Bahkan, pihaknya tengah mendorong program Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan pemeriksaan kepada kelompok berisiko tinggi penyakit tersebut. Yakni, wanita pekerja seksual, Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) atau penyuka sesama jenis dan kalangan ibu hamil.
Selain itu, pemeriksaan terhadap ibu hamil ini diperlukan untuk pencegahan. Sebab, mereka yang sudah positif menderita IMS dan tengah mengandung maka rentan akan menularkan penyakit tersebut kepada anak yang dikandungnya. ”Dua tahun ini, penderita IMS ditemukan dari kalangan kelompok LGBT, pekerja seksual dan ibu hamil,” jelasnya.
Bagi warga yang memeriksakan diri ke puskesmas dan dinyatakan positif IMS, maka akan diberikan konseling secara pribadi. Dokter tidak dikemukakan secara terbuka meskipun kepada keluarga pasien.
Pemeriksaan kepada kelompok-kelompok berisiko tinggi ini sudah dilakukan terhadap pekerja seksual maupun komunitas yang terdeteksi LGBT. Namun untuk menyudahi perilaku seks komunitas tersebut, kendala ekonomi seringkali menyulitkan untuk menjamin mereka tidak melakukan seks bebas kembali.
”Untuk komunitas-komunitas itu pemeriksaan kita mengikuti waktu mereka, kadang malam hari. Yang terpenting mereka mau untuk diperiksa,” jelasnya.
Kabid Perawatan, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bekasi Sudirman mengatakan, kebanyakan perilaku seks bebas menyebabkan HIV/AIDS. Biasanya, penderitanya selalu berganti pasangan dalam berhubungan badan. ”Penyakit itu menular lewat hubungan seks bebas, jadi perlu di waspadi,” katanya.
Meski begitu, para penderita penyakit HIV/AIDS bisa mendatangi langsung klinik VCT yang sudah tersedia di beberapa puskesmas dan RSUD Kota Bekasi. Menurut dia juga, klinik-klinik tersebut memiliki program konseling. ”Di RSUD, Klinik VCT banyak dikunjungi pasien yang menderita HIV/AIDS,” tutupnya.
”Penderitanya semakin tinggi, walaupun angkanya masih jauh dari tahun sebelumnya, penyakit ini perlu di waspadai oleh warga Bekasi, karena bisa menular lewat perilaku seks bebas,” ujar Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Dezy Syukrawati, Selasa (27/8/2019).
Menurut dia, dari 696 kasus selama 2019 ini, penderita IMS yang sudah berhasil diobati sebanyak 256 orang. Sisanya 440 orang belum ditangan. Sedang di tahun 2018 lalu, jumlah penderita IMS mencapai 760 kasus. Apalagi, faktor kemajemukan masyarakat mempengaruhi perilaku dan gaya hidup. Sehingga, mereka dengan bebas melakukan tindakan apapun.
Dezy menjelaskan, seks bebas terdiri dari beberbagai macam penyakit. Tapi yang paling sering adalah klamidia, yakni berupa penyakit menular seksual yang berasal dari bakteri chlamydia trachomatis. Penyakit ini menular melalui hubungan seksual maupun diturunkan oleh ibu kepada bayinya.
Selain itu juga, lanjut dia, meski penyakit menular seksual ini bisa disembuhkan tapi rentan tertular HIV/AIDS. ”Penyakit infeksi seks menular ini pada dasarnya bisa disembuhkan dengan cara meminum obat rutin yang sudah diberikan dokter, yang lebih baik lagi tidak melakukan seks secara bebas,” katanya. (Baca Juga: Belasan Balita di Bekasi Terkena HIV/AIDS)
Hanya saja, kata dia, kalau sudah sembuh perilaku seks bebas itu bakal diulang lagi, sehingga orang yang pernah terinfeksi virus ini akan terus menderita penyakit yang serupa, karena perilaku yang terus dilakukan oleh mereka. ”Begitu terus terulang. Padahal rawan terpapar HIV, seharusnya sudah tidak berperilaku seperti itu,” ungkapnya.
Bahkan, pihaknya tengah mendorong program Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan pemeriksaan kepada kelompok berisiko tinggi penyakit tersebut. Yakni, wanita pekerja seksual, Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) atau penyuka sesama jenis dan kalangan ibu hamil.
Selain itu, pemeriksaan terhadap ibu hamil ini diperlukan untuk pencegahan. Sebab, mereka yang sudah positif menderita IMS dan tengah mengandung maka rentan akan menularkan penyakit tersebut kepada anak yang dikandungnya. ”Dua tahun ini, penderita IMS ditemukan dari kalangan kelompok LGBT, pekerja seksual dan ibu hamil,” jelasnya.
Bagi warga yang memeriksakan diri ke puskesmas dan dinyatakan positif IMS, maka akan diberikan konseling secara pribadi. Dokter tidak dikemukakan secara terbuka meskipun kepada keluarga pasien.
Pemeriksaan kepada kelompok-kelompok berisiko tinggi ini sudah dilakukan terhadap pekerja seksual maupun komunitas yang terdeteksi LGBT. Namun untuk menyudahi perilaku seks komunitas tersebut, kendala ekonomi seringkali menyulitkan untuk menjamin mereka tidak melakukan seks bebas kembali.
”Untuk komunitas-komunitas itu pemeriksaan kita mengikuti waktu mereka, kadang malam hari. Yang terpenting mereka mau untuk diperiksa,” jelasnya.
Kabid Perawatan, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bekasi Sudirman mengatakan, kebanyakan perilaku seks bebas menyebabkan HIV/AIDS. Biasanya, penderitanya selalu berganti pasangan dalam berhubungan badan. ”Penyakit itu menular lewat hubungan seks bebas, jadi perlu di waspadi,” katanya.
Meski begitu, para penderita penyakit HIV/AIDS bisa mendatangi langsung klinik VCT yang sudah tersedia di beberapa puskesmas dan RSUD Kota Bekasi. Menurut dia juga, klinik-klinik tersebut memiliki program konseling. ”Di RSUD, Klinik VCT banyak dikunjungi pasien yang menderita HIV/AIDS,” tutupnya.
(ysw)