Psikolog: Polisi Harus Ungkap Motif Penembakan Terhadap Bripka Rahmat
A
A
A
DEPOK - Motif penembakan yang dilakukan Brigadir RT terhadap Bripka Rahmat Effendy harus diketahui publik. Pasalnya pelaku tidak bisa mengendalikan emosi sehingga menembak korban berkali-kali.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta mengatakan, penembakan Bripka Rahmat harus diketahui dulu motif pelaku berbuat demikian."Sehingga konflik kecil menjadi pemicu pelaku melakukan tindakan yang berlebihan hingga menewaskan orang lain," kata Shinta Jumat (26/7/2019).
Dia menduga mungkin permasalahan ini menyinggung pelaku secara pribadi sehingga mendorong melakukan tindakan tersebut. Ada dugaan pelaku tidak cakap mengendalikan emosinya. Padahal pemegang senjata seharusnya memiliki kecakapan mengendalikan emosi.
"Ya pada dasarnya sebagai pribadi dia punya kesulitan pengendalian diri, dan punya akses pada senjata jadi pelampiasan emosinya lebih mudah," ujarnya.
Dia menuturkan, orang yang membawa senjata memang punya kecenderungan menggunakan senjata pada saat terdesak atau tertekan secara emosional. Oleh karena itu perlu dilakukan psikotes secara berkala.
"Pemegang senjata seharusnya memang secara berkala diperiksa kondisi psikologisnya terutama reaksi pada kondisi dengan tekanan. Menjadi pihak penegak hukum yang dilengkapi senjata membawa konsekuensi yang besar dalam segi pembinaan mental dan psikologis," tegasnya
Shinta menambahkan, psikotes terhadap pemegang senjata tidak hanya dilakukan di awal saja, termasuk psikotes untuk anggota kepolisian. "Pemeriksaan tidak bisa hanya dilakukan pada saat tes masuk saja, tapi secara periodik," ujarnya
Ditanya apakah dengan adanya dugaan psikotes yang dilakukan kurang kompeten atau tidak standar, Shinta menduga hal itu bisa saja terjadi karena selalu ada margin of error dari setiap tes. "Belum tentu juga tesnya dilakukan secara berkala," katanya.
Menurutnya, gejala psikologis dapat bersifat berfluaktif, faktor psikologis berperan, tapi situasional sangat berperan pula. "Saya kira kasus banyak di profesi lain cuma kebetulan pada polisi punya akses ke senjata," pungkasnya.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta mengatakan, penembakan Bripka Rahmat harus diketahui dulu motif pelaku berbuat demikian."Sehingga konflik kecil menjadi pemicu pelaku melakukan tindakan yang berlebihan hingga menewaskan orang lain," kata Shinta Jumat (26/7/2019).
Dia menduga mungkin permasalahan ini menyinggung pelaku secara pribadi sehingga mendorong melakukan tindakan tersebut. Ada dugaan pelaku tidak cakap mengendalikan emosinya. Padahal pemegang senjata seharusnya memiliki kecakapan mengendalikan emosi.
"Ya pada dasarnya sebagai pribadi dia punya kesulitan pengendalian diri, dan punya akses pada senjata jadi pelampiasan emosinya lebih mudah," ujarnya.
Dia menuturkan, orang yang membawa senjata memang punya kecenderungan menggunakan senjata pada saat terdesak atau tertekan secara emosional. Oleh karena itu perlu dilakukan psikotes secara berkala.
"Pemegang senjata seharusnya memang secara berkala diperiksa kondisi psikologisnya terutama reaksi pada kondisi dengan tekanan. Menjadi pihak penegak hukum yang dilengkapi senjata membawa konsekuensi yang besar dalam segi pembinaan mental dan psikologis," tegasnya
Shinta menambahkan, psikotes terhadap pemegang senjata tidak hanya dilakukan di awal saja, termasuk psikotes untuk anggota kepolisian. "Pemeriksaan tidak bisa hanya dilakukan pada saat tes masuk saja, tapi secara periodik," ujarnya
Ditanya apakah dengan adanya dugaan psikotes yang dilakukan kurang kompeten atau tidak standar, Shinta menduga hal itu bisa saja terjadi karena selalu ada margin of error dari setiap tes. "Belum tentu juga tesnya dilakukan secara berkala," katanya.
Menurutnya, gejala psikologis dapat bersifat berfluaktif, faktor psikologis berperan, tapi situasional sangat berperan pula. "Saya kira kasus banyak di profesi lain cuma kebetulan pada polisi punya akses ke senjata," pungkasnya.
(whb)