Pemprov DKI Jakarta Diminta Fokus Penyediaan Air Bersih
A
A
A
JAKARTA - Pasca-keluarnya putusan Peninjauan Kembali (PK) mengenai privatisasi air bersih. Pemprov DKI Jakarta diminta fokus pada pembahasan mengenai kelanjutan penyediaan air bersih pasca berakhirnya kontrak dengan swasta pada 2023.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah mengatakan, adanya putusan PK, kerja sama investasi dengan mitra swasta di bidang sumber daya air yang selama ini dilakukan oleh penyelenggara negara melalui PAM Jaya, dikukuhkan sebagai suatu bentuk kerja sama yang memang diperlukan dan diperbolehkan secara hukum. Hal tersebut juga sangat sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015.
"Kalau sekarang Pemprov DKI telah membentuk tim kajian, lebih baik mandatnya ditujukan untuk membahas kelanjutan penyediaan air pasca-2023. Sebab belum tentu juga PAM Jaya sanggup, bila tidak dipersiapkan sejak saat ini," kata Trubus kepada wartawan Selasa (18/6/2019).
Trubus menuturkan, Gubernur DKI Anies Baswedan seharusnya menghentikan upaya pengambilalihan pengelolaan air dari swasta. Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum DKI sebaiknya fokus pada upaya yang perlu dilakukan pasca-kerja sama dengan swasta berakhir.
Bila Anies memaksakan untuk mengambil alih, lanjut Trubus, bisa disebutkan bahwa Gubernur DKI telah melakukan pembangkangan hukum. Dan itu bisa jadi preseden buruk bagi investor.
Trubus menuturkan, dalam upaya mengamankan target kebutuhan investasi sebesar Rp5,8 triliun pada 2020, pemerintah perlu mengeluarkan perpres yang menjadi landasan bagi keamanan investasi bagi investor. Perpres itu menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan terkait investasi yang ditanamkan para investor.
Menurutnya, investor yang datang menanamkan investasinya tentu berharap agar investasinya dapat berjalan lancar dan tidak mendapat gangguan. Oleh karena itu mereka membutuhkan jaminan kepastian hukum terhadap investasinya.
"Kita tahu bahwa kepastian hukum itu seringkali masih jadi masalah hingga saat ini. Pemerintah daerah sering kali mengeluarkan kebijakan yang berbeda. Ini tentu mengganggu kenyamanan investor," ujar Trubus.
Trubus mencontohkan dalam masalah kerja sama antara PAM Jaya dan mitranya yakni Palyja dan Aetra, dimana ada keinginan dari sebagian pihak untuk menghentikan kerja sama yang masih berlaku hingga 2023. "Hal seperti ini perlu diatur. Jangan sampai investasi yang sudah berjalan dan sesuai undang undang bisa diutak atik karena beda penafsiran dari pemerintah daerah," ucapnya.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah mengatakan, adanya putusan PK, kerja sama investasi dengan mitra swasta di bidang sumber daya air yang selama ini dilakukan oleh penyelenggara negara melalui PAM Jaya, dikukuhkan sebagai suatu bentuk kerja sama yang memang diperlukan dan diperbolehkan secara hukum. Hal tersebut juga sangat sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015.
"Kalau sekarang Pemprov DKI telah membentuk tim kajian, lebih baik mandatnya ditujukan untuk membahas kelanjutan penyediaan air pasca-2023. Sebab belum tentu juga PAM Jaya sanggup, bila tidak dipersiapkan sejak saat ini," kata Trubus kepada wartawan Selasa (18/6/2019).
Trubus menuturkan, Gubernur DKI Anies Baswedan seharusnya menghentikan upaya pengambilalihan pengelolaan air dari swasta. Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum DKI sebaiknya fokus pada upaya yang perlu dilakukan pasca-kerja sama dengan swasta berakhir.
Bila Anies memaksakan untuk mengambil alih, lanjut Trubus, bisa disebutkan bahwa Gubernur DKI telah melakukan pembangkangan hukum. Dan itu bisa jadi preseden buruk bagi investor.
Trubus menuturkan, dalam upaya mengamankan target kebutuhan investasi sebesar Rp5,8 triliun pada 2020, pemerintah perlu mengeluarkan perpres yang menjadi landasan bagi keamanan investasi bagi investor. Perpres itu menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan terkait investasi yang ditanamkan para investor.
Menurutnya, investor yang datang menanamkan investasinya tentu berharap agar investasinya dapat berjalan lancar dan tidak mendapat gangguan. Oleh karena itu mereka membutuhkan jaminan kepastian hukum terhadap investasinya.
"Kita tahu bahwa kepastian hukum itu seringkali masih jadi masalah hingga saat ini. Pemerintah daerah sering kali mengeluarkan kebijakan yang berbeda. Ini tentu mengganggu kenyamanan investor," ujar Trubus.
Trubus mencontohkan dalam masalah kerja sama antara PAM Jaya dan mitranya yakni Palyja dan Aetra, dimana ada keinginan dari sebagian pihak untuk menghentikan kerja sama yang masih berlaku hingga 2023. "Hal seperti ini perlu diatur. Jangan sampai investasi yang sudah berjalan dan sesuai undang undang bisa diutak atik karena beda penafsiran dari pemerintah daerah," ucapnya.
(whb)