Berdasar Indeks Lalu Lintas TomTom, Kemacetan Jakarta Terkendali
A
A
A
JAKARTA - Tingkat kemacetan jalanan di DKI Jakarta bisa diturunkan bukan utopis. Sejumlah langkah yang telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta didukung pemerintah pusat, perlahan tapi pasti, mampu mengendalikan tingkat kemacetan agar tidak semakin parah. Bahkan, laporan terakhir menyebut kemacetan di Jakarta mengalami penurunan.
Berdasar Indeks Lalu Lintas TomTom yang menyediakan data live tentang kemacetan lalu lintas di berbagai kota di dunia, Jakarta mengalami perbaikan terbesar sejak 2017. Kondisi ini disebut menunjukkan adanya perkembangan positif dibanding sejumlah kota di negara lain yang didera persoalan sama.
Menurut laporan itu, pada 2018 ini tingkat kemacetan menurun dari 61% pada 2017 menjadi 53% pada 2018, serta menempatkan Jakarta dalam peringkat tujuh yang paling tercemar di dunia, naik dari peringkat keempat pada 2017. TomTom mencatat Senin, 18 Juni 2018, menjadi hari dengan tingkat kemacetan terendah di Jakarta. Adapun kemacetan terburuk di Jakarta tahun lalu terjadi pada Kamis, 15 Februari 2018.
“Jakarta tercatat mengalami penurunan 8% dalam kemacetan lalu lintas pada 2018 dibandingkan 2017,” ungkap laporan Indeks Lalu Lintas TomTom dalam lamannya. Pemprov DKI menilai perkembangan positif tersebut terjadi sebagai wujud keberhasilan Pemprov dalam mengembangkan layanan angkutan umum terintegrasi, dan di sisi lain sebagai dampak perubahan positif di masyarakat di mana penggunaan angkutan umum sudah menjadi kebiasaan dan budaya baru masyarakat urban di Jakarta.
Namun, pengamat transportasi menilai janggal apa yang ditunjukkan indeks TomTom tersebut karena parameternya dianggap tidak jelas. Di sisi lain, pihak Pemprov DKI Jakarta dituntut agar tidak berpuas diri dengan terus melakukan pembenahan sistem lalu lintas dan transportasi.
"Capaian ini tentu akan jadi semangat bagi Pemprov dan seluruh stake holder transportasi untuk terus berkolaborasi mengembangkan layanan terintegrasi sehingga modal share 60% mobilitas masyarakat gunakan angkutan umum dapat diwujudkan," ujar Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko kepada KORANSINDO di Jakarta kemarin.
Sigit menilai hasil survei TomTom tersebut adalah berdasarkan perkembangan pembangunan di bidang transportasi oleh Pemprov DKI, di antaranya pembangunan jalan simpang tak sebidang seperti underpass dan flyover; penutupan perlintasan sebidang kereta api; perluasan kebijakan ganjil-genap.
Pembenahan lain yang dilakukan adalah redesain Jalan MH Thamrin dan Jalan PB Sudirman sehingga semakin lebar tanpa adanya jalur lambat; program Jaklingko yang merangkul angkutan umum dalam manajemen Dishub DKI sehingga angkot tidak ngetem sembarangan karena sudah mengacu pada sistem rupiah per kilometer; pengoperasian mass rapid transit (MRT) yang akan disusul operasional light rail transit (LRT); integrasi Transjakarta dengan MRT, angkutan perkotaan, dan mewadahi program Jaklingko.
"Bersama dengan seluruh stake holder baik Kemenhub maupun Dishub di Bodetabek untuk mengembangkan transportasi dari dan ke daerah permukiman ke kota serta ke bandara," jelasnya. Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Yuke Yurike meminta Pemprov DKI Jakarta jangan terlalu bangga dengan hasil indeks lalu lintas TomTom. Menurut dia, penurunan kemacetan harus diukur dengan kecepatan perjalanan di seluruh ruas jalan DKI Jakarta.
"Program kemacetan Pemprov DKI Jakarta belum berjalan. Baik itu Jak Lingko atau Transit Oriented Development (TOD). Jadi, DKI jangan cepat bangga," kata Yuke saat dihubungi, Minggu (16/6). Yuke menjelaskan, survei TomTom dilakukan pada 2018 sebelum MRT beroperasi dan Jak Lingko baru sebatas dua-tiga trayek angkutan bus kecil. Namun, saat itu ada perhelatan Asian Games yang mengubah beberapa kebijakan pengendalian lalu lintas, khususnya perluasan sistem ganjil-genap.
Dalam pandangan politisi PDI Perjuangan, kemacetan itu berkurang ketika pola transportasi makro berjalan, di antaranya perbaikan dan penambahan moda transportasi yang saling terintegrasi; penambahan infrastruktur transportasi dan pengendalian lalu lintas.
"Nah, kalau pengendalian lalu lintas masih manual dan tidak diperluas. Sulit mengatakan kemacetan berkurang di Jakarta. Jadi, saya melihat kemacetan berkurang di Jakarta itu saat penyelenggaraan Asian Games saja," katanya.
Sebagai informasi, lima kota di dunia yang paling macet pada 2018 adalah Mumbai di India yang menempati peringkat pertama. Kemudian berturut-turut diikuti Bogota (Kolombia), Lima (Peru), New Delhi (India), dan Moskow (Rusia). TomTom menyebut hari terbaik pada 2018 dengan kemacetan terendah di penjuru dunia adalah pada 25 Desember.
Indeks TomTom mengumpulkan data di 403 kota di 56 negara di 6 benua secara live. Data itu dapat digunakan para pengemudi, perencana perkotaan, manufaktur automotif, dan pembuat kebijakan dengan memanfaatkan data statistik dan informasi tentang level kemacetan di tiap kota. Persentase level kemacetan itu mewakili jumlah waktu perjalanan tambahan yang dialami para pengemudi selama setahun penuh.
Parameter Dipertanyakan
Pengamat transportasi Universitas Tarumanegara Leksmono Suryo Putranto menilai janggal hasil survei Indeks Lalu Lintas TomTom (TomTom Traffic Index) yang menyatakan kemacetan di Jakarta turun 8%. Dia bahkan menilai parameter TomTom dalam mengukur kemacetan dianggap tidak kompeten. "Saya bingung dengan hasil survei TomTom? Apa parameternya? Kalau hanya lihat GPS, ya tidak bisa dikatakan berkurang," kata Leksmono di Jakarta kemarin.
Leksmono menjelaskan, untuk mengukur kemacetan di Jakarta tidak bisa hanya menggunakan GPS. Menurutnya, hal paling sederhana untuk mengukur kemacetan itu adalah kecepatan tempuh kendaraan dan hal itu harus dilakukan secara konsisten.
Misalnya saja di ruas jalan Sudirman–Thamrin yang dipilih menjadi salah satu sampling dalam meneliti sebuah kemacetan di Jakarta. Peneliti harus konsisten mencatat kecepatan kendaraan melalui teknologi tertentu baik saat jam sibuk maupun tidak sibuk, dan harus dilakukan secara konsisten. "Apalagi ini membandingkan dengan negara lain. Sulit rasanya dipercaya kalau hanya mengandalkan GPS," tandasnya.
Pengamat tata kota Universitas Trisakti Nirwono Joga menilai indeks kemacetan dari 61% ke 58% bukan karena peralihan masyarakat dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Dia menunjuk penggunaan transportasi massal, seperti Transjakarta justru mengalami pengurangan.
Di sisi lain penggunaan kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor dan pengguna mobil kecil atau low cost and green car justru meningkat. Terlebih saat ini tidak ada pembatasan kendaraan pribadi motor dan mobil ke pusat kota khususnya Jln Sudirman-Jln Thamrin. "Dengan pola demikian, kemacetan akan menjamur dari pinggiran hingga kota kembali meningkat parah terutama di pagi dan sore hari,” katanya.
Karena itu, dia menyarankan perlu ada beberapa kebijakan yakni mempercepat penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing, dan penerapan e-parking progresif ke pusat kota. Selain itu, mengatur kendaraan masuk ke pusat kota perluasan ganjil-genap baik waktu maupun kawasannya harus ditingkatkan.
Di sisi lain, dia meminta penyediaan sarana park and ride di pinggiran kota (terminal, stasiun, halte simpul). “Pembangunan trotoar terutama di dekat dan sekitar terminal, stasiun, halte bustrans, serta penegakan hukum di trotoar (bebas pkl dan fungsi lain kecuali untuk pejalan kaki),” ujar dia.
Berdasar Indeks Lalu Lintas TomTom yang menyediakan data live tentang kemacetan lalu lintas di berbagai kota di dunia, Jakarta mengalami perbaikan terbesar sejak 2017. Kondisi ini disebut menunjukkan adanya perkembangan positif dibanding sejumlah kota di negara lain yang didera persoalan sama.
Menurut laporan itu, pada 2018 ini tingkat kemacetan menurun dari 61% pada 2017 menjadi 53% pada 2018, serta menempatkan Jakarta dalam peringkat tujuh yang paling tercemar di dunia, naik dari peringkat keempat pada 2017. TomTom mencatat Senin, 18 Juni 2018, menjadi hari dengan tingkat kemacetan terendah di Jakarta. Adapun kemacetan terburuk di Jakarta tahun lalu terjadi pada Kamis, 15 Februari 2018.
“Jakarta tercatat mengalami penurunan 8% dalam kemacetan lalu lintas pada 2018 dibandingkan 2017,” ungkap laporan Indeks Lalu Lintas TomTom dalam lamannya. Pemprov DKI menilai perkembangan positif tersebut terjadi sebagai wujud keberhasilan Pemprov dalam mengembangkan layanan angkutan umum terintegrasi, dan di sisi lain sebagai dampak perubahan positif di masyarakat di mana penggunaan angkutan umum sudah menjadi kebiasaan dan budaya baru masyarakat urban di Jakarta.
Namun, pengamat transportasi menilai janggal apa yang ditunjukkan indeks TomTom tersebut karena parameternya dianggap tidak jelas. Di sisi lain, pihak Pemprov DKI Jakarta dituntut agar tidak berpuas diri dengan terus melakukan pembenahan sistem lalu lintas dan transportasi.
"Capaian ini tentu akan jadi semangat bagi Pemprov dan seluruh stake holder transportasi untuk terus berkolaborasi mengembangkan layanan terintegrasi sehingga modal share 60% mobilitas masyarakat gunakan angkutan umum dapat diwujudkan," ujar Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko kepada KORANSINDO di Jakarta kemarin.
Sigit menilai hasil survei TomTom tersebut adalah berdasarkan perkembangan pembangunan di bidang transportasi oleh Pemprov DKI, di antaranya pembangunan jalan simpang tak sebidang seperti underpass dan flyover; penutupan perlintasan sebidang kereta api; perluasan kebijakan ganjil-genap.
Pembenahan lain yang dilakukan adalah redesain Jalan MH Thamrin dan Jalan PB Sudirman sehingga semakin lebar tanpa adanya jalur lambat; program Jaklingko yang merangkul angkutan umum dalam manajemen Dishub DKI sehingga angkot tidak ngetem sembarangan karena sudah mengacu pada sistem rupiah per kilometer; pengoperasian mass rapid transit (MRT) yang akan disusul operasional light rail transit (LRT); integrasi Transjakarta dengan MRT, angkutan perkotaan, dan mewadahi program Jaklingko.
"Bersama dengan seluruh stake holder baik Kemenhub maupun Dishub di Bodetabek untuk mengembangkan transportasi dari dan ke daerah permukiman ke kota serta ke bandara," jelasnya. Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Yuke Yurike meminta Pemprov DKI Jakarta jangan terlalu bangga dengan hasil indeks lalu lintas TomTom. Menurut dia, penurunan kemacetan harus diukur dengan kecepatan perjalanan di seluruh ruas jalan DKI Jakarta.
"Program kemacetan Pemprov DKI Jakarta belum berjalan. Baik itu Jak Lingko atau Transit Oriented Development (TOD). Jadi, DKI jangan cepat bangga," kata Yuke saat dihubungi, Minggu (16/6). Yuke menjelaskan, survei TomTom dilakukan pada 2018 sebelum MRT beroperasi dan Jak Lingko baru sebatas dua-tiga trayek angkutan bus kecil. Namun, saat itu ada perhelatan Asian Games yang mengubah beberapa kebijakan pengendalian lalu lintas, khususnya perluasan sistem ganjil-genap.
Dalam pandangan politisi PDI Perjuangan, kemacetan itu berkurang ketika pola transportasi makro berjalan, di antaranya perbaikan dan penambahan moda transportasi yang saling terintegrasi; penambahan infrastruktur transportasi dan pengendalian lalu lintas.
"Nah, kalau pengendalian lalu lintas masih manual dan tidak diperluas. Sulit mengatakan kemacetan berkurang di Jakarta. Jadi, saya melihat kemacetan berkurang di Jakarta itu saat penyelenggaraan Asian Games saja," katanya.
Sebagai informasi, lima kota di dunia yang paling macet pada 2018 adalah Mumbai di India yang menempati peringkat pertama. Kemudian berturut-turut diikuti Bogota (Kolombia), Lima (Peru), New Delhi (India), dan Moskow (Rusia). TomTom menyebut hari terbaik pada 2018 dengan kemacetan terendah di penjuru dunia adalah pada 25 Desember.
Indeks TomTom mengumpulkan data di 403 kota di 56 negara di 6 benua secara live. Data itu dapat digunakan para pengemudi, perencana perkotaan, manufaktur automotif, dan pembuat kebijakan dengan memanfaatkan data statistik dan informasi tentang level kemacetan di tiap kota. Persentase level kemacetan itu mewakili jumlah waktu perjalanan tambahan yang dialami para pengemudi selama setahun penuh.
Parameter Dipertanyakan
Pengamat transportasi Universitas Tarumanegara Leksmono Suryo Putranto menilai janggal hasil survei Indeks Lalu Lintas TomTom (TomTom Traffic Index) yang menyatakan kemacetan di Jakarta turun 8%. Dia bahkan menilai parameter TomTom dalam mengukur kemacetan dianggap tidak kompeten. "Saya bingung dengan hasil survei TomTom? Apa parameternya? Kalau hanya lihat GPS, ya tidak bisa dikatakan berkurang," kata Leksmono di Jakarta kemarin.
Leksmono menjelaskan, untuk mengukur kemacetan di Jakarta tidak bisa hanya menggunakan GPS. Menurutnya, hal paling sederhana untuk mengukur kemacetan itu adalah kecepatan tempuh kendaraan dan hal itu harus dilakukan secara konsisten.
Misalnya saja di ruas jalan Sudirman–Thamrin yang dipilih menjadi salah satu sampling dalam meneliti sebuah kemacetan di Jakarta. Peneliti harus konsisten mencatat kecepatan kendaraan melalui teknologi tertentu baik saat jam sibuk maupun tidak sibuk, dan harus dilakukan secara konsisten. "Apalagi ini membandingkan dengan negara lain. Sulit rasanya dipercaya kalau hanya mengandalkan GPS," tandasnya.
Pengamat tata kota Universitas Trisakti Nirwono Joga menilai indeks kemacetan dari 61% ke 58% bukan karena peralihan masyarakat dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Dia menunjuk penggunaan transportasi massal, seperti Transjakarta justru mengalami pengurangan.
Di sisi lain penggunaan kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor dan pengguna mobil kecil atau low cost and green car justru meningkat. Terlebih saat ini tidak ada pembatasan kendaraan pribadi motor dan mobil ke pusat kota khususnya Jln Sudirman-Jln Thamrin. "Dengan pola demikian, kemacetan akan menjamur dari pinggiran hingga kota kembali meningkat parah terutama di pagi dan sore hari,” katanya.
Karena itu, dia menyarankan perlu ada beberapa kebijakan yakni mempercepat penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing, dan penerapan e-parking progresif ke pusat kota. Selain itu, mengatur kendaraan masuk ke pusat kota perluasan ganjil-genap baik waktu maupun kawasannya harus ditingkatkan.
Di sisi lain, dia meminta penyediaan sarana park and ride di pinggiran kota (terminal, stasiun, halte simpul). “Pembangunan trotoar terutama di dekat dan sekitar terminal, stasiun, halte bustrans, serta penegakan hukum di trotoar (bebas pkl dan fungsi lain kecuali untuk pejalan kaki),” ujar dia.
(don)