Selama 5 Tahun, Bekasi Terima 1.115 Laporan Perselisihan Pekerja-Industri
A
A
A
BEKASI - Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bekasi telah menerima ribuan laporan perselisihan pekerja dengan industri yang kerap terjadi di wilayahnya. Rata-rata penyebab perselisihan itu ada empat indikator.
Tapi yang paling mendominasi adalah persoalan hak pemberian upah karyawan tidak sebanding dengan upah yang dijanjikan. Padahal, Kota Bekasi menjadi salah satu willayah pemberi upah tertinggi kedua di Jawa Barat, setelah Kabupaten Karawang.
”Selama lima tahun terakhir, kami terima 1.115 perselisihan antara pekerja dan industri,” ujar staf Analis Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi Riano Eriza, Minggu, 24 Maret 2019 kemarin.
Menurutnya, dengan besarnya angka perselisihan itu bisa diperkirakan setiap tahun terjadi 250 perselisihan. Kebanyakan perselisihan itu disebabkan soal hak pekerja. Semisal hal yang dimaksud seperti upah yang tertunda, ada juga upah yang tidak sesuai dibayarkan perusahaan.
”Lebih dominan laporan tentang hak pekerja,” katanya. Selain hak, lanjut dia, indikator lainnya ada di pemutusan hubungan kerja (PHK), kepentingan muatan soal kerja sama antarpekerja dan perselisihan antar serikat. Biasanya, di setiap satu perusahaan ada banyak berdiri serikat pekerja. Selama periode 2013-2018 jumlah laporan perselisihan 1.1150 laporan.
Padahal, di Kota Bekasi memilik perusahaan sebanyak 1.258 perusahaan. Dan 90 perusahaan di antaranya bersetara besar. Namun, sisanya kebanyakan perusahaan menengah kebawah termasuk perusahaan asing.”Laporan yang kami terima dari perusahaan menengah kebawah hingga perusahaan besar,” ungkapnya.
Riano menjelaskan, dalam menyelesaikan perselisihan itu pihaknya melakukan mediasi antara perusahaan dan pekerja. Dan hasilnya, akan dilanjutkan dalam keputusan rekomendasi. Hal itu dilakukan untuk menghindari gesekan antara pekerja dengan pihak perusahaan. Sebab, untuk menyelesaikanya ada aturanya.
Sejauh ini, di Kota Bekasi terdapat tiga kawasan industri besar. Di antaranya, Kawasan Wahab Affan di Jalan Sultan Agung, Kawasan Kaliabang, di Pondok Ungu, dan Kawasan Narogong di Bantar Gebang. Mereka mendapat pengawasan dari pemerintah daerah meski penindakannya dilakukan petugas dari Pemprov Jawa Barat.
Usai ditetapkannya Upah Minimum Kerja (UMK) Rp4,2 juta atau menjadi nomor dua tertinggi di Jawa Barat setelah Karawang belum ada perusahaan yang melakukan penangguhan. Kebanyakan perusahaan telah menjalani keputusan pemerintah untuk pemberian upah tahun 2019.
Kabid Hubungan Industrial, Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, M Rusli menambahkan, pemerintah daerah menjadi mediasi bilamana terjadi perselisihan antara pekerja dan pihak perusahaan. Acuannya, adalah aturan yang sudah tertuang dalam keputusan pemerintah.” Termasuk melihat perjanjian kerja yang ada di masing-masing perusahaan,” ujarnya.
Rusli melanjutkan, selama ini belum ada perusahaan yang gulung tikar akibat penetapan UMK 2019. Bahkan, dia tak menapik pihaknya tengah membahas keputusan baru terkait upah tahun depan.”Untuk upah tahun depan masih dalam pembahasan nanti oleh kami dan dewan pengupahan,” ucapnya.
Tapi yang paling mendominasi adalah persoalan hak pemberian upah karyawan tidak sebanding dengan upah yang dijanjikan. Padahal, Kota Bekasi menjadi salah satu willayah pemberi upah tertinggi kedua di Jawa Barat, setelah Kabupaten Karawang.
”Selama lima tahun terakhir, kami terima 1.115 perselisihan antara pekerja dan industri,” ujar staf Analis Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi Riano Eriza, Minggu, 24 Maret 2019 kemarin.
Menurutnya, dengan besarnya angka perselisihan itu bisa diperkirakan setiap tahun terjadi 250 perselisihan. Kebanyakan perselisihan itu disebabkan soal hak pekerja. Semisal hal yang dimaksud seperti upah yang tertunda, ada juga upah yang tidak sesuai dibayarkan perusahaan.
”Lebih dominan laporan tentang hak pekerja,” katanya. Selain hak, lanjut dia, indikator lainnya ada di pemutusan hubungan kerja (PHK), kepentingan muatan soal kerja sama antarpekerja dan perselisihan antar serikat. Biasanya, di setiap satu perusahaan ada banyak berdiri serikat pekerja. Selama periode 2013-2018 jumlah laporan perselisihan 1.1150 laporan.
Padahal, di Kota Bekasi memilik perusahaan sebanyak 1.258 perusahaan. Dan 90 perusahaan di antaranya bersetara besar. Namun, sisanya kebanyakan perusahaan menengah kebawah termasuk perusahaan asing.”Laporan yang kami terima dari perusahaan menengah kebawah hingga perusahaan besar,” ungkapnya.
Riano menjelaskan, dalam menyelesaikan perselisihan itu pihaknya melakukan mediasi antara perusahaan dan pekerja. Dan hasilnya, akan dilanjutkan dalam keputusan rekomendasi. Hal itu dilakukan untuk menghindari gesekan antara pekerja dengan pihak perusahaan. Sebab, untuk menyelesaikanya ada aturanya.
Sejauh ini, di Kota Bekasi terdapat tiga kawasan industri besar. Di antaranya, Kawasan Wahab Affan di Jalan Sultan Agung, Kawasan Kaliabang, di Pondok Ungu, dan Kawasan Narogong di Bantar Gebang. Mereka mendapat pengawasan dari pemerintah daerah meski penindakannya dilakukan petugas dari Pemprov Jawa Barat.
Usai ditetapkannya Upah Minimum Kerja (UMK) Rp4,2 juta atau menjadi nomor dua tertinggi di Jawa Barat setelah Karawang belum ada perusahaan yang melakukan penangguhan. Kebanyakan perusahaan telah menjalani keputusan pemerintah untuk pemberian upah tahun 2019.
Kabid Hubungan Industrial, Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, M Rusli menambahkan, pemerintah daerah menjadi mediasi bilamana terjadi perselisihan antara pekerja dan pihak perusahaan. Acuannya, adalah aturan yang sudah tertuang dalam keputusan pemerintah.” Termasuk melihat perjanjian kerja yang ada di masing-masing perusahaan,” ujarnya.
Rusli melanjutkan, selama ini belum ada perusahaan yang gulung tikar akibat penetapan UMK 2019. Bahkan, dia tak menapik pihaknya tengah membahas keputusan baru terkait upah tahun depan.”Untuk upah tahun depan masih dalam pembahasan nanti oleh kami dan dewan pengupahan,” ucapnya.
(whb)