Pengelolaan TPA Cipeucang Dinilai Bahayakan Manusia dan Lingkungan
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Forum Masyarakat Serpong Peduli (Formasi) mengkritisi pengelolaan sampah di TPA Cipeucang, letaknya di Jalan Kapling Nambo, Serpong. Formasi menilai keberadaan TPA Cipeucang membahayakan manusia dan lingkungan hidup.
Berdasar data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangsel mencatat, saat ini volume sampah di kota yang berpenduduk sekira 1,6 juta jiwa itu mencapai 970 ton per hari. Dari jumlah tersebut, 250 ton dibuang ke TPA Cipeucang, sedangkan sisanya dikelola pihak swasta.
Berdasarkan perencanaan yang ada, pada tahun 2020 mendatang Pemkot Tangsel sudah bekerja sama dengan Pemprov Jawa Barat untuk membuang 300 ton sampah perhari ke Tempat Pengelolaan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo, Bogor.
Ketua Formasi, Ahmad Najib menuturkan, dampak utama yang dirasakan warga adalah bau yang begitu menyengat. Bahkan tak sedikit penghuni di dekat TPA Cipeucang memilih berpindah rumah. Sialnya lagi, kondisi demikian berdampak pula pada harga jual rumah yang merosot tajam di sekitarnya.
"Ada yang sampai jual rumah, pindah ke wilayah yang lebih jauh dari Cipeucang. Harga jual rumah jadi murah, karena orang berpikir ulang tinggal di sekitar itu," kata Najib saat ditemui di Jalan Roda Hias, Serpong, Tangsel, Kamis (28/2/2019).
Selain itu, efek bau TPA Cipeucang juga berdampak pada tingkat kesehatan warta sekitar. Dikatakannya, pada awal tahun 2018 lalu pernah digelar audiensi dengan DPRD Tangsel terkait adanya sejumlah anak-anak yang menderita penyakit kulit.
"Waktu kita audiensi dengan DPRD itu kita bawa anak yang terkena penyakit yang diindikasikan kuat karena polusi sampah. Yang kita bawa ada tiga anak. Di wilayah Kapling RT02 RW04. Tapi ya enggak ada tindak lanjutnya," ucapnya.
Berdasarkan dampak buruk tersebut, Formasi meyakini ada indikasi pengelolaan TPA yang tak sesuai ketentuan. Pemkot Tangsel selalu mengklaim jika TPA Cipeucang menggunakan sistem sanitary landfill, padahal berdasarkan pengamatan Formasi, sistem pengelolaannya masih menggunakan open dumping cara yang telah lama dilarang oleh Undang-Undang (UU).
"Analisis kita, TPA ini pengelolaannya buruk, tak ada transparansi. Yang kita dengar waktu awal-awal, menggunakan sistem sanitary landfill, hari ini kan faktanya open dumping. Ini bukan rahasia lagi," ujarnya.
Dugaan lain terkait pengelolaan sampah yang buruk itu bisa dilihat dengan cairan lindi yang keluar dari tumpukan sampah TPA Cipeucang. Najib dan aktivis lingkungan berasumsi, jika cairan dari gunung sampah yang ada di Cipeucang mengalir langsung ke aliran sungai Cisadane yang berada tepat di bagian sisinya.
Bahkan para aktivis lingkungan, kata dia, sempat beberapa kali mendokumentasikan foto dan video yang membuktikan sampah Cipeucang bersentuhan langsung dengan Sungai Cisadane. Tanpa ada sistem penyaringan lebih dulu.
Tanpa parit yang mengalirkan cairan Lindi ke sistem pengelolaan, maka otomatis cairan itu akan merembes dan turun ke aliran sungai Cisadane. Padahal, sungai Cisadane adalah penyuplai air utama untuk wilayah Tangerang Raya.
"Kalau berdasarkan wawasan kita dari melihat TPA di wilayah lain, kemungkinan pengelolaan lindi yang kurang, tidak sesuai prosedur, mungkin ya seperti itu. Apalagi yany sangat dikhawatirkan cairan itu mengalir ke Cisadane," papar Najib.
Sebelumnya, sejumlah aktivis lingkungan dari Yayasan Peduli Lingkungan Hidup (Yapelh) Indonesia, Pendaki Indonesia (PI) Tangerang, Pendaki Gunung indonesia, dan Cisadane Ranger Patrol (CRP) menggelar kemah di seberang gunung sampah TPA Cipeucang.
Mereka memrotes pengelolaan TPA Cipeucang yang mencemari sungai Cisadane. Dalam aksinya itu, para aktivis berkeliling aliran sungai di sekitar Cipeucang sambil merekam dengan video. Dari sana terbukti, jika sumber sampah ternyata memang berasal dari TPA Cipeucang.
"Kami sudah sejak lama mengingatkan Pemkot Tangsel dan dinasnya, agar jangan sampai pengelolaan TPA Cipeucang yang buruk itu pada puncaknya akan mengulang tragedi TPA Leuwigajah, jangan sampai. Tapi kita lihat, belum ada upaya apapun. Apalagi bisa kita lihat sendiri, dampak yang sekarang terasa itu sungai Cisadane sudah tercemar sampah, belum lagi cairan Lindinya," ungkap Herman Felani, Koordinator Yapelh dikonfirmasi terpisah.
Berdasar data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangsel mencatat, saat ini volume sampah di kota yang berpenduduk sekira 1,6 juta jiwa itu mencapai 970 ton per hari. Dari jumlah tersebut, 250 ton dibuang ke TPA Cipeucang, sedangkan sisanya dikelola pihak swasta.
Berdasarkan perencanaan yang ada, pada tahun 2020 mendatang Pemkot Tangsel sudah bekerja sama dengan Pemprov Jawa Barat untuk membuang 300 ton sampah perhari ke Tempat Pengelolaan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo, Bogor.
Ketua Formasi, Ahmad Najib menuturkan, dampak utama yang dirasakan warga adalah bau yang begitu menyengat. Bahkan tak sedikit penghuni di dekat TPA Cipeucang memilih berpindah rumah. Sialnya lagi, kondisi demikian berdampak pula pada harga jual rumah yang merosot tajam di sekitarnya.
"Ada yang sampai jual rumah, pindah ke wilayah yang lebih jauh dari Cipeucang. Harga jual rumah jadi murah, karena orang berpikir ulang tinggal di sekitar itu," kata Najib saat ditemui di Jalan Roda Hias, Serpong, Tangsel, Kamis (28/2/2019).
Selain itu, efek bau TPA Cipeucang juga berdampak pada tingkat kesehatan warta sekitar. Dikatakannya, pada awal tahun 2018 lalu pernah digelar audiensi dengan DPRD Tangsel terkait adanya sejumlah anak-anak yang menderita penyakit kulit.
"Waktu kita audiensi dengan DPRD itu kita bawa anak yang terkena penyakit yang diindikasikan kuat karena polusi sampah. Yang kita bawa ada tiga anak. Di wilayah Kapling RT02 RW04. Tapi ya enggak ada tindak lanjutnya," ucapnya.
Berdasarkan dampak buruk tersebut, Formasi meyakini ada indikasi pengelolaan TPA yang tak sesuai ketentuan. Pemkot Tangsel selalu mengklaim jika TPA Cipeucang menggunakan sistem sanitary landfill, padahal berdasarkan pengamatan Formasi, sistem pengelolaannya masih menggunakan open dumping cara yang telah lama dilarang oleh Undang-Undang (UU).
"Analisis kita, TPA ini pengelolaannya buruk, tak ada transparansi. Yang kita dengar waktu awal-awal, menggunakan sistem sanitary landfill, hari ini kan faktanya open dumping. Ini bukan rahasia lagi," ujarnya.
Dugaan lain terkait pengelolaan sampah yang buruk itu bisa dilihat dengan cairan lindi yang keluar dari tumpukan sampah TPA Cipeucang. Najib dan aktivis lingkungan berasumsi, jika cairan dari gunung sampah yang ada di Cipeucang mengalir langsung ke aliran sungai Cisadane yang berada tepat di bagian sisinya.
Bahkan para aktivis lingkungan, kata dia, sempat beberapa kali mendokumentasikan foto dan video yang membuktikan sampah Cipeucang bersentuhan langsung dengan Sungai Cisadane. Tanpa ada sistem penyaringan lebih dulu.
Tanpa parit yang mengalirkan cairan Lindi ke sistem pengelolaan, maka otomatis cairan itu akan merembes dan turun ke aliran sungai Cisadane. Padahal, sungai Cisadane adalah penyuplai air utama untuk wilayah Tangerang Raya.
"Kalau berdasarkan wawasan kita dari melihat TPA di wilayah lain, kemungkinan pengelolaan lindi yang kurang, tidak sesuai prosedur, mungkin ya seperti itu. Apalagi yany sangat dikhawatirkan cairan itu mengalir ke Cisadane," papar Najib.
Sebelumnya, sejumlah aktivis lingkungan dari Yayasan Peduli Lingkungan Hidup (Yapelh) Indonesia, Pendaki Indonesia (PI) Tangerang, Pendaki Gunung indonesia, dan Cisadane Ranger Patrol (CRP) menggelar kemah di seberang gunung sampah TPA Cipeucang.
Mereka memrotes pengelolaan TPA Cipeucang yang mencemari sungai Cisadane. Dalam aksinya itu, para aktivis berkeliling aliran sungai di sekitar Cipeucang sambil merekam dengan video. Dari sana terbukti, jika sumber sampah ternyata memang berasal dari TPA Cipeucang.
"Kami sudah sejak lama mengingatkan Pemkot Tangsel dan dinasnya, agar jangan sampai pengelolaan TPA Cipeucang yang buruk itu pada puncaknya akan mengulang tragedi TPA Leuwigajah, jangan sampai. Tapi kita lihat, belum ada upaya apapun. Apalagi bisa kita lihat sendiri, dampak yang sekarang terasa itu sungai Cisadane sudah tercemar sampah, belum lagi cairan Lindinya," ungkap Herman Felani, Koordinator Yapelh dikonfirmasi terpisah.
(whb)