Lewat Perdata, DKI Akan Ambil Alih Pengelolaan Air Bersih dari Swasta
A
A
A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta siap mengambil alih pengelolaan air bersih di Jakarta dari swasta. Pengambilalihan pengelolalaan air akan dilakukan melalui jalur perdata.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, sudah mendapatkan rekomendasi terkait dengan polemik pengelolaan air dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air. Tim merekomendasikan pengambilalihan pengelolaan air di Jakarta dari swasta.
"Pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai hak dasar warga Jakarta adalah prioritas Pemprov DKI. Untuk itu, sikap kami jelas yakni mengambil alih pengelolaan air di Jakarta. Ini juga sekaligus mendukung tercapainya percepatan target perluasan cakupan layanan air bersih," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta pada Senin (11/2/2019).
Anies menjelaskan, pengambilalihan pengelolaan air sangat penting untuk mengoreksi perjanjian yang dibuat pada 1997 lalu. Sebab, selama 20 tahun berjalan dengan kerja sama swasta, pelayanan air bersih tidak berkembang sesuai harapan.
Di antaranya, cakupan pelayanan tidak tercapai dari target 82% yang dijanjikan, dan tingkat kebocoran air mencapai 44,3%. Hal ini menjadikan Jakarta salah satu kebocoran air tertinggi dari kota-kota metropolitan di dunia.
"Sementara pihak swasta diberikan jaminan keuntungan yang akan terus bertambah jumlahnya setiap tahun. Ketidakadilan perjanjian ini merupakan perhatian kami," ujarnya.( Baca: DKI Belum Patuhi Putusan MA, Anies: Masih Tunggu Tim Evaluasi Tata Air )
Anies menginstruksikan kepada Dirut PAM JAYA dan Tim Evaluasi Tata Kelola Air untuk mempersiapkan langkah teknis pengambilalihan pengelolaan air di Jakarta. Sesuai dengan semangat keputusan MK Tahun 2013 dan PP 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air, Nila Ardhianie mengatakan, tim menemukan perjanjian kerja sama (PKS) yang dibuat tahun 1997 tersebut mengandung beberapa ketidakadilan. Seperti adanya hak ekslusifitas yang menyebabkan Pemprov DKI Jakarta kehilangan kontrol kewenangan atas pengelolaan air bersih.
Kemudian pengelolaan keseluruhan tata kelola air dilaksanakan sepenuhnya oleh mitra swasta, mulai dari produksi sampai pelayanan pelanggan. Serta adanya jaminan keuntungan yang dipastikan jumlahnya terlepas dari ketercapaian target kinerja swasta yang pada 2023 akan mencapai Rp6,7 triliun.
PAM Jaya bersama dengan Aetra sendiri sudah melakukan revisi perjanjian dengan master agreement untuk menurunkan tingkat IRR dari 22% menjadi 15,8% dan apabila tidak terbayarkan pada akhir perjanjian, maka tidak akan menuntut pemenuhan pembayaran. Namun penyesuaian ini tidak terjadi dengan Palyja.
Berdasarkan kajian komprehensif yang meliputi aspek hukum, aspek ekonomi, serta optimalisasi dan keberlanjutan air bersih, Tim Tata Kelola Air menggambarkan tiga pilihan kebijakan dan konsekuensinya yaitu status quo/membiarkan kontrak selesai sampai dengan waktu berakhirnya pemutusan kontrak kerja sama saat ini, pemutusan kontrak sepihak serta pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata.
“Opsi status quo tidak kami sarankan. Karena memiliki banyak kelemahan bagi kepentingan Pemprov DKI dan masyarakat Jakarta pada umumnya karena Pemprov DKI tidak akan mampu mencapai target penambahan layanan air perpipaan karena adanya hak eksklusivitas mitra swasta dalam investasi dan pengelolaan,” ujarnya.
Opsi pemutusan kontrak sepihak, lanjut Nila, juga bukan opsi yang realistis dari kajian legal dan pelayanan. Opsi mengakibatkan biaya terminasi yang besar sebagaimana yang tercantum dalam PKS, yaitu Rp1 triliun lebih.
“Maka opsi yang akan kami sarankan adalah pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata,” ujarnya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan melalui pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata. Di antaranya, Pemprov DKI bisa membeli saham kedua operatornya, Palyja ataupun Aetra dengan proses pembicaraan yang tidak mudah. Terpenting harus ada uji tuntas dahulu agar prosesnya bisa transparan.
Selain itu, lanjut Nila, menggunakan perjanjian kerja sama yang didalamnya diatur mengenai penghentian kontrak. Kemudian, yang terakhir itu pengambilalihan sebagian layanan. "Jadi tadi disampaikan Pak Gubernur. Ada instalasi pengolahan, ada distribusi. Nah itu sebagiannya diambil alih dulu sebelum nanti masa kontrak berakhir," ucapnya.
Sementara itu, Dirut PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo menuturkan, opsi pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata akan dibicarakan telebih dahulu dengan kedua operaotr Aetra dan Palyja sebelum perjanjian kerja sama dilakukan atau head of agrement."Jadi Pak Gubernur memberikan waktu satu bulan untuk head of agrement. Nanti hasilnya kita laporkan," ujarnya.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, sudah mendapatkan rekomendasi terkait dengan polemik pengelolaan air dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air. Tim merekomendasikan pengambilalihan pengelolaan air di Jakarta dari swasta.
"Pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai hak dasar warga Jakarta adalah prioritas Pemprov DKI. Untuk itu, sikap kami jelas yakni mengambil alih pengelolaan air di Jakarta. Ini juga sekaligus mendukung tercapainya percepatan target perluasan cakupan layanan air bersih," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta pada Senin (11/2/2019).
Anies menjelaskan, pengambilalihan pengelolaan air sangat penting untuk mengoreksi perjanjian yang dibuat pada 1997 lalu. Sebab, selama 20 tahun berjalan dengan kerja sama swasta, pelayanan air bersih tidak berkembang sesuai harapan.
Di antaranya, cakupan pelayanan tidak tercapai dari target 82% yang dijanjikan, dan tingkat kebocoran air mencapai 44,3%. Hal ini menjadikan Jakarta salah satu kebocoran air tertinggi dari kota-kota metropolitan di dunia.
"Sementara pihak swasta diberikan jaminan keuntungan yang akan terus bertambah jumlahnya setiap tahun. Ketidakadilan perjanjian ini merupakan perhatian kami," ujarnya.( Baca: DKI Belum Patuhi Putusan MA, Anies: Masih Tunggu Tim Evaluasi Tata Air )
Anies menginstruksikan kepada Dirut PAM JAYA dan Tim Evaluasi Tata Kelola Air untuk mempersiapkan langkah teknis pengambilalihan pengelolaan air di Jakarta. Sesuai dengan semangat keputusan MK Tahun 2013 dan PP 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air, Nila Ardhianie mengatakan, tim menemukan perjanjian kerja sama (PKS) yang dibuat tahun 1997 tersebut mengandung beberapa ketidakadilan. Seperti adanya hak ekslusifitas yang menyebabkan Pemprov DKI Jakarta kehilangan kontrol kewenangan atas pengelolaan air bersih.
Kemudian pengelolaan keseluruhan tata kelola air dilaksanakan sepenuhnya oleh mitra swasta, mulai dari produksi sampai pelayanan pelanggan. Serta adanya jaminan keuntungan yang dipastikan jumlahnya terlepas dari ketercapaian target kinerja swasta yang pada 2023 akan mencapai Rp6,7 triliun.
PAM Jaya bersama dengan Aetra sendiri sudah melakukan revisi perjanjian dengan master agreement untuk menurunkan tingkat IRR dari 22% menjadi 15,8% dan apabila tidak terbayarkan pada akhir perjanjian, maka tidak akan menuntut pemenuhan pembayaran. Namun penyesuaian ini tidak terjadi dengan Palyja.
Berdasarkan kajian komprehensif yang meliputi aspek hukum, aspek ekonomi, serta optimalisasi dan keberlanjutan air bersih, Tim Tata Kelola Air menggambarkan tiga pilihan kebijakan dan konsekuensinya yaitu status quo/membiarkan kontrak selesai sampai dengan waktu berakhirnya pemutusan kontrak kerja sama saat ini, pemutusan kontrak sepihak serta pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata.
“Opsi status quo tidak kami sarankan. Karena memiliki banyak kelemahan bagi kepentingan Pemprov DKI dan masyarakat Jakarta pada umumnya karena Pemprov DKI tidak akan mampu mencapai target penambahan layanan air perpipaan karena adanya hak eksklusivitas mitra swasta dalam investasi dan pengelolaan,” ujarnya.
Opsi pemutusan kontrak sepihak, lanjut Nila, juga bukan opsi yang realistis dari kajian legal dan pelayanan. Opsi mengakibatkan biaya terminasi yang besar sebagaimana yang tercantum dalam PKS, yaitu Rp1 triliun lebih.
“Maka opsi yang akan kami sarankan adalah pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata,” ujarnya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan melalui pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata. Di antaranya, Pemprov DKI bisa membeli saham kedua operatornya, Palyja ataupun Aetra dengan proses pembicaraan yang tidak mudah. Terpenting harus ada uji tuntas dahulu agar prosesnya bisa transparan.
Selain itu, lanjut Nila, menggunakan perjanjian kerja sama yang didalamnya diatur mengenai penghentian kontrak. Kemudian, yang terakhir itu pengambilalihan sebagian layanan. "Jadi tadi disampaikan Pak Gubernur. Ada instalasi pengolahan, ada distribusi. Nah itu sebagiannya diambil alih dulu sebelum nanti masa kontrak berakhir," ucapnya.
Sementara itu, Dirut PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo menuturkan, opsi pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata akan dibicarakan telebih dahulu dengan kedua operaotr Aetra dan Palyja sebelum perjanjian kerja sama dilakukan atau head of agrement."Jadi Pak Gubernur memberikan waktu satu bulan untuk head of agrement. Nanti hasilnya kita laporkan," ujarnya.
(whb)