PT ASU Ingin Kasus Penipuan Rp480 Miliar Cepat Selesai
A
A
A
JAKARTA - Desember lalu, Group Managing Director Protasco Berhad, Dato’ Sri Chong Ket Pen dilaporkan ke polisi oleh PT Anglo Slavic Utama (PT ASU), sebuah perusahaan investasi minyak dan gas Indonesia, terkait dengan tindak penipuan dan pemalsuan dokumen. Sebelumnya, laporan tersebut juga telah dilayangkan kepada kepolisian Malaysia karena Protasco Bhd merupakan perusahaan asal Malaysia.
Kasus ini disebabkan oleh penyalahgunaan kepercayaan terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Sales Purchase Agreement) tertanggal 28 Desember 2012, yang dilakukan oleh Chong Ket Pen, menjadikan PT ASU sebagai korban. Hal ini telah menyebabkan kerugian margin untuk membiayai akuisisi saham investor hingga USD 18 juta dan liabilitas sebesar USD 55 juta (Rp800 miliar) kepada PT ASU.
Akibatnya, PT ASU mengalami kerugian sebesar Rp480 miliar sehubungan dengan tindak pelanggaran tersebut. PT ASU telah mengambil langkah yang semestinya dengan melapor kepada kepolisian Malaysia dan Indonesia.
"Kami telah mengalami kerugian besar. Kami telah melakukan berbagai cara sesuai aturan yang ada, untuk mendorong agar investigasi dapat dilakukan dengan lebih cepat. Namun, bukan hanya tidak membuahkan hasil apapun, tetapi kami juga dipaksa untuk bungkam di Malaysia. Ini jelas merupakan indikasi bagaimana seorang konglomerat Malaysia bermaksud untuk menghancurkan barang bukti dan betul-betul menghapus keberadaan perjanjian bisnis yang kredibel ini," papar Direktur PT ASU, Tendri Ahripen dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/1/2019).
Sebagai sebuah perusahaan yang membawa nama baik Indonesia, dan telah menandatangani perjanjian dengan Protasco Berhad yang konon merupakan perusahaan ternama di Malaysia kesepakatan tersebut menjadi hambar. Bahkan, kata dia, hal itu sangat berdampak langsung terhadap kerugian ekonomi PT ASU yang berimbas kepada masyarakat Aceh.
Jumlah Rp480 miliar tidak hanya mewakili hilangnya nilai saham, tetapi juga merupakan sebuah kenyataan bahwa hilangnya peluang ekonomi menjadi jauh lebih besar dari sekadar nilai tersebut. Salah satu bukti yang ditunjukkan kepada media selama wawancara terdapat dalam laporan KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler) tentang pendapatan proyek yang dimaksud sejak 2013 dan seterusnya.
Selain itu, kata dia, faktor mengejutkan lainnya, walaupun memiliki status sebagai perusahaan yang terdaftar di bursa saham Malaysia, Chong Ket Pen menggunakan Protasco Berhad untuk secara tidak sah mengakuisisi saham PT ASU dengan nilai riilnya. Sehingga, kata dia, secara ilegal memperoleh saham senilai USD 55 juta hanya dengan membayar USD 22 juta dan kemudian memperoleh RM 10 juta dari USD 22 juta tersebut sebagai komisi, sehingga Chong Ket Pen menggunakan kesepakatan Protasco Berhad dan PT ASU ini untuk menyalahgunakan Rp34 miliar dari Protasco Berhad.
Hal ini secara resmi tertera dalam perjanjian tanggal 10 Desember 2013 yang secara jelas menunjukkan unsur praktik korupsi, kecurangan dan penyalahgunaan kepercayaan. Karena disebutkan bahwa Chong Ket Pen menuntut uang tebusan sebesar Rp34 miliar untuk mempercepat proses akuisisi PT ASU yang akan diikuti dengan penggarapan proyek minyak di Aceh yang seharusnya dilakukan sesuai isi pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut.
Perjanjian ini tidak pernah diumumkan dalam risalah Dewan Direksi Protasco Berhad. Bahkan, sebagai sebuah perusahaan 'Tbk', persyaratan mereka dengan jelas menyatakan bahwa setiap kontrak mengenai akuisisi atau transaksi baru diharuskan untuk diumumkan segera di pengumuman Bursa Malaysia.
Perjanjian tersebut dengan jelas menyatakan, bahwa Chong Ket Pen menyetujui hak untuk memberikan posisi eksekutif di dalam anggota Dewan Direksi di Protasco Berhad dan mengarahkan semua hal yang berkaitan dengan keuangan perusahaan kepada pemegang saham dan investor pengendali. Ini jelas menunjukkan keinginan Chong Ket Pen untuk melakukan malpraktik dalam memperkuat dan mengamankan uang sogokan dalam transaksi tersebut, tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Dewan Direksi.
"Kami berusaha agar suara dan penderitaan kami dapat didengar secara sipil oleh otoritas yang tepat di Malaysia; yaitu Suruhanjaya Sekuriti Malaysia (The Securities Commission Malaysia), dan Komisi Anti Korupsi Malaysia (Malaysian Anti-Corruption Commission) untuk mulai menyelidiki kasus ini dari berbagai sisi, membuktikan standar tinggi Malaysia, baik dalam Tata Kelola Perusahaan dan bertujuan untuk memberantas korupsi di sektor publik dan swasta," katanya.
Dia juga meminta, agar Kejaksaan Agung Malaysia (AGC) menyelidiki kasus ini. (Baca Juga: Rugi Rp480 Miliar, PT ASU Laporkan Pengusaha Malaysia ke Polda Metro
Di sisi lain, meskipun Protasco Berhad tidak mengetahui Perjanjian 10 Desember 2013 telah terjadi, telah melindungi Chong Ket Pen dengan berbagai cara dari semua pelanggarannya yang lain. Dengan demikian, PT ASU menuntut agar perusahaan tersebut dapat transparan dan dengan Pemerintah Malaysia yang baru, dapat memberikan secercah harapan untuk menyelidiki kasus ini dan menjauhkan Chong Ket Pen dari perlindungan Protasco Berhad, sebagai orang yang telah merusak reputasi perusahaan.
Hal ini sejalan dengan bagaimana Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berkomitmen dengan kampanye anti-korupsi, sejak kabinet Pakatan Harapan memenangkan Pemilu pada Mei 2018. Ini termasuk menghentikan tindak pemerasan yang kerap menimpa para pelaku bisnis, untuk mendapatkan persetujuan proyek.
"Dengan bahasa sederhana, hal ini mirip dengan analogi bahwa Protasco Berhad membeli tempat tinggal dari PT ASU, dan kemudian melanjutkan untuk mengakhiri perjanjian dan menolak untuk membayar penuh. Namun, tidak ingin mengembalikan rumah kepada pemilik yang sah. Oleh karena itu, tidak hanya PT ASU yang kehilangan tempat tinggal, tetapi mereka belum menerima segala bentuk pengembalian uang dari Protasco Berhad," terangnya.
"Ini adalah kejahatan komersial yang serius. Terencana dan dilaksanakan dengan baik untuk mengorbankan perusahaan Indonesia, oleh karena itulah membutuhkan bantuan media untuk mengawasi kasus ini. Perlindungan berkelanjutan oleh Protasco Bhd terhadap Chong Ket Pen menunjukkan bahwa mereka bersekongkol untuk merusak reputasi dan menjadikan PT ASU sebagai korban, dan mengeksploitasi Indonesia, khususnya Aceh," kata Tendri Ahripen.
PT ASU menyerukan praktik NOL toleransi terhadap kasus ini karena telah mempengaruhi perekonomian lokal Aceh dan mengorbankan PT ASU sebagai perusahaan yang padahal selama ini telah menjalin hubungan bisnis baik antar Malaysia dan Indonesia.
Kasus ini disebabkan oleh penyalahgunaan kepercayaan terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Sales Purchase Agreement) tertanggal 28 Desember 2012, yang dilakukan oleh Chong Ket Pen, menjadikan PT ASU sebagai korban. Hal ini telah menyebabkan kerugian margin untuk membiayai akuisisi saham investor hingga USD 18 juta dan liabilitas sebesar USD 55 juta (Rp800 miliar) kepada PT ASU.
Akibatnya, PT ASU mengalami kerugian sebesar Rp480 miliar sehubungan dengan tindak pelanggaran tersebut. PT ASU telah mengambil langkah yang semestinya dengan melapor kepada kepolisian Malaysia dan Indonesia.
"Kami telah mengalami kerugian besar. Kami telah melakukan berbagai cara sesuai aturan yang ada, untuk mendorong agar investigasi dapat dilakukan dengan lebih cepat. Namun, bukan hanya tidak membuahkan hasil apapun, tetapi kami juga dipaksa untuk bungkam di Malaysia. Ini jelas merupakan indikasi bagaimana seorang konglomerat Malaysia bermaksud untuk menghancurkan barang bukti dan betul-betul menghapus keberadaan perjanjian bisnis yang kredibel ini," papar Direktur PT ASU, Tendri Ahripen dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/1/2019).
Sebagai sebuah perusahaan yang membawa nama baik Indonesia, dan telah menandatangani perjanjian dengan Protasco Berhad yang konon merupakan perusahaan ternama di Malaysia kesepakatan tersebut menjadi hambar. Bahkan, kata dia, hal itu sangat berdampak langsung terhadap kerugian ekonomi PT ASU yang berimbas kepada masyarakat Aceh.
Jumlah Rp480 miliar tidak hanya mewakili hilangnya nilai saham, tetapi juga merupakan sebuah kenyataan bahwa hilangnya peluang ekonomi menjadi jauh lebih besar dari sekadar nilai tersebut. Salah satu bukti yang ditunjukkan kepada media selama wawancara terdapat dalam laporan KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler) tentang pendapatan proyek yang dimaksud sejak 2013 dan seterusnya.
Selain itu, kata dia, faktor mengejutkan lainnya, walaupun memiliki status sebagai perusahaan yang terdaftar di bursa saham Malaysia, Chong Ket Pen menggunakan Protasco Berhad untuk secara tidak sah mengakuisisi saham PT ASU dengan nilai riilnya. Sehingga, kata dia, secara ilegal memperoleh saham senilai USD 55 juta hanya dengan membayar USD 22 juta dan kemudian memperoleh RM 10 juta dari USD 22 juta tersebut sebagai komisi, sehingga Chong Ket Pen menggunakan kesepakatan Protasco Berhad dan PT ASU ini untuk menyalahgunakan Rp34 miliar dari Protasco Berhad.
Hal ini secara resmi tertera dalam perjanjian tanggal 10 Desember 2013 yang secara jelas menunjukkan unsur praktik korupsi, kecurangan dan penyalahgunaan kepercayaan. Karena disebutkan bahwa Chong Ket Pen menuntut uang tebusan sebesar Rp34 miliar untuk mempercepat proses akuisisi PT ASU yang akan diikuti dengan penggarapan proyek minyak di Aceh yang seharusnya dilakukan sesuai isi pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut.
Perjanjian ini tidak pernah diumumkan dalam risalah Dewan Direksi Protasco Berhad. Bahkan, sebagai sebuah perusahaan 'Tbk', persyaratan mereka dengan jelas menyatakan bahwa setiap kontrak mengenai akuisisi atau transaksi baru diharuskan untuk diumumkan segera di pengumuman Bursa Malaysia.
Perjanjian tersebut dengan jelas menyatakan, bahwa Chong Ket Pen menyetujui hak untuk memberikan posisi eksekutif di dalam anggota Dewan Direksi di Protasco Berhad dan mengarahkan semua hal yang berkaitan dengan keuangan perusahaan kepada pemegang saham dan investor pengendali. Ini jelas menunjukkan keinginan Chong Ket Pen untuk melakukan malpraktik dalam memperkuat dan mengamankan uang sogokan dalam transaksi tersebut, tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Dewan Direksi.
"Kami berusaha agar suara dan penderitaan kami dapat didengar secara sipil oleh otoritas yang tepat di Malaysia; yaitu Suruhanjaya Sekuriti Malaysia (The Securities Commission Malaysia), dan Komisi Anti Korupsi Malaysia (Malaysian Anti-Corruption Commission) untuk mulai menyelidiki kasus ini dari berbagai sisi, membuktikan standar tinggi Malaysia, baik dalam Tata Kelola Perusahaan dan bertujuan untuk memberantas korupsi di sektor publik dan swasta," katanya.
Dia juga meminta, agar Kejaksaan Agung Malaysia (AGC) menyelidiki kasus ini. (Baca Juga: Rugi Rp480 Miliar, PT ASU Laporkan Pengusaha Malaysia ke Polda Metro
Di sisi lain, meskipun Protasco Berhad tidak mengetahui Perjanjian 10 Desember 2013 telah terjadi, telah melindungi Chong Ket Pen dengan berbagai cara dari semua pelanggarannya yang lain. Dengan demikian, PT ASU menuntut agar perusahaan tersebut dapat transparan dan dengan Pemerintah Malaysia yang baru, dapat memberikan secercah harapan untuk menyelidiki kasus ini dan menjauhkan Chong Ket Pen dari perlindungan Protasco Berhad, sebagai orang yang telah merusak reputasi perusahaan.
Hal ini sejalan dengan bagaimana Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berkomitmen dengan kampanye anti-korupsi, sejak kabinet Pakatan Harapan memenangkan Pemilu pada Mei 2018. Ini termasuk menghentikan tindak pemerasan yang kerap menimpa para pelaku bisnis, untuk mendapatkan persetujuan proyek.
"Dengan bahasa sederhana, hal ini mirip dengan analogi bahwa Protasco Berhad membeli tempat tinggal dari PT ASU, dan kemudian melanjutkan untuk mengakhiri perjanjian dan menolak untuk membayar penuh. Namun, tidak ingin mengembalikan rumah kepada pemilik yang sah. Oleh karena itu, tidak hanya PT ASU yang kehilangan tempat tinggal, tetapi mereka belum menerima segala bentuk pengembalian uang dari Protasco Berhad," terangnya.
"Ini adalah kejahatan komersial yang serius. Terencana dan dilaksanakan dengan baik untuk mengorbankan perusahaan Indonesia, oleh karena itulah membutuhkan bantuan media untuk mengawasi kasus ini. Perlindungan berkelanjutan oleh Protasco Bhd terhadap Chong Ket Pen menunjukkan bahwa mereka bersekongkol untuk merusak reputasi dan menjadikan PT ASU sebagai korban, dan mengeksploitasi Indonesia, khususnya Aceh," kata Tendri Ahripen.
PT ASU menyerukan praktik NOL toleransi terhadap kasus ini karena telah mempengaruhi perekonomian lokal Aceh dan mengorbankan PT ASU sebagai perusahaan yang padahal selama ini telah menjalin hubungan bisnis baik antar Malaysia dan Indonesia.
(mhd)