Soal Revisi Perda KTR, Pemkot Bogor Dinilai Abaikan KemenkumHAM
A
A
A
JAKARTA - Revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12/2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Bogor dipertanyakan. Revisi Perda tersebut dinilai mengabaikan kesepakatan penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan (PUU) melalui jalur non litigasi antara Pemerintah Kota Bogor dan para pemangku kepentingan industri hasil tembakau.Pasalnya, Raperda KTR tetap memuat larangan pemajangan produk rokok pada toko ritel di Kota Bogor dan disahkan tanpa melibatkan para pemangku kepentingan dalam proses penyusunannya. Padahal, berdasarkan Berita Acara Kesepakatan, para pihak sepakat bahwa Perda KTR yang memuat larangan pemajangan produk rokok tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.Perda Kota Bogor 12/2009 harus disesuaikan dengan PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Demikian isi salah satu kesepakatan yang difasilitasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia beberapa waktu lalu.Sidang pemeriksaan perkara sengketa PUU non litigasi tersebut dihadiri oleh pemohon yaitu Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), pihak Pemkot Bogor, dan satu saksi ahli, yaitu Dr. Bayu Dwi Anggono. Bertindak selaku Majelis Pemeriksa dalam sidang pemeriksaan ini adalah Nasrudin (Ketua), Ninik Hariwanti, Yunan Hilmy, dan dua orang tim ahli, yaitu Jimmy Z. Usfunan dan Bivitri Susanti.Akademisi di Bidang Hukum Fitriani Ahlan Sjarif mengatakan bahwa sesuai pernyataan saksi ahli KemenkumHAM pada saat pertemuan tersebut, larangan pemajangan bertentangan dengan peraturan nasional yaitu PP 109 Tahun 2012. ''Maka, revisi Perda yang sedang disusun oleh Pemkot Bogor harus diubah menyesuaikan peraturan yang lebih tinggi,”ujarnya.Fitriani yang juga hadir di pertemuan tersebut menyebutkan bahwa dia sudah menyampaikan kepada panelis bahwa otonomi daerah bukan melegalkan Pemerintah Daerah untuk membuat aturan dengan seenaknya. ''Muatan lokal boleh ditambahkan Pemerintah Daerah sebagai buah otonomi daerah tetapi tetap ada koridor hukumnya, artinya muatan lokal tetap tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Nasional,”ujarnya.Menurutnya wewenang Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan sangat jelas koridornya dalam Undang-undang Pembuatan Peraturan dan Perundang-undangan. Sebelumnya, Pemkot Bogor tak main-main dalam proses legislasi Perda KTR. Perda tersebut terus direvisi dengan memperketat aturan dan memperluas wilayahnya. Teranyar, Pemkot juga memasukkan sisha, rokok elektronik, dan vape ke dalam item yang diatur dalam Perda. Revisi ini pun buru-buru disahkan dalam rapat paripurna, akhir November lalu.Seiring perjalanannya, Perda KTR menuai pro dan kontra. Pedagang toko kelontong menjerit. Mereka mengeluhkan penurunan pendapatan hingga 50%. Karena Pemkot Bogor menegakkan salah satu pasal dalam Perda KTR yang melarang toko memajang produk rokok, dan menempatkan materi promosi dalam bentuk apa pun di tempat penjualannya.Sementara pada diskusi KTR, perwakilan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Agus Rahmanto menyampaikan bahwa KTR termasuk kategori Perda yang difasilitasi. Maka tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Perda KTR di Kota Bogor ini dibuat untuk kepastian hukum di wilayahnya,''jelasnya.Walaupun secara hukum posisi Perda KTR Kota Bogor sudah jelas, namun demikian tetap disahkan oleh Pemkot Bogor. Kabag Hukum Setdakot Bogor, Novy Hasby menyampaikan agar pihak-pihak yang merasa dirugikan langsung mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung. ''Ada Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan. Masyarakat yang protes dengan sebuah aturan yang merugikan, mereka bisa melakukan judicial review,''ujarnya.
(aww)