TPST Bantargebang Hanya Sanggup Menampung Sampah DKI Empat Tahun Lagi
A
A
A
BEKASI - Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebutkan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, hanya bisa menampung sekitar 10 juta ton sampah. Itu artinya, lahan yang memiliki luas 110 hektare itu hanya mampu bertahan sekitar empat tahun lagi, jika sampahnya tidak dilakukan pengolahan.
Kepala Unit TPST Bantargebang, Dinas Lingkungan Hidup (LH) Provinsi DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengatakan, total kapasitas TPST Bantargebang hanya sebanyak 49 juta ton. Jika setiap tahun tonase sampah mencapai 7.000 ton, maka lahan tersebut sudah menampung 39 juta ton sampah.
"Masih ada 10 juta ton lagi volume sampah yang bisa ditampung di TPST Bantargebang, dan itu diprediksi hanya bisa bertahan beberapa tahun ke depan," ujarnya, Rabu (12/12/2018).
Saat ini, kata dia, jumlah tonase sampah yang masuk ke TPST Bantargebang setiap hari diperkirakan sekitar 7.000 ton. Jumlah tersebut jelas menambah tumpukan sampah jika tidak ada sistem pengolahanyang memadai di TPST Bantargebang.
Apalagi di TPST Bantargebang masih menerapkan sistem sanitary landfill (pemusnahan sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung). Padahal tonase sampah yang masuk ke TPST Bantargebang terus bertambah mencapai 300 ton per tahun.
Penambahan ini dikarenakan produksi sampah masyarakat Jakarta semakin meningkat. "Makanya sekarang ini jumlah sampah sudah mencapai 7.300 ton per hari, karena ada penambahan terus," tandasnya.
Pada 21 Maret lalu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama dengan Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya mulai mengembangkan pengolahan sampah di TPST Bantargebangi. Teknologi yang sedang dibuat percontohan adalah pengolahan sampah secara termal yang menghasilkan energi listrik. (Baca juga: BPPT-Pemprov DKI Mulai Bangun PLTSa di TPST Bantar Gebang)
Teknologi tersebut akan dibangun satu unit pengolahan sampah secara termal dengan kapasitas pengolahan 100 ton sampah sehari. Adapun listrik yang dihasilkan dari proses pengolahan sampah sebanyak itu mencapai 400 kilowatt, dengan menggunakan teknologi termal tipe stoke-grate. "Namun, proyek ini baru berjalan pada awal 2019," ungkapnya.
Karenanya, Asep mengaku tak begitu khawatir dengan proyeksi penggunaan lahan TPST Bantargebang yang diprediksi tak lebih dari lima tahun. Apalagi DKI akan membangun intermediate treatment facility (ITF) di Sunter, Jakarta Utara. "Kalau ITF sudah jadi, otomatis sampah tidak lagi dibuang ke Bantargebang semuanya," ucapnya.
Pembangunan ITF di Sunter memang membantu memperpanjang usia TPST Bantargebang. Sebab, diperkirakan lokasi pembangkit listrik bertenaga sampah tersebut bisa mengolah sampah sebanyak 2.200 ton per hari.
"Pembangunan sudah dimulai pada 20 Mei 2018 lalu, diperkirakan memakan waktu tiga tahun baru selesai, sehingga 2022 ITF Sunter baru bisa beroperasi," jelasnya.
Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi mengatakan, meskipun DKI Jakarta sebentar lagi memiliki pembangkit listrik bertenaga sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, namun Jakarta masih tetap butuh TPST Bantargebang. Sebab lokasi pembangkit listrik bertenaga sampah tersebut baru bisa mengolah sampah sebanyak 2.200 ton per hari.
Sedangkan volume sampah yang diproduksi warga DKI Jakarta lebih dari 7.000 ton per hari. Apabila ITF Sunter mampu mengolah sampah sebanyak 2.200 ton per hari, masih menyisakan 4.800 ton sampah yang harus dibuang ke Bantargebang.
"Jadi, warga harus merasakan manfaatnya dong, 90 ribu warga hidup di sekitar tempat pembuangan itu. Setengah hari berdiam diri di sana juga sudah nyesak. Jadi DKI Jakarta juga harus memikirkan warga Bekasi," tandasnya.
Kepala Unit TPST Bantargebang, Dinas Lingkungan Hidup (LH) Provinsi DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengatakan, total kapasitas TPST Bantargebang hanya sebanyak 49 juta ton. Jika setiap tahun tonase sampah mencapai 7.000 ton, maka lahan tersebut sudah menampung 39 juta ton sampah.
"Masih ada 10 juta ton lagi volume sampah yang bisa ditampung di TPST Bantargebang, dan itu diprediksi hanya bisa bertahan beberapa tahun ke depan," ujarnya, Rabu (12/12/2018).
Saat ini, kata dia, jumlah tonase sampah yang masuk ke TPST Bantargebang setiap hari diperkirakan sekitar 7.000 ton. Jumlah tersebut jelas menambah tumpukan sampah jika tidak ada sistem pengolahanyang memadai di TPST Bantargebang.
Apalagi di TPST Bantargebang masih menerapkan sistem sanitary landfill (pemusnahan sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung). Padahal tonase sampah yang masuk ke TPST Bantargebang terus bertambah mencapai 300 ton per tahun.
Penambahan ini dikarenakan produksi sampah masyarakat Jakarta semakin meningkat. "Makanya sekarang ini jumlah sampah sudah mencapai 7.300 ton per hari, karena ada penambahan terus," tandasnya.
Pada 21 Maret lalu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama dengan Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya mulai mengembangkan pengolahan sampah di TPST Bantargebangi. Teknologi yang sedang dibuat percontohan adalah pengolahan sampah secara termal yang menghasilkan energi listrik. (Baca juga: BPPT-Pemprov DKI Mulai Bangun PLTSa di TPST Bantar Gebang)
Teknologi tersebut akan dibangun satu unit pengolahan sampah secara termal dengan kapasitas pengolahan 100 ton sampah sehari. Adapun listrik yang dihasilkan dari proses pengolahan sampah sebanyak itu mencapai 400 kilowatt, dengan menggunakan teknologi termal tipe stoke-grate. "Namun, proyek ini baru berjalan pada awal 2019," ungkapnya.
Karenanya, Asep mengaku tak begitu khawatir dengan proyeksi penggunaan lahan TPST Bantargebang yang diprediksi tak lebih dari lima tahun. Apalagi DKI akan membangun intermediate treatment facility (ITF) di Sunter, Jakarta Utara. "Kalau ITF sudah jadi, otomatis sampah tidak lagi dibuang ke Bantargebang semuanya," ucapnya.
Pembangunan ITF di Sunter memang membantu memperpanjang usia TPST Bantargebang. Sebab, diperkirakan lokasi pembangkit listrik bertenaga sampah tersebut bisa mengolah sampah sebanyak 2.200 ton per hari.
"Pembangunan sudah dimulai pada 20 Mei 2018 lalu, diperkirakan memakan waktu tiga tahun baru selesai, sehingga 2022 ITF Sunter baru bisa beroperasi," jelasnya.
Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi mengatakan, meskipun DKI Jakarta sebentar lagi memiliki pembangkit listrik bertenaga sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, namun Jakarta masih tetap butuh TPST Bantargebang. Sebab lokasi pembangkit listrik bertenaga sampah tersebut baru bisa mengolah sampah sebanyak 2.200 ton per hari.
Sedangkan volume sampah yang diproduksi warga DKI Jakarta lebih dari 7.000 ton per hari. Apabila ITF Sunter mampu mengolah sampah sebanyak 2.200 ton per hari, masih menyisakan 4.800 ton sampah yang harus dibuang ke Bantargebang.
"Jadi, warga harus merasakan manfaatnya dong, 90 ribu warga hidup di sekitar tempat pembuangan itu. Setengah hari berdiam diri di sana juga sudah nyesak. Jadi DKI Jakarta juga harus memikirkan warga Bekasi," tandasnya.
(thm)