APBD Kota Bekasi 2019 Berpotensi Defisit Rp333 Miliar

Senin, 10 Desember 2018 - 02:24 WIB
APBD Kota Bekasi 2019 Berpotensi Defisit Rp333 Miliar
APBD Kota Bekasi 2019 Berpotensi Defisit Rp333 Miliar
A A A
BEKASI - Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2019 Kota Bekasi berpotensi mengalami defisit sebesar Rp333 miliar. Sebab porsi anggaran belanja daerah senilai Rp6.612.577.202.095 lebih besar, dibanding potensi pendapatan yang mencapai Rp6.279.079.867.286. Dengan demikian, selisih antara pendapatan dan belanja daerah sebesar Rp333.497.335.799.

Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi, Eka Hidayat Taufik mengatakan, nilai selisih tersebut akan ditutup dari penerimaan pembiayaan piutang pendapatan. Menurut dia, potensi total penerimaan pembiayaan dari piutang pendapatan pada 2019 mencapai Rp353 miliar. Potensi itu kemudian dikurangi Rp20 miliar untuk penyertaan modal BULD.

"Jadi, sisanya sebesar Rp333 miliar akan digunakan untuk menutup selisih angka tersebut," katanya di Bekasi, Minggu 9 Desember 2018.

Menurutnya, penerimaan pembiayaan dari piutang pendapatan yang dimaksud dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dengan mengandalkan perolehan piutang PBB, maka RAPBD Kota Bekasi 2019 menganut anggaran berimbang.

Pemerintah yakin piutang PBB akan diperoleh secara maksimal karena telah menggandeng Kejaksaan Negeri Bekasi untuk menagih utang kepada wajib pajak yang menunggak. Dengan menggandeng pengacara negara ini, wajib pajak bakal mematuhi aturan ini. Meski berpotensi mengalami defisit yang ditutup menggunakan piutang PBB.

Namun secara global nilai APBD Kota Bekasi mengalami kenaikan sekitar 14 persen dibanding tahun lalu. Pada 2018 lalu, APBD Kota Bekasi sebesar Rp5,6 triliun, lalu pada 2019 naik menjadi Rp6,6 triliun.Berdasarkan data yang diperoleh, Kota Bekasi pernah dikabarkan mengalami defisit pada triwulan ketiga 2018 senilai Rp900 miliar.

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi saat itu mengungkapkan, fenomena ini terjadi karena adanya degradasi kepemimpinan saat masa transisi pemerintahan memasuki pemilihan kepala daerah (Pilkada) ketika itu. Dampaknya, kinerja pegawai untuk menggarap potensi pendapatan juga menurun sehingga dipolitisasi terjadi defisit.

"Kalau dibilang saat bulan September sudah defisit, itu hanya kepentingan politik yang ingin merusak sistem autopilot yang telah kita bangun. Pada saat saya tetapkan APBD 2018 senilai Rp5,6 triliun dengan DPRD, itu dalam kondisi kerja. Kalau tidak kerja, yah nggak akan bisa apalagi potensinya banyak dan digali dengan cara kerja melalui penarikan pajak," kata Rahmat.

Dengan situasi seperti ini, Rahmat Effendi dan Tri Adhianto Tjahyono pasca dilantik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah di Kota Bekasi pada 20 September 2018, langsung melakukan berbagai upaya. Salah satunya mengurangi tunjangan berupa tambahan penghasilan pegawai (TPP) sebesar 40 persen.

Belasan ribu aparatur sipil negara (ASN) terpaksa dipotong untuk mengurangi beban belanja daerah. Pemotongan tunjangan ini diprediksi selama enam bulan atau sampai pertengahan tahun 2019 mendatang.

"Kalau sampai Desember (pemotongan TPP) masih agak berat, mungkin Mei atau pertengahan tahun 2019 sampai kondisinya stabil baru kita kasih lagi (TPP 40 persen)," ujarnya.

Upaya lain yang dilakukan adalah pembentukan opsir penagihan piutang PBB sampai Desember ini. Seluruh aparatur di organisasi perangkat daerah (OPD) dilibatkan untuk menagih utang PBB kepada wajib pajak yang menunggak. Sehingga, pemerintah menggenjot penarikan dari sektor PBB yang mana bisa menutupi sebagian anggaran.

Ketua Komisi I DPRD Kota Bekasi, Choiruman J Putro menambahkan, pihaknya telah menyepakati nilai RAPBD 2019 sebesar Rp6,6 triliun Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Namun, pemerintah daerah masih memiliki beberapa tugas. Salah satunya adalah menggeser piutang pendapatan Rp353 miliar masuk menjadi target Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui PBB.

Sebab, menurut Choiruman, ada nomenklatur piutang pendapatan di pos pembiayaan yang tidak sesuai dengan definisi piutang. "Seharusnya sudah tertera di dalam Neraca Keuangan Daerah. Piutang pendapatan ini merupakan pajak terhutang PBB yang belum dibayarkan wajib pajak dan harus masuk ke dalam pemasukan di pajak daerah," jelas dia.

Chairoman juga memberi beberapa catatan kepada kepala daerah agar mengintegrasikan sistem Kartu Sehat Berbasis (KS) Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), seluruh penduduk Indonesia harus masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2019.

Selain itu, kinerja dinas penghasil pendapatan juga harus diperbaiki karena sudah tiga tahun berturut-turun target PAD tidak tercapai. Pada 2016, capaian PAD hanya berkisar sekitar Rp1,60 triliun. Besaran ini tidak mencapai target yang dipatok sebesar Rp1,68 triliun. Pada 2017, perolehan PAD sekitar Rp1,79 triliun kembali tidak mencapai target, padahal targetnya adalah sebesar Rp 2,35 triliun. Terakhir, pada 2018 dari target Rp2,4 triliun, pemerintah baru memperoleh sekitar Rp2 triliun saja.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5567 seconds (0.1#10.140)