Ratusan Ribu Warga Kabupaten Tangerang Masih Buang Air Besar Sembarang

Rabu, 28 November 2018 - 11:27 WIB
Ratusan Ribu Warga Kabupaten...
Ratusan Ribu Warga Kabupaten Tangerang Masih Buang Air Besar Sembarang
A A A
TANGERANG - Ratusan ribu warga atau sekira 100 ribu Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di 74 desa, di Kabupaten Tangerang, masih membuang air besar secara sembarangan.

Alhasil, warga pun banyak yang membuang air besar sembarangan. Baik di saluran air persawahan, empang, kali, dan kebun. Sehingga, rawan terkena berbagai penyakit kulit, seperti buduk, gudik, hingga stunting.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tangerang Didin Samsudin mengatakan, dari 3,5 juta jiwa penduduk Kabupaten Tangerang, baru sekitar 72,8% WC-nya memenuhi standar.

"Sisanya, masih ada sekitar 27,7% lagi yang masih buang air besar sembarangan," kata Didin, saat ditemui Koran SINDO, di Desa Kayu Bongkok, Sepatan, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa 27 November 2018.

Dijelaskan dia, kategori warga yang buang air sembarangan bukan hanya merujuk pada mereka yang membuang air besar di kali, sawah, dan makam. Tetapi juga yang kamar mandinya tidak sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).

Sehingga, kotoran langsung terbuang ke sungai atau kali yang menjadi saluran irigasi persawahan, dan menyebarkan virus ecoli yang berasal dari kotoran manusia. Apalagi, sungai itu juga digunakan mencuci pakaian oleh warga.

"Tetapi bukan tidak punya WC. Melainkan masih belum memenuhi standar. Itu tersebar di 74 desa. Kemudian 72,8% di rumah. Sisanya ada yang di WC umum, MCK, dan di tempat lainnya," sambungnya.

Kepala Bidang Prasarana Wilayah Bappeda Kabupaten Tangerang Erwin Mawandi menambahkan, rata-rata warga yang tidak punya WC tinggal di pedesaan, dan paling banyak berada di pesisir utara Kabupaten.

"Rata-rata berada di pedesaan. Tersebar di 74 desa, dari 274 desa yang ada. Paling banyak tersebar di wilayah pesisir utara Kabupaten Tangerang," sambung Koordinasi Pokja Sanitasi Kabupaten Tangerang ini.

Lebih lanjut, pihaknya mengaku, kebiasaan membuang air besar sembarangan sudah menjadi budaya bagi masyarakat pedesaan di wilayah Kabupaten Tangerang. Sehingga, perlu penanganan yang lebih mengena.

"Makanya kita terapkan program sanitasi di sekolah. Ada 755 SD, 77 SMP, 29 SMA, dan 12 SMKN di Kabupaten Tangerang yang sudah menjalani program sanitasi ini," jelasnya.

Program sanitasi di sekolah ini, katanya, bersifat jangka panjang. Dalam waktu 5 tahun terakhir, sedikitnya sudah Rp200 Miliar lebih anggaran pemerintah yang sudah diserap program ini.

"Targetnya memang jangka panjang untuk anak didik kita dalam 20 tahun kedepan. Tidak hanya sekolah umum, tapi juga di pondok pesantren. Dari 829 pesantren yang ada, ada 46 pesantren yang sudah disanitasi," bebernya.

Selama ini, banyak salah kaprah yang terjadi di lingkungan pondok pesantren. Bahwa, sebelum terkena penyakit gudik dan buduk, seorang santri belum disebut afdol. Padahal, penyakit itu akibat sanitasi buruk.

"Sisanya, masih banyak yang belum punya sanitasi. Targetnya dalam 5 tahun kedepan sudah semua. Karena selama ini, banyak santri budukan dan korengan," jelasnya.

Selain pembangunan sanitasi di sekolah, Pemerintah Kabupaten Tangerang juga punya program pembangunan WC individual dan kelompok bagi masyarakatnya. Program ini telah berjalan sejak 2015 lalu.

"Yang ipal komunal, dari 2015 sampai saat ini, baru ada 32 titik ipal komunal. Jadi belum ada pengaruh banyak. Tapi banyak kendalanya. Terutama di lahan dan sistem perpipaan. Ini terkait kontur tanah," katanya

Untuk itu, pihaknya fokus di pembangunan WC atau jamban individual. Dalam lima tahun terakhir, sudah ada 4.500 lebih jamban yang dibangun, dengan anggaran Rp1,8 juta sampai Rp3 juta perjambannya.

"Tetapi di sini kita juga sempat menemui kendala, karena ternyata pembangunan WC dan septictank yang sudah dibangun tidak sesuai SNI, merembas ke tanah," jelasnya.

Biaya yang terlalu murah dianggap menjadi kendala pembangunan WC itu. Sedikitnya, ada 3.000 rumah yang dibedah berikut WC yang dibangun tidak sesuai SNI dengan total Rp45 Miliar yang harus diperbaiki lagi.

Sementara itu, Penasehat Advokasi dan Komunikasi USAID IUWASH Plus Lina Damayanti menambahkan, buang air besar sembarangan berbahaya bagi kesehatan.

"Dampaknya bagi kesehatan itu bersifat jangka panjang. Anak menjadi kerdil atau pendekz dan jangka pendeknya sering terjadi diare. Gejala ini akan terlihat di 1.000 hari pertama pada anak," sambung Lina.

Menurutnya, fenomena ini tidak hanya ada di Kabupaten yang populasi penduduknya telah mencapai 3,5 juta jiwa. Tetapi juga di wilayah metropolitan seperti DKI Jakarta.

"90% septictank di Jakarta bocor dan airnya telah tercemar ecoli. Coba tanya, terakhir kali septictanknya disedot kapan? Nah ini yang bikin ecoli kita tinggi. Septictank itu bagusnya kedap dan tidak bocor," jelasnya.

Contoh tersebut, ada di kawasan perkotaan. Sedang di wilayah pedesaan, seperti di Kabupaten Tangerang, risiko penyakitnya menjadi lebih besar lagi, karena pola hidup yang masih suka buang air sembangan.

Bambang, salah seorang warga Kampung Kayu Bongkok mengatakan, sedikitnya ada sebanyak 80% warga di desanya yang belum memiliki WC di kamar mandinya.

"Warga masih lebih suka buang air besar di sawah, saluran air, kali, dan empang. Warga di sini memang tidak mengenal toilet. Mereka punya kamar mandi di dalam rumah, tapi tidak ada toiletnya," paparnya.

Menurutnya, hampir semua warga desa yang ada di Kabupaten Tangerang ini punya pola membuang air besar sembarangan yang sama, dan jumlahnya sangat banyak.

"Pembangunan WC ini penting, karena tidak manusiawi. Warga banyak buang air besar di sawah, di saluran air. Akibatnya, banyak yang terkena penyakit kulit, infeksi saluran pencernaan, typus dan lainnya," tukasnya.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1090 seconds (0.1#10.140)