Ulasan Pengamat Soal Pembunuhan Bermotif Dendam

Jum'at, 23 November 2018 - 08:01 WIB
Ulasan Pengamat Soal Pembunuhan Bermotif Dendam
Ulasan Pengamat Soal Pembunuhan Bermotif Dendam
A A A
DEPOK - Maraknya tindakan pembunuhan bermotif dendam dinilai sebagai mudahnya individu saat ini untuk melepaskan amarahnya. Karena sebenarnya dalam tiap diri individu ada mekanisme menahan diri (containment).

Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Ferdinand Andi Lolo mengatakan, dengan adanya containment ini maka setiap individu sebenarnya bisa menahan diri untuk berbuat salah secara sosial dan hukum. Dengan adanya sejumlah kasus pembunuhan bermotif dendam sepanjang tahun 2018, Andi menilai mekanisme ini sekarang nampaknya sudah mulai melemah.

"Sehingga orang menjadi lebih mudah melepaskan amatah atau emosinya," kata Ferdinand, Kamis (22/11/2018).

Sementara psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan, tindakan agresi yang diakibatkan karena dendam atau hal-hal yang lebih terkait dengan hubungan pribadi dan korban memang biasanya lebih ‘sadis’. Karena motif untuk membunuh korban memang menjadi tujuan utama dari tindakannya tersebut.

"Sehingga ketika pelaku utama melakukan tindakan tersebut, dorongan agresifitas dalam dirinya terekspresikan melalui tindakannya tersebut," katanya.

Pada kasus pembunuhan berlatar belakang ekonomi, tentu keterlibatan emosi menjadi tidak terlalu signifikan sehingga pembunuhan bukan menjadi tujuan utama. Dia menjelaskan ada beberapa faktor mengapa orang sekarang lebih memilih membunuh untuk melampiaskan sakit hati.

Pertama karena individunya sendiri sudah sangat tertutup untuk mencari alternatif pemecahan masalah lain selain dengan cara membunuh. "Sehingga membunuh korban adalah satu-satunya solusi bagi pemecahan masalah. Konsekuensi logis dan hal-hal terkait norma sosial sudah dikesampingkan atau tak lagi diindahkan," tukasnya.

Kedua, pola interaksi masyarakat yang saat ini juga semakin renggang. Hubungan antar pribadi, dalam keluarga yang tidak lagi kondusif membuat pelaku tidak mendapatkan dukungan sosial dari orang lain saat merasakan adanya permasalahan.

Menurut Aully, akibatnya tidak ada tempat untuk bercerita atau tidak mendapat masukan-masukan yang positif sehingga dorongan agresi menjadi semakin tinggi dan tidak punya alternatif solusi. Ketiga, paparan media yang saat ini juga semakin mudah diakses.

"Tidak menutup kemungkinan bahwa ada proses 'belajar sosial', di mana perilaku pembunuhan semakin mudah didapatkan informasinya. Dengan demikian, pelaku terdorong untuk melakukan tindakannya juga karena adanya proses belajar dari media dan lingkungan yang juga semakin agresif," ungkapnya.

Lebih lanjut dijelaskan, tindakan yang dilakukan oleh kepolisian perlu didukung. Akan tetapi, kata dia, perlu diingat juga bahwa hubungan antar manusia menyangkut banyak aspek seperti sosial budaya dan agama. Peranan keluarga dari tiap pintu rumah ini yang menjadi perlu dikuatkan.

"Masyarakat juga harus diberi peran untuk mendukung ketahanan sosial seperti lebih sering dilakukannya kegiatan komunitas, kegiatan sosial dan sebagainya yang meningkatkan kepekaan seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7889 seconds (0.1#10.140)
pixels