Proyek SSS Belum Diaudit, Penataan Trotoar Sudirman-Thamrin Tetap Jalan
A
A
A
JAKARTA - Sisa penggunaan dana kompensasi luas bangunan (KLB) pembangunan Simpang Susun Semanggi (SSS) akan digunakan untuk menata pedestrian di Jalan Jenderal Sudirman-Thamrin akhir bulan ini. Akan tetapi proyek SSS yang disebut-sebut menghabiskan dana Rp360 miliar dari total KLB Rp579 miliar belum selesai diaudit.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Sekertaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Gamal Sinurat, mengatakan, SSS yang sudah beroperasi sejak 17 Agustus lalu masih menjadi aset PT Mitra Panca Persada (MPP) selaku perusahaan yang memberikan dana KLB atas peningkatan gedungnya dari 17 lantai menjadi 60 lantai. Total KLB dari peningkatan tersebut sebesar Rp579 miliar dan baru digunakan untuk SSS sebesar Rp360 miliar.
SSS baru akan menjadi aset Pemprov DKI ketika serah terima dilakukan. Sementara serah terima harus menunggu hasil audit yang saat ini tengah dilakukan tim apresial. "Sedang dihitung nilainya. Kalau tidak sesuai ya kita hitung lagi kewajibannya, pokoknya jangan sampai rugi," kata Gamal saat dihubungi Minggu (17/9/2017).
Gamal menjelaskan, dari total KLB dan penggunaan dana SSS yang dihitung oleh pengembang, sedikitnya masih ada dana Rp219 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan trotoar di Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya mulai dari Benhil hingga Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, yang rencananya dimulai akhir bulan ini.
Meski dana KLB SSS belum selesai dihitung oleh tim apresial, Gamal menyatakan penataan trotoar dengan menghilangkan jalur lambat tersebut tidak menjadi masalah. Terpenting, nilainya harus sama dengan total KLB.
"Ya nantikan dihitung juga yang trotoar. Total KLB harus sesuai dengan pembangunan yang diberikan. Jadi kalau Rp579 ya harus Rp 579. Kalau selisih ya temuan," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD DKI, Iman satria meminta agar penataan trotoar yang dilakukan DKI saat ini dievaluasi kembali. Sebab, selain belum berfungsi untuk pejalan kaki dan membuat nyaman pada pengokupasi trotoar, yaitu pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar, penataan dengan pelebaran trotoar juga menambah kemacetan.
Untuk penataan trotoar di Jalan Jenderal Sudirman-Thamrin yang menggunakan dana KLB, lanjut Iman, sebaiknya menunggu hasil audit dan serah terima SSS, sehingga ada nilai yang pas dari pengunaannya.
"Masalah penggunaan KLB kerap menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya. Ini harus dievaluasi," tandasnya.
Sementara itu, pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menuturkan, penyerahan aset SSS II dari KLB perusahaan swasta ke Pemprov DKI berikut dengan ketentuan KLB, harus dilakukan sebelum pergantian gubernur pada Oktober mendatang. Sebab, apabila hal itu tidak dilakukan, penggunaan dana KLB akan menimbulkan masalah. Terlebih, bila gubernur baru membatalkan dana KLB-nya.
"Gubernur baru punya diskresi untuk membatalkan penggunaan dana KLB. Kalau dibatalkan gimana? Penggunaan dana KLB atau CSR itu harus dievaluasi lantaran pembangunan tidak berkelanjutan dan perawatanya juga tidak jelas," tandasnya.
Nirwono menjelaskan, penggunaan dana KLB itu tidak bisa menghitung total rupiah tinggi gedung yang dibangun lalu hasilnya digunakan untuk pembangunan kota Jakarta. Sebab, penggunaan air, listrik dan kemacetan akibat peninggian gedung perusahaan swasta sangat penting ke depannya dan tidak bisa dihitung rupiah. Hal itulah yang harus dievaluasi oleh Pemprov DKI.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Sekertaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Gamal Sinurat, mengatakan, SSS yang sudah beroperasi sejak 17 Agustus lalu masih menjadi aset PT Mitra Panca Persada (MPP) selaku perusahaan yang memberikan dana KLB atas peningkatan gedungnya dari 17 lantai menjadi 60 lantai. Total KLB dari peningkatan tersebut sebesar Rp579 miliar dan baru digunakan untuk SSS sebesar Rp360 miliar.
SSS baru akan menjadi aset Pemprov DKI ketika serah terima dilakukan. Sementara serah terima harus menunggu hasil audit yang saat ini tengah dilakukan tim apresial. "Sedang dihitung nilainya. Kalau tidak sesuai ya kita hitung lagi kewajibannya, pokoknya jangan sampai rugi," kata Gamal saat dihubungi Minggu (17/9/2017).
Gamal menjelaskan, dari total KLB dan penggunaan dana SSS yang dihitung oleh pengembang, sedikitnya masih ada dana Rp219 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan trotoar di Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya mulai dari Benhil hingga Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, yang rencananya dimulai akhir bulan ini.
Meski dana KLB SSS belum selesai dihitung oleh tim apresial, Gamal menyatakan penataan trotoar dengan menghilangkan jalur lambat tersebut tidak menjadi masalah. Terpenting, nilainya harus sama dengan total KLB.
"Ya nantikan dihitung juga yang trotoar. Total KLB harus sesuai dengan pembangunan yang diberikan. Jadi kalau Rp579 ya harus Rp 579. Kalau selisih ya temuan," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD DKI, Iman satria meminta agar penataan trotoar yang dilakukan DKI saat ini dievaluasi kembali. Sebab, selain belum berfungsi untuk pejalan kaki dan membuat nyaman pada pengokupasi trotoar, yaitu pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar, penataan dengan pelebaran trotoar juga menambah kemacetan.
Untuk penataan trotoar di Jalan Jenderal Sudirman-Thamrin yang menggunakan dana KLB, lanjut Iman, sebaiknya menunggu hasil audit dan serah terima SSS, sehingga ada nilai yang pas dari pengunaannya.
"Masalah penggunaan KLB kerap menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya. Ini harus dievaluasi," tandasnya.
Sementara itu, pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menuturkan, penyerahan aset SSS II dari KLB perusahaan swasta ke Pemprov DKI berikut dengan ketentuan KLB, harus dilakukan sebelum pergantian gubernur pada Oktober mendatang. Sebab, apabila hal itu tidak dilakukan, penggunaan dana KLB akan menimbulkan masalah. Terlebih, bila gubernur baru membatalkan dana KLB-nya.
"Gubernur baru punya diskresi untuk membatalkan penggunaan dana KLB. Kalau dibatalkan gimana? Penggunaan dana KLB atau CSR itu harus dievaluasi lantaran pembangunan tidak berkelanjutan dan perawatanya juga tidak jelas," tandasnya.
Nirwono menjelaskan, penggunaan dana KLB itu tidak bisa menghitung total rupiah tinggi gedung yang dibangun lalu hasilnya digunakan untuk pembangunan kota Jakarta. Sebab, penggunaan air, listrik dan kemacetan akibat peninggian gedung perusahaan swasta sangat penting ke depannya dan tidak bisa dihitung rupiah. Hal itulah yang harus dievaluasi oleh Pemprov DKI.
(thm)