Waduh, Ada Kampung Kusta di Perbatasan Jakarta-Bekasi

Kamis, 14 September 2017 - 06:38 WIB
Waduh, Ada Kampung Kusta di Perbatasan Jakarta-Bekasi
Waduh, Ada Kampung Kusta di Perbatasan Jakarta-Bekasi
A A A
BEKASI - Sungguh ironi disaat pemerintah pusat sedang menggadangkan pelayanan optimal kesehatan masyarakat Indonesia. Di Kota Bekasi ada sebuah permukiman warga yang dinamakan dari salah satu penyakit yakni, kusta. Sebab, hampir sebagian warganya menderita penyakit kusta.

Dilihat sekilas tidak ada yang berbeda dengan permukiman pada umumnya. Terdapat gang sempit, rumah berdempetan dan latar belakang perekonomian warganya menengah ke bawah. Namun siapa sangka kampung yang berdekatan dengan daerah DKI Jakarta ini, justru disebut Kampung Kusta.

Kampung ini berada di RT 06/02, Jatibening, Pondok Gede, Kota Bekasi seperti pada umumnya. Stigma itu melekat di wilayah setempat karena jumlah penderita kusta paling banyak di antara wilayah lain di Kota Bekasi tersebut.

Bahkan pemerintah daerah lewat Puskesmas Jatibening telah mencanangkan nama kampung kusta di wilayah setempat.”Saya tidak menyangka bisa menderita penyakit menular ini, dan tertular sejak tahun 2009 dari bapak mertua,” ujar HR (39) salah seorang penderita kusta kepada wartawan Rabu, 13 September 2017 kemarin.

HR bekerja sebagai tukang pembersih di Gerbang Tol Bekasi Barat, Kota Bekasi ini kerap terpapar debu yang mengandung berbagai jenis bakteri. Menurutnya, dia mengidap penyakit kusta sudah selama setahun.

”Awalnya di wajah kiri, lalu merembet ke tangan kiri dan kaki kanan,” katanya. HR menceritakan, awalnya dia merasa mati rasa atau kebas di bagian wajah sebelah kiri. Saat itu, kulitnya yang berwarna coklat kehitaman juga berubah menjadi merah.

Awalnya dia menduga, itu merupakan penyakit biasa. Namun tidak disangka, justru penyakit yang dialaminya itu adalah kusta. Istrinya YI (35) kemudian merekomendasikan HR ke Puskesmas Jatibening untuk diobati.

Ketika di puskesmas itulah, HR diagnosa oleh dokter menderita kusta. Akibat penyakit itu, HR kesulitan untuk bekerja. Bahkan dia kerap meminta izin berobat dari tempat kerjanya itu.

”Sekarang saya kerja Sabtu dan Minggu saja. Sementara hari Senin dan Jumat saya beristirahat untuk pemulihan,” ungkapnya. YI mengatakan, kerap memberi semangat kepada sang suami agar lekas sembuh.

Dia tidak ingin suaminya merasakan yang sama seperti ayahnya. Sebab, ayahnya meninggal dunia karena menderita kusta.”Ayah saya berobat sekali saja, dan meninggal karena kusta,” katanya.

Kepala Puskesmas Jatibening Zulkifly Sanusi mengatakan, permukiman tersebut disebut Kampung Kusta karena penderitanya adalah keluarga pasien itu sendiri. Menurutnya, dalam setahun bisa ada 20 kasus kusta di wilayah setempat.

”Jatibening penyumbang kusta terbesar di Bekasi,” ungkapnya. Untuk itu, kata dia, penderita kusta harus segera ditangani dengan baik. Bila penanganannya telat akan berdampak pada kecacatan fisik bahkan meninggal dunia.

Sebab, asal kusta tersebut dari bakteri yang menyerang jaringan tepi kulit dan jika didiamkan bisa cacat fisik. Zulkifly menjelaskan, tanda-tanda seseorang menderita kusta adalah memiliki bercak merah di permukaan kulit dan mengalami mati rasa.

Proses penyebarannya dengan kontak langsung, bukan melalui udara.”Kalau kontak kulit lebih dua tahun, bisa tertular,” jelasnya.
Meski berdampak pada kematian, namun dia mengimbau masyarakat tidak perlu risau.

Soalnya peredaran bakteri itu bisa dicegah bila masyarakat menjaga lingkungan rumahnya. Bagi penderita yang tengah menjalani pengobatan, tidak akan menularkan penyakit itu ke warga lain.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Kota Bekasi Dezi Sukrawati menambahkan, jumlah penderita kusta di Kota Bekasi sebanyak 124 kasus pada 2016. Jumlah ini lebih kecil dibanding tahun 2015 yang menembus 175 kasus.

”Jumlah menurun karena pemerintah gencar melakukan sosialisasi dan pengobatan kusta gratis ke masyarakat,” ucapnya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4733 seconds (0.1#10.140)