Mahkamah Konstitusi Tolak Pengujian Cuti Ahok
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 70 ayat 3 UU 10/2016 tentang kewajiban cuti calon incumbent (petahana) kepala daerah yang diajukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
“Mengadili, menolak permohonan pemohon,” ucap Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang Utama MK Jakarta Rabu (19/7/2017). Mahkamah memandang permohonan bernomor 60/PUU-XIV/2016 tersebut dianggap tidak tepat karena kewajiban cuti justru sejalan dengan semangat UUD 1945 yang menyetarakan setiap pasangan calon yang bertanding.
“Pemilihan demokratis menurut mahkamah harus ada kesetaraan, dan kesetaraan tidak harus disamakan semua hal. Tidak boleh disetarakan dalam semua bidang,” ujar hakim konstitusi Anwar Usman.
Dalam pertimbangan hukumnya mahkamah juga memandang kewajiban cuti bagi petahana adalah bentuk netralitas negara dalam pilkada di mana calon melepaskan fasilitas negara. “Dan itu (netralitas negara) sudah cukup ketika diwujudkan dalam bentuk cuti bagi petahana,” lanjut Anwar Usman.
Meski mahkmah juga tidak sependapat dengan argumentasi bahwa petahana yang tidak cuti akan melakukan penyelewengan, namun adanya norma kewajiban cuti adalah bentuk antisipasi munculnya penyelewengan tersebut. “Hukum tidak boleh menutup mata bahwa masih ada petahana yang melakukan penyelewenangan dalam pilkada,” tambah Anwar.
Mahkamah juga meluruskan argumentasi pemohon yang keberatan dengan kewajiban cuti karena mengurangi masa jabatan. Menurut mahkamah kewajiban cuti harus dipahami sebagai antisipasi pembentuk UU agar tidak melakukan penyelewengan dibanding mengurangi masa jabatan kepala daerah.
“Jika tidak diwajibkan cuti maka petahana terlindung utuh (masa jabatan) tapi mencederai netralitas negara dan merugikan pihak lain,” ujarnya.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon,” ucap Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang Utama MK Jakarta Rabu (19/7/2017). Mahkamah memandang permohonan bernomor 60/PUU-XIV/2016 tersebut dianggap tidak tepat karena kewajiban cuti justru sejalan dengan semangat UUD 1945 yang menyetarakan setiap pasangan calon yang bertanding.
“Pemilihan demokratis menurut mahkamah harus ada kesetaraan, dan kesetaraan tidak harus disamakan semua hal. Tidak boleh disetarakan dalam semua bidang,” ujar hakim konstitusi Anwar Usman.
Dalam pertimbangan hukumnya mahkamah juga memandang kewajiban cuti bagi petahana adalah bentuk netralitas negara dalam pilkada di mana calon melepaskan fasilitas negara. “Dan itu (netralitas negara) sudah cukup ketika diwujudkan dalam bentuk cuti bagi petahana,” lanjut Anwar Usman.
Meski mahkmah juga tidak sependapat dengan argumentasi bahwa petahana yang tidak cuti akan melakukan penyelewengan, namun adanya norma kewajiban cuti adalah bentuk antisipasi munculnya penyelewengan tersebut. “Hukum tidak boleh menutup mata bahwa masih ada petahana yang melakukan penyelewenangan dalam pilkada,” tambah Anwar.
Mahkamah juga meluruskan argumentasi pemohon yang keberatan dengan kewajiban cuti karena mengurangi masa jabatan. Menurut mahkamah kewajiban cuti harus dipahami sebagai antisipasi pembentuk UU agar tidak melakukan penyelewengan dibanding mengurangi masa jabatan kepala daerah.
“Jika tidak diwajibkan cuti maka petahana terlindung utuh (masa jabatan) tapi mencederai netralitas negara dan merugikan pihak lain,” ujarnya.
(whb)