DKI Dinilai Tak Serius Bangun Sarana Pejalan Kaki
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Pejalan Kaki Ahmad Syafrudin menilai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak serius membangun sarana pejalan kaki. Walaupun hal itu sudah diatur dalam berbagai aturan di antaranya undang-undang No 38 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Sebab, kata Ahmad, penataan trotoar hanya diprioritaskan di fasilitas umum dan tidak menyeluruh. Padahal, menurutnya, sebesar Kota Jakarta, tidak mungkin tidak memiliki biaya hanya untuk menata trotoar yang nyaman bagi para pejalan kaki di 7.000 kilometer ruas jalan Jakarta saat ini.
"Kalau kita perhatikan, penataan trotoar ini tidak menyambung dan menyeluruh. Jadi seharusnya bukan jalur yang sudah ada dibuat mewah yang penting ciptakan trotoar dan tersambung," katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Selain itu, Ahmad menyayangkan penataan trotoar di Tanah Abang, Jakarta Pusat yang sudah selesai dilakukan. Sebab, trotoar dengan lebar sekitar 5 meter itu diokupasi PKL dan parkir kendaraan. Idealnya, kata dia, trotoar itu harus aman, nyaman bersih dari PKL, parkir kendaraan dan harus ditanami pohon yang ditanam langsung didasar tanah dan tumbuh mekar ke atas, sehingga ketika pejalan melintas, mereka bisa terhindar dari sinar matahari.
Ahmad menyarankan, agar trotoar yang sudah dilebarkan saat ini segera disterilisasikan dan ditambah fasilitas pohon. Dia mengakui bila pengerjaannya memang harus terkordinir berbagai pihak, bukan hanya Dinas Bina Marga. Tetapi, masyarakat tidak mau tahu bagaimana mereka bekerja. Menurutnya, masyarakat hanya mengetahui mengapai trotoar yang dilebarkan dengan mengambil bahu jalan tetapi masih diokupasi PKL, parkir dan tidak nyaman untuk berjalan kaki.
"Harusnya pihak terkait lainnya sudah siap ketika trotoar ditata. Misalnya saja PKL, harusnya Dinas UMKM siap untuk penataan PKL. Selama ini mereka hanya bekerja menyalurkan bantuan ke pedagang pembinaan. Tetapi PKL di trotoar tidak bisa ditata. Saya menyimpulkan bila penataan trotoar saat ini hanyalah program pencitraan," ujarnya.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian untuk penataan trotoar, dinilai Ahmad tidak akan efektif dan berkelanjutan. Sama halnya dengan penegakan hukum di jalur bus Transjakarta. Dia menyarankan agar Pemprov DKI meniru Hongkong dalam membangun kesadaran jalan kaki.
Selain aturan tegas menggunakan tranpotrasi umum, pemerintah dan perusahaan swasta diwajibkan mereformasi sarana gedung untuk pejalan kaki. Jika hal tersebut diterapkan maka secara tidak langsung juga menjalankan undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Kalau niat pasti bisa. Penataan trotoar harus dibarengi dengan penataan PKL, parkir dan transportasi angkutan umum," tegasnya.
Berdasarkan pantauan, trotoar dekat gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat dijaga oleh polisi sejak siang hingga sore. Sejumlah pengendara yang melintas kena Tilang. Namun sayangnya ketika jam pulang kerja atau sekitar pukul 17.00 WIB, polisi sudah tidak ada lagi di trotoar untuk menjaganya.
Sebab, kata Ahmad, penataan trotoar hanya diprioritaskan di fasilitas umum dan tidak menyeluruh. Padahal, menurutnya, sebesar Kota Jakarta, tidak mungkin tidak memiliki biaya hanya untuk menata trotoar yang nyaman bagi para pejalan kaki di 7.000 kilometer ruas jalan Jakarta saat ini.
"Kalau kita perhatikan, penataan trotoar ini tidak menyambung dan menyeluruh. Jadi seharusnya bukan jalur yang sudah ada dibuat mewah yang penting ciptakan trotoar dan tersambung," katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Selain itu, Ahmad menyayangkan penataan trotoar di Tanah Abang, Jakarta Pusat yang sudah selesai dilakukan. Sebab, trotoar dengan lebar sekitar 5 meter itu diokupasi PKL dan parkir kendaraan. Idealnya, kata dia, trotoar itu harus aman, nyaman bersih dari PKL, parkir kendaraan dan harus ditanami pohon yang ditanam langsung didasar tanah dan tumbuh mekar ke atas, sehingga ketika pejalan melintas, mereka bisa terhindar dari sinar matahari.
Ahmad menyarankan, agar trotoar yang sudah dilebarkan saat ini segera disterilisasikan dan ditambah fasilitas pohon. Dia mengakui bila pengerjaannya memang harus terkordinir berbagai pihak, bukan hanya Dinas Bina Marga. Tetapi, masyarakat tidak mau tahu bagaimana mereka bekerja. Menurutnya, masyarakat hanya mengetahui mengapai trotoar yang dilebarkan dengan mengambil bahu jalan tetapi masih diokupasi PKL, parkir dan tidak nyaman untuk berjalan kaki.
"Harusnya pihak terkait lainnya sudah siap ketika trotoar ditata. Misalnya saja PKL, harusnya Dinas UMKM siap untuk penataan PKL. Selama ini mereka hanya bekerja menyalurkan bantuan ke pedagang pembinaan. Tetapi PKL di trotoar tidak bisa ditata. Saya menyimpulkan bila penataan trotoar saat ini hanyalah program pencitraan," ujarnya.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian untuk penataan trotoar, dinilai Ahmad tidak akan efektif dan berkelanjutan. Sama halnya dengan penegakan hukum di jalur bus Transjakarta. Dia menyarankan agar Pemprov DKI meniru Hongkong dalam membangun kesadaran jalan kaki.
Selain aturan tegas menggunakan tranpotrasi umum, pemerintah dan perusahaan swasta diwajibkan mereformasi sarana gedung untuk pejalan kaki. Jika hal tersebut diterapkan maka secara tidak langsung juga menjalankan undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Kalau niat pasti bisa. Penataan trotoar harus dibarengi dengan penataan PKL, parkir dan transportasi angkutan umum," tegasnya.
Berdasarkan pantauan, trotoar dekat gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat dijaga oleh polisi sejak siang hingga sore. Sejumlah pengendara yang melintas kena Tilang. Namun sayangnya ketika jam pulang kerja atau sekitar pukul 17.00 WIB, polisi sudah tidak ada lagi di trotoar untuk menjaganya.
(whb)