Ingin Jadikan Program Nasional, RPTRA Banyak Kendala
A
A
A
JAKARTA - Keinginan Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saeful Hidayat untuk menjadikan Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) menjadi program percontohan nasional alami banyak kendala. Selain sulitnya mencari lahan, pembuatan Peraturan Daerah (Perda) ditolak DPRD DKI Jakarta.
Ketua Badan Legislatif Daerah (Balegda) DKI Jakarta, M Taufik mengatakan, RPTRA yang dibangun di Jakarta saat ini mayoritas menggunakan dana perusahaan swasta. Sehingga, kepedulian perangkat daerah terhadap keberadaan RPTRA sangat minim, akibatnya banyak fungsi RPTRA tidak seperti apa tujuannya.
Meskipun pakai anggaran daerah, lanjut Taufik, RPTRA juga tidak dijamin sesuai tujuanya apabila kebijakan pimpinan tidak dengan pendekatan kepada masyarakat. Untuk itu, kata dia, dirinya menolak usulan Plt Gubernur Djarot pembentukan peraturan daerah (Perda) terkait pengelolaan RPTRA.
"Kenapa sih ngotot banget pakai Perda. Kalau Pergub kalau berkembang bisa diganti, kalau Perda itu panjang waktunya. Saya kira nggak perlu pakai Perda," kata Taufik saat dihubungi kemarin.
Taufik menjelaskan, PLT Gubernur Djarot itu masa jabatannya hanya sampai Oktober 2017 dan setelah itu digantikan oleh Gubernur terpilih, Anies Baswedan dengan wakilnya Sandiaga Uno. Menurutnya, dengan berganti kepemimpinan, tidak menutup kemungkinan pandangan mengenai fungsi RPTRA sebagai fasilitas umum berbeda dengan pandangan PLT Djarot.
"Saya tidak mempermasalahkan kebijakan Djarot yang ingin memasukkan RPTRA ke dalam Perda. Tapi kan dia cuma sampai Oktober, setiap Gubernur memiliki kebijakan masing-masing yang perlu untuk dihormati," ujarnya.
Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Rakyat Pemprov DKI Jakarta, Arifin, mengatakan RPTRA yang ada di Jakarta saat ini terkendala lahan. Hal tersebut nyaris terjadi di seluruh wilayah Jakarta. Khsusunya, di wilayah padat penduduk seperti Kecamatan Tambora dan Kecamatan Joharbaru, Jakarta Pusat.
Sebab, kata Arifin, 1 unit RPTRA minimal membutuhkan lahan seluas 500 - 1.500 meter persegi. Saking sulitnya lahan, kata dia, tahun 2017 hanya akan ditambah sebanyak 100 RPTRA di 6 wilayah Jakarta. Masing-masing sebanyak 20 RPTRA di Jakarta Barat, Timur, Utara, dan Jakarta Selatan. Sedangkan 15 RPTRA lainnya di Jakarta Pusat dan 5 sisanya di Kabupaten Kepulauan Seribu.
"Saat ini pengerjaan 100 RPTRA 2017 sudah mulai pelelangan di BPPBJ (Badan Pengadaan dan Pelelangan Barang Jasa). Total nilai kontraknya mencapai Rp 154 milliar," ungkapnya.
Jumlah itu hanya sedikit meningkat dari total RPTRA yang berhasil dibangun tahun 2016, yakni sebanyak 123 unit. Pelelangan sudah dimulai sejak 3 pekan lalu dan belum ditentukan pemenangnya.
"Dengan sulitnya lahan, perlu agak bersabar mewujudkan ambisi 1 RPTRA di tiap kelurahan bahkan RW," pungkasnya.
Sementara itu, PLT Gubernur Djarot optimis Perda RPTRA dapat dibentuk mengingat dalam pembentukan Perda bukan dibentuk oleh satu-dua anggota atau pimpinan DPRD. Artinya, apabila ditolak satu-dua orang, Perda tersebut masih bisa berjalan.
Mantan Walikota Blitar itu beralasan bahwa RPTRA itu masih dibutuhkan dan harus dilanjutkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Sehingga, kedepan RPTRA terpelihara dengan baik, kemudian fisungikan dan jadi ikon di kota besar.
"RPTRA dibutuhkan di kota-kota besar kalau di desa enggak, contoh di Bandung banyak taman kota, Surabaya. Untuk menjamin itu maka supaya kuat itu perda, kita buat perda dan kajian akademisnya untuk diajukan ke DPRD," ungkapnya.
Ketua Badan Legislatif Daerah (Balegda) DKI Jakarta, M Taufik mengatakan, RPTRA yang dibangun di Jakarta saat ini mayoritas menggunakan dana perusahaan swasta. Sehingga, kepedulian perangkat daerah terhadap keberadaan RPTRA sangat minim, akibatnya banyak fungsi RPTRA tidak seperti apa tujuannya.
Meskipun pakai anggaran daerah, lanjut Taufik, RPTRA juga tidak dijamin sesuai tujuanya apabila kebijakan pimpinan tidak dengan pendekatan kepada masyarakat. Untuk itu, kata dia, dirinya menolak usulan Plt Gubernur Djarot pembentukan peraturan daerah (Perda) terkait pengelolaan RPTRA.
"Kenapa sih ngotot banget pakai Perda. Kalau Pergub kalau berkembang bisa diganti, kalau Perda itu panjang waktunya. Saya kira nggak perlu pakai Perda," kata Taufik saat dihubungi kemarin.
Taufik menjelaskan, PLT Gubernur Djarot itu masa jabatannya hanya sampai Oktober 2017 dan setelah itu digantikan oleh Gubernur terpilih, Anies Baswedan dengan wakilnya Sandiaga Uno. Menurutnya, dengan berganti kepemimpinan, tidak menutup kemungkinan pandangan mengenai fungsi RPTRA sebagai fasilitas umum berbeda dengan pandangan PLT Djarot.
"Saya tidak mempermasalahkan kebijakan Djarot yang ingin memasukkan RPTRA ke dalam Perda. Tapi kan dia cuma sampai Oktober, setiap Gubernur memiliki kebijakan masing-masing yang perlu untuk dihormati," ujarnya.
Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Rakyat Pemprov DKI Jakarta, Arifin, mengatakan RPTRA yang ada di Jakarta saat ini terkendala lahan. Hal tersebut nyaris terjadi di seluruh wilayah Jakarta. Khsusunya, di wilayah padat penduduk seperti Kecamatan Tambora dan Kecamatan Joharbaru, Jakarta Pusat.
Sebab, kata Arifin, 1 unit RPTRA minimal membutuhkan lahan seluas 500 - 1.500 meter persegi. Saking sulitnya lahan, kata dia, tahun 2017 hanya akan ditambah sebanyak 100 RPTRA di 6 wilayah Jakarta. Masing-masing sebanyak 20 RPTRA di Jakarta Barat, Timur, Utara, dan Jakarta Selatan. Sedangkan 15 RPTRA lainnya di Jakarta Pusat dan 5 sisanya di Kabupaten Kepulauan Seribu.
"Saat ini pengerjaan 100 RPTRA 2017 sudah mulai pelelangan di BPPBJ (Badan Pengadaan dan Pelelangan Barang Jasa). Total nilai kontraknya mencapai Rp 154 milliar," ungkapnya.
Jumlah itu hanya sedikit meningkat dari total RPTRA yang berhasil dibangun tahun 2016, yakni sebanyak 123 unit. Pelelangan sudah dimulai sejak 3 pekan lalu dan belum ditentukan pemenangnya.
"Dengan sulitnya lahan, perlu agak bersabar mewujudkan ambisi 1 RPTRA di tiap kelurahan bahkan RW," pungkasnya.
Sementara itu, PLT Gubernur Djarot optimis Perda RPTRA dapat dibentuk mengingat dalam pembentukan Perda bukan dibentuk oleh satu-dua anggota atau pimpinan DPRD. Artinya, apabila ditolak satu-dua orang, Perda tersebut masih bisa berjalan.
Mantan Walikota Blitar itu beralasan bahwa RPTRA itu masih dibutuhkan dan harus dilanjutkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Sehingga, kedepan RPTRA terpelihara dengan baik, kemudian fisungikan dan jadi ikon di kota besar.
"RPTRA dibutuhkan di kota-kota besar kalau di desa enggak, contoh di Bandung banyak taman kota, Surabaya. Untuk menjamin itu maka supaya kuat itu perda, kita buat perda dan kajian akademisnya untuk diajukan ke DPRD," ungkapnya.
(mhd)