Pemerintah Pusat Diminta Ambil Alih Pengelolaan Terminal Pulogebang
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah pusat diminta mengambil alih pengelolaan Terminal Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur. Pasalnya, mundurnya jadwal peresmian terminal yang semula 21 Desember menjadi 28 Desember menjadi contoh Pemprov DKI belum siap mengelola terimnal tipe A tersebut.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan, mundurnya peresmian Terminal Pulogebang itu tentunya telah melewati uji kelayakan terminal. Apalagi pemerintah pusat sudah memiliki pengalaman Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta beberapa waktu lalu yang diundur opersionalnya lantaran belum comply dengan peraturan dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)-nya.
Artinya, kata Danang, mundurnya peresmian terminal Pulogebang sebagai terminal percontohan itu lantaran Pemprov DKI masih belum mampu mengelola terminal Tipe A sesuai dengan peraturan dan SPM-nya yang jelas sudah ada.
"Sudah ada peraturan dan SPM-nya. DKI harus berani untuk membentuk kelembagaan pengeloaan terminal," kata Danang Parikesit saat dihubungi, Selasa, 20 Desember 2016 kemarin.
Danang menjelaskan, pada awalnya pengelolaan terminal Tipe A itu telah diambil alih oleh pemerintah pusat. Namun, ada pengecualian bagi daerah yang mampu diberikan kewenangan mengelola. Bagi yang tidak mampu, akan diambil kembali oleh pemerintah pusat.
"Nah ini blunder ketika DKI mau mengelola Terminal Pulogebang. Kalau daerah tidak mampu ya harus diambil Pusat," ujarnya.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah, mengakui adanya proses administrasi di internal yang memperlambat peresmian Terminal Pulogebang. Di mana, ada perdebatan pilihan pengelolaan aset berupa 150 kios, yakni melalui Badan Layanana Umum Daerah (BLUD), kerja sama pemerintah dengan badan usaha dan pemanfaatan aset.
Namun, kata Andri, saat ini sudah diputuskan bila pengelolaan kios melalui pemanfaatan aset yang akan dilelang oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). "Pengelolaan terminal tetap dikami. Nah kalau kios itu urusan BPKAD," ujarnya.
Pada dasarnya, lanjut Andri, Pihaknya meminta pembentukan BLUD untuk Terminal Terpadu Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur. Sehingga, terminal tersebut bisa beroperasi secara mandiri. Tidak lagi membebankan APBD.
Berdasarkan hitungannya, Andri menuturkan, Terminal Pulogebang mampu menghasilkan pendapatan lebih dari Rp10 miliar per tahun. Itu pun, kata dia, hanya didapat dari media-media promosi, mulai dari spanduk maupun videotron.
"Spanduk saja, tarifnya Rp130.000 per meter persegi. Kalau besarnya 6 m x 18 m per hari, kalikan saja 365 hari. Belum lagi untuk iklan di videotron, hitungannya per menit. Di sana ada tiga videotron. Jadi bisa dapat lebih Rp10 miliar setahun dari media promosi saja," katanya.
Dengan pendapatan tersebut, lanjut Andri bisa digunakan untuk peningkatan pelayanan transportasi, seperti pembelian bus, park and ride, subsidi bus Transjakarta, dan lainnya. Namun, memang pada pengoperasian awal, BLUD masih membutuhkan pendanaan dari APBD sekitar 1 tahun.
Terkait masalah sistem Informasi Teknologi (IT) yang belum terpasang maksimal di terminal terbesar se-Asia Tenggara itu, Andri berjanji akan menyelesaikannya pada 2017 dengan anggaran murni APBD DKI 2017 sebesar Rp800 Juta. Sistem IT tersebut, di antaranya yakni membuat control room pergerakan bus di terminal dan pengintegrasian On Board Unit (obu) yang terpasang di bus AKAP dengan jaringan khusus.
"Untuk kamera CCTV sudah terpasang beberapa waktu lalu. Tinggal memasang sistem IT layaknya yang digunakan di Bandara," ujarnya
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan, mundurnya peresmian Terminal Pulogebang itu tentunya telah melewati uji kelayakan terminal. Apalagi pemerintah pusat sudah memiliki pengalaman Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta beberapa waktu lalu yang diundur opersionalnya lantaran belum comply dengan peraturan dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)-nya.
Artinya, kata Danang, mundurnya peresmian terminal Pulogebang sebagai terminal percontohan itu lantaran Pemprov DKI masih belum mampu mengelola terminal Tipe A sesuai dengan peraturan dan SPM-nya yang jelas sudah ada.
"Sudah ada peraturan dan SPM-nya. DKI harus berani untuk membentuk kelembagaan pengeloaan terminal," kata Danang Parikesit saat dihubungi, Selasa, 20 Desember 2016 kemarin.
Danang menjelaskan, pada awalnya pengelolaan terminal Tipe A itu telah diambil alih oleh pemerintah pusat. Namun, ada pengecualian bagi daerah yang mampu diberikan kewenangan mengelola. Bagi yang tidak mampu, akan diambil kembali oleh pemerintah pusat.
"Nah ini blunder ketika DKI mau mengelola Terminal Pulogebang. Kalau daerah tidak mampu ya harus diambil Pusat," ujarnya.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah, mengakui adanya proses administrasi di internal yang memperlambat peresmian Terminal Pulogebang. Di mana, ada perdebatan pilihan pengelolaan aset berupa 150 kios, yakni melalui Badan Layanana Umum Daerah (BLUD), kerja sama pemerintah dengan badan usaha dan pemanfaatan aset.
Namun, kata Andri, saat ini sudah diputuskan bila pengelolaan kios melalui pemanfaatan aset yang akan dilelang oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). "Pengelolaan terminal tetap dikami. Nah kalau kios itu urusan BPKAD," ujarnya.
Pada dasarnya, lanjut Andri, Pihaknya meminta pembentukan BLUD untuk Terminal Terpadu Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur. Sehingga, terminal tersebut bisa beroperasi secara mandiri. Tidak lagi membebankan APBD.
Berdasarkan hitungannya, Andri menuturkan, Terminal Pulogebang mampu menghasilkan pendapatan lebih dari Rp10 miliar per tahun. Itu pun, kata dia, hanya didapat dari media-media promosi, mulai dari spanduk maupun videotron.
"Spanduk saja, tarifnya Rp130.000 per meter persegi. Kalau besarnya 6 m x 18 m per hari, kalikan saja 365 hari. Belum lagi untuk iklan di videotron, hitungannya per menit. Di sana ada tiga videotron. Jadi bisa dapat lebih Rp10 miliar setahun dari media promosi saja," katanya.
Dengan pendapatan tersebut, lanjut Andri bisa digunakan untuk peningkatan pelayanan transportasi, seperti pembelian bus, park and ride, subsidi bus Transjakarta, dan lainnya. Namun, memang pada pengoperasian awal, BLUD masih membutuhkan pendanaan dari APBD sekitar 1 tahun.
Terkait masalah sistem Informasi Teknologi (IT) yang belum terpasang maksimal di terminal terbesar se-Asia Tenggara itu, Andri berjanji akan menyelesaikannya pada 2017 dengan anggaran murni APBD DKI 2017 sebesar Rp800 Juta. Sistem IT tersebut, di antaranya yakni membuat control room pergerakan bus di terminal dan pengintegrasian On Board Unit (obu) yang terpasang di bus AKAP dengan jaringan khusus.
"Untuk kamera CCTV sudah terpasang beberapa waktu lalu. Tinggal memasang sistem IT layaknya yang digunakan di Bandara," ujarnya
(whb)