Emosi, Bang Ali Coreti Lukisan Srihadi Sontoloyo!! (Bagian-4)
A
A
A
HARI Minggu akhir bulan April 1975, Ali Sadikin pergi ke TMII untuk memeriksa anjungan DKI Jaya yang akan dibuka sore harinya. Sepintas semua terlihat beres. Rapi jali. Sudah ada pot-pot bunga dan lainnya. Bang Ali pun masuk ke dalam bangunan yang tenang.
Saat memeriksa beberapa lukisan, ada satu yang menarik perhatiannya. Setelah diamati alangkah terkejutnya. Bangkit rasa tersinggung Bang Ali. Emosinya meletup. "Masa begini!" pikir bang Ali.
Bang Ali langsung menanyakan maksud lukisan itu kepada orang yang mendampinginya. Tak ada yang bisa menerangkan. Lukisan itu menggambarkan air mancur di tengah gedung-gedung tinggi di belakangnya. Berukuran 130 cm x 130 cm, pakai cat minyak. Terasa sesak nafas bang Ali melihat lukisan itu.
Cepat bang Ali mengambil spidol dari orang disekitarnya. Sejurus kamudian bang Ali melampiaskan emosi pada lukisan itu, "Sontoloyo!!" begitu bang Ali menuliskan perasaannya di atas kanvas itu, di sudut kiri.
Lalu bang Ali mundur selangkah. Lalu, maju lagi. Bang Ali juga belum puas. "Apa ini reklame barang-barang Jepang? Tulis bang Ali lagi di atas lukisan, sebelah kanan. "Banzai" gores bang Ali lagi. "Dai Nippon!!!". "Bakero".
Lepas sudah emosi bang Ali. Tak lupa Bang Ali cantumkan tanda tangan di atas lukisan yang dicoreng moreng itu. Lukisan itu buah tangan Srihadi, pelukis terkenal ITB Bandung. Judulnya 'Air Mancar' buatan tahun 1973.
Bang Ali sadar dan tahu, jangankan mencoreng lukisan, memegang dengan ujung jari pun salah, jika kita sedang melihat pameran lukisan. Tapi, lukisan itu, seperti diterangkan orang sebelumnya, sudah dibeli dan milik Pemda DKI. Bang Ali menuyuruh agar lukisan itu diturunkan dari dinding.
Di kemudian hari, timbul rasa penyesalan dalam diri bang Ali, dan mentertawakan kelakuannya itu. Tapi, maaf, bang Ali merasa dirongrong rasa terhina melihat lukisan itu. Ternyata, sikap bang Ali itu menyebar bahkan sampai pula pada pelukisnya, Srihadi.
Bang Ali pun mahfum, kalau pelukisnya marah atas apa yang sudah diperbuatnya. Srihadi dengar dari salah seorang staf bang Ali.
Ajip dan Ilen, dua sahabat bang Ali menyampaikan 'kehebohan' itu kepada gubernur. Mereka bertiga berdialog. Bang Ali masih menggambarkan kemarahannya, seperti biasa meluap-luap. Ajip pun nyeletuk. "Nah, matrosna kaluar" (Nah, matrosnya keluar. Matros itu sebutan untuk orang kapal, dari bahasa Belanda matroos.
Bang Ali cepat balas. "Lain, KKO-na kaluar! (Bukan,KKO-nya ke luar!)". Bang Ali pun menerangkan kepada mereka, mengapa kelakuannya seperti itu. Ajip dan Ilen dengan sabar menerangkan apa arti lukisan itu. Saat itu juga bang Ali minta Ajip dan Ilen pergi menemui Srihadi dan mengajaknya ke Jakarta untuk menemuinya.
Kemudian bang Ali bawa Ajip dan Ilen naik jeep keliling Jakarta. Bang Ali berkata padanya dalam bentuk pertanyaan. "Len, hayo tunjukkan mana reklame yang jorok itu, mana? Tidak ada. Beres kan?"
Ilen tertawa. Ia menerangkan agak panjang, apa arti lukisan itu. Hati bang Ali terbuka mendengar keterangan Ilen dan Ajip. Bang Ali pun merasa bersalah.
Tak lama kemudian pelukis Srihadi muncul di kantor bang Ali didampingi Ilen dan Ajip. Bang Ali pun ngobrol dengan pelukis yang tampak sekali perasaan halusnya. Lalu, bang Ali tanyakan silsilah lukisan itu.
Srihadi pun menjelaskan tema dan gagasannya membuat lukisan itu. Lukisan itu dibuat setelah dirinya kembali dari Australia tahun 1973. Ia melihat Jakarta saat itu suasananya semrawut dan tidak tertib, pemandangan kota yang dipenuhi reklame atau produksi barang apa saja yang tidak teratur. Olehnya, terlihat sepanjang jalan, di kios-kios, gubuk sampai bangunan gedung tinggi di Jakarta.
Katanya, orang melihat Jakarta akan mempunyai kesan sebuah kota yang tidak rapi. Lukisan "Air Mancar" itu adalah salah satu seri lukisan-lukisannya bertemakan "Jakarta The Big Village," katanya.
Bukan hanya produk Jepang, tetapi produksi Negara mana pun dipasang sembrang tempat. Dan, itu akan mngotori keindahan kota, merusak keindahan ibukota atau keasrian Kota Metropolitan Jakarta.
Kata Srihadi, ia menghadirkan lukisan berseri bukan poster atau sebangsanya. Setelah mendengar penjelasan Srihadi, Bang Ali paham dan mengerti pandangan pelukis ini. Jadi, ia pun melampiaskan kedongkolannya pada kanvasnya sebagai kritik. Dan yang lebih penting bagi bang Ali, bahwa pelukis dan lukisanya memberi peringatakan kepada Pemprov DKI supaya jangan sampai kota Jakarta jadi semrawut. Dan, kalau sudah semrawut hendaknya diperbaiki.
Sebagai gantinya, Bang Ali juga menumpahkan isi hatinya kepada Srihadi. "Yang muncul pada dirinya saat melihat lukisan itu adalah rasa kedongkolan disebabkan hegemoni pihak lain. Tak pantas Jakarta jorok begitu," katanya.
"Kalau begitu,sebagai buah karya seni yang mengandung sosial kritik lukisan itu berhasil, Pak," kata Srihadi. Bang Ali pun sadar atas ucapan Srihadi.
"Benar dia,". Bang Ali pun mengulurkan tangan ke Srihadi. "Yah, saya salah. Saya telah berbuat destruktif, saya minta maaf," aku Bang Ali sportif. Mereka pun berjabat tangan.
"Baiklah kita sama-sama memaafkan," kata Bang Ali. Srihadi menyambut uluran tangan Bang Ali dengan ramah dan tersenyum. Beres lah masalah lukisan.
Kepada pers, Srihadi menghargai sikap Bang Ali yang sportif. Setelah pertemuan itu hapus lah kesalahpahaman antara dirinya dan Bang Ali. Yang menarik dalam tulisan Srihadi di media, keseriusan Bang Ali menertibkan penempatan reklame yang tidak pantas di Jakarta.
Tak lupa, para seniman menyambut gembira hasil pertemuan Bang Ali dan Srihadi. Dan mereka melihat, baru kali ini ada satu lukisan dengan dua tandatangan. Satu tanda tangan Srihadi sebagai pembuat lukisan. Satu tanda tangan Bang Ali serta coreng moreng yang ditimpakan ke lukisan sebagai bentuk emosi Bang Ali.
"Sekarang saya jadi tersenyum kalau mengenang lukisan itu," aku Bang Ali. Kabar selanjutnya, lukisan itu resmi milik Pemda DKI yang berisi dua tanda tangan dan disimpan Adjie Damais di Kantor Biro Pemugaran dan Museum Jakarta.
Hubungan Bang Ali dan seniman Jakarta hampir dikatakan serasi. Bang Ali yang mengaku tidak mengerti seni menyerahkan sepenuhnya kapada para seniman. Apa ide mereka, apa permintaan mereka selalu Bang Ali luluskan.
Tak hanya itu Bang Ali melindungi kebebasan, kreativitas dan tidak pernah mencampuri urusan internal seniman. Mereka yang mengatur sendiri dunianya. Pemda DKI dan Bang Ali sebatas membantu menyediakan fasilitas yang mereka minta. Makanya, begitu Bang Ali marah besar terhadap lukisan Srihadi dengan mencoret coret gegerlah para seniman.
Keakraban Bang Ali dengan para seniman terlihat saat pendirian Taman Ismail Marzuki (TIM) wadah seniman Jakarta untuk mengekspresikan diri. Tim dibentuk setelah Bang Ali mengundang perwakilan seniman ke rumah dinasnya Jalan Suropati, Menteng, Jakpus.
Dalam kesempatan itu Bang Ali di depan para seniman mengaku tidak mengerti soal kesenian. Karena itu, Bang Ali berharap bantuan seniman untuk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dengan semangat tinggi para seniman itu saya tantang untuk mengurus diri sendiri.
Rupanya tantangan itu dijawab para seniman dengan membentuk formatur. Terdiri, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Gayus Siagian, Jayakusuma, Pirngadi, Zulharmans. Tujuannya, menyusun Dewan Kesenian Jakata (DKJ). Tanggal 7 Juni 1968 pengurus DKJ dilantik Bang Ali. Mereka terdiri 25 orang dipimpin Trisno Sumardjo. Gubernur hanya mengukuhkan karena semua pengurus dipilih para seniman sendiri.
Kehadiran DKJ yang sudah ditunggu 20 tahun akhirnya terbentuk. Melalui ketuanya Trisno Sumardjo, DKJ punya tugas berat. Sebab, para seniman tak hanya mencipta karya seni, tapi juga harus bertanggungjawab agar organisasi bisa berfungsi. Sebab, kalau gagal akan memalukan bangsa. "Saya senang para seniman bersemangat," kata Bang Ali.
Rupanya tantangan Bang Ali kepada para seniman diingat benar mereka. "Saudara-saudara seniman saya tantang untuk bekerja dalam organisasi. Kalau saudara-saudara tidak beres akan saya kerahkan pemuda-pemuda mendemontrasi saudara," tantang Bang Ali saat pertemuan di rumah dinas gubernur DKI.
Akhirnya, DKJ punya wadah bagi anggotanya untuk menyalurkan bakatnya. Yakni, dengan membangun Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang kemudian diberi nama Taman Ismail Marzuki (TIM). Pemprov DKI yang membangun dengan memilih bekas kebun binatang di Cikini seluas 8 hektare.
Akhirnya, 10 November 1968, TIM diresmikan yang ditandai digelarnya Pesta Seni Jakarta selama tujuh hari. Acara cukup meriah dengan disi drama, gending konser, beragam pameran, orkes simponi, lenong, ludruk, tarian seluruh Indonesia. Pendeknya, semua seni budaya Indonesia ditampilkan.
Lalu dibentuk Akademi Jakarta yang berangotakan seniman senior. Tugasnya, memilih pengurus DKJ. Anggota Akademi Jakarta terdiri 10 lintas seniman dengan keanggotaan seumur hidup. Mereka antara lain, pelukis Affandi, pelukis Popo Iskandar, Soedjatmoko, Pak Said dari Taman Siswa, Djayakusuma, Asrul Sani, Mochtar Lubis, pelukis Rusli, HB Yassin. Sedangkan ketuanya dijabat Sutan Takdir Alisjabana.
Bang Ali tak hanya mengurusi para seniman. Tapi, juga membantu hak-hak masyarakat Jakarta dalam memperjuangkan haknya. Makanya, begitu Adnan Buyung Nasution dan anggota Peradi menghadap agar Gubernur mengukuhkan dan Pemda DKI menyokong dana opersional LHB, Bang Ali mendukungnya.
"Sebagai gubernur saya perlu dikontrol," aku Bang Ali.
Maka, Pemda DKI pun membantu keuangan LBH Jakarta. Meski dalam praktiknya, Pemda DKI sering berperkara dengan klien LBH. Umumnya soal penggusuran. "200 kali Guberur dituntut LBH ke pengadilan. Padahal, saya ikut mendirikan LBH sekaligus penyumbang dana," aku Bang Ali.
Makanya, Bang Ali sering jengkel Buyung. Tapi, setelah berfikir memang itu tugas Buyung membantu kliennya yang merupakan kewajibannya. Waktu itu ada lembaga yang mengusulkan LBH dibubarkan. Bang Ali menolak. "Sebagai gubernur saya memerlukan lembaga pengontrol seperti LBH," aku Bang Ali. (bersambung)
Saat memeriksa beberapa lukisan, ada satu yang menarik perhatiannya. Setelah diamati alangkah terkejutnya. Bangkit rasa tersinggung Bang Ali. Emosinya meletup. "Masa begini!" pikir bang Ali.
Bang Ali langsung menanyakan maksud lukisan itu kepada orang yang mendampinginya. Tak ada yang bisa menerangkan. Lukisan itu menggambarkan air mancur di tengah gedung-gedung tinggi di belakangnya. Berukuran 130 cm x 130 cm, pakai cat minyak. Terasa sesak nafas bang Ali melihat lukisan itu.
Cepat bang Ali mengambil spidol dari orang disekitarnya. Sejurus kamudian bang Ali melampiaskan emosi pada lukisan itu, "Sontoloyo!!" begitu bang Ali menuliskan perasaannya di atas kanvas itu, di sudut kiri.
Lalu bang Ali mundur selangkah. Lalu, maju lagi. Bang Ali juga belum puas. "Apa ini reklame barang-barang Jepang? Tulis bang Ali lagi di atas lukisan, sebelah kanan. "Banzai" gores bang Ali lagi. "Dai Nippon!!!". "Bakero".
Lepas sudah emosi bang Ali. Tak lupa Bang Ali cantumkan tanda tangan di atas lukisan yang dicoreng moreng itu. Lukisan itu buah tangan Srihadi, pelukis terkenal ITB Bandung. Judulnya 'Air Mancar' buatan tahun 1973.
Bang Ali sadar dan tahu, jangankan mencoreng lukisan, memegang dengan ujung jari pun salah, jika kita sedang melihat pameran lukisan. Tapi, lukisan itu, seperti diterangkan orang sebelumnya, sudah dibeli dan milik Pemda DKI. Bang Ali menuyuruh agar lukisan itu diturunkan dari dinding.
Di kemudian hari, timbul rasa penyesalan dalam diri bang Ali, dan mentertawakan kelakuannya itu. Tapi, maaf, bang Ali merasa dirongrong rasa terhina melihat lukisan itu. Ternyata, sikap bang Ali itu menyebar bahkan sampai pula pada pelukisnya, Srihadi.
Bang Ali pun mahfum, kalau pelukisnya marah atas apa yang sudah diperbuatnya. Srihadi dengar dari salah seorang staf bang Ali.
Ajip dan Ilen, dua sahabat bang Ali menyampaikan 'kehebohan' itu kepada gubernur. Mereka bertiga berdialog. Bang Ali masih menggambarkan kemarahannya, seperti biasa meluap-luap. Ajip pun nyeletuk. "Nah, matrosna kaluar" (Nah, matrosnya keluar. Matros itu sebutan untuk orang kapal, dari bahasa Belanda matroos.
Bang Ali cepat balas. "Lain, KKO-na kaluar! (Bukan,KKO-nya ke luar!)". Bang Ali pun menerangkan kepada mereka, mengapa kelakuannya seperti itu. Ajip dan Ilen dengan sabar menerangkan apa arti lukisan itu. Saat itu juga bang Ali minta Ajip dan Ilen pergi menemui Srihadi dan mengajaknya ke Jakarta untuk menemuinya.
Kemudian bang Ali bawa Ajip dan Ilen naik jeep keliling Jakarta. Bang Ali berkata padanya dalam bentuk pertanyaan. "Len, hayo tunjukkan mana reklame yang jorok itu, mana? Tidak ada. Beres kan?"
Ilen tertawa. Ia menerangkan agak panjang, apa arti lukisan itu. Hati bang Ali terbuka mendengar keterangan Ilen dan Ajip. Bang Ali pun merasa bersalah.
Tak lama kemudian pelukis Srihadi muncul di kantor bang Ali didampingi Ilen dan Ajip. Bang Ali pun ngobrol dengan pelukis yang tampak sekali perasaan halusnya. Lalu, bang Ali tanyakan silsilah lukisan itu.
Srihadi pun menjelaskan tema dan gagasannya membuat lukisan itu. Lukisan itu dibuat setelah dirinya kembali dari Australia tahun 1973. Ia melihat Jakarta saat itu suasananya semrawut dan tidak tertib, pemandangan kota yang dipenuhi reklame atau produksi barang apa saja yang tidak teratur. Olehnya, terlihat sepanjang jalan, di kios-kios, gubuk sampai bangunan gedung tinggi di Jakarta.
Katanya, orang melihat Jakarta akan mempunyai kesan sebuah kota yang tidak rapi. Lukisan "Air Mancar" itu adalah salah satu seri lukisan-lukisannya bertemakan "Jakarta The Big Village," katanya.
Bukan hanya produk Jepang, tetapi produksi Negara mana pun dipasang sembrang tempat. Dan, itu akan mngotori keindahan kota, merusak keindahan ibukota atau keasrian Kota Metropolitan Jakarta.
Kata Srihadi, ia menghadirkan lukisan berseri bukan poster atau sebangsanya. Setelah mendengar penjelasan Srihadi, Bang Ali paham dan mengerti pandangan pelukis ini. Jadi, ia pun melampiaskan kedongkolannya pada kanvasnya sebagai kritik. Dan yang lebih penting bagi bang Ali, bahwa pelukis dan lukisanya memberi peringatakan kepada Pemprov DKI supaya jangan sampai kota Jakarta jadi semrawut. Dan, kalau sudah semrawut hendaknya diperbaiki.
Sebagai gantinya, Bang Ali juga menumpahkan isi hatinya kepada Srihadi. "Yang muncul pada dirinya saat melihat lukisan itu adalah rasa kedongkolan disebabkan hegemoni pihak lain. Tak pantas Jakarta jorok begitu," katanya.
"Kalau begitu,sebagai buah karya seni yang mengandung sosial kritik lukisan itu berhasil, Pak," kata Srihadi. Bang Ali pun sadar atas ucapan Srihadi.
"Benar dia,". Bang Ali pun mengulurkan tangan ke Srihadi. "Yah, saya salah. Saya telah berbuat destruktif, saya minta maaf," aku Bang Ali sportif. Mereka pun berjabat tangan.
"Baiklah kita sama-sama memaafkan," kata Bang Ali. Srihadi menyambut uluran tangan Bang Ali dengan ramah dan tersenyum. Beres lah masalah lukisan.
Kepada pers, Srihadi menghargai sikap Bang Ali yang sportif. Setelah pertemuan itu hapus lah kesalahpahaman antara dirinya dan Bang Ali. Yang menarik dalam tulisan Srihadi di media, keseriusan Bang Ali menertibkan penempatan reklame yang tidak pantas di Jakarta.
Tak lupa, para seniman menyambut gembira hasil pertemuan Bang Ali dan Srihadi. Dan mereka melihat, baru kali ini ada satu lukisan dengan dua tandatangan. Satu tanda tangan Srihadi sebagai pembuat lukisan. Satu tanda tangan Bang Ali serta coreng moreng yang ditimpakan ke lukisan sebagai bentuk emosi Bang Ali.
"Sekarang saya jadi tersenyum kalau mengenang lukisan itu," aku Bang Ali. Kabar selanjutnya, lukisan itu resmi milik Pemda DKI yang berisi dua tanda tangan dan disimpan Adjie Damais di Kantor Biro Pemugaran dan Museum Jakarta.
Hubungan Bang Ali dan seniman Jakarta hampir dikatakan serasi. Bang Ali yang mengaku tidak mengerti seni menyerahkan sepenuhnya kapada para seniman. Apa ide mereka, apa permintaan mereka selalu Bang Ali luluskan.
Tak hanya itu Bang Ali melindungi kebebasan, kreativitas dan tidak pernah mencampuri urusan internal seniman. Mereka yang mengatur sendiri dunianya. Pemda DKI dan Bang Ali sebatas membantu menyediakan fasilitas yang mereka minta. Makanya, begitu Bang Ali marah besar terhadap lukisan Srihadi dengan mencoret coret gegerlah para seniman.
Keakraban Bang Ali dengan para seniman terlihat saat pendirian Taman Ismail Marzuki (TIM) wadah seniman Jakarta untuk mengekspresikan diri. Tim dibentuk setelah Bang Ali mengundang perwakilan seniman ke rumah dinasnya Jalan Suropati, Menteng, Jakpus.
Dalam kesempatan itu Bang Ali di depan para seniman mengaku tidak mengerti soal kesenian. Karena itu, Bang Ali berharap bantuan seniman untuk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dengan semangat tinggi para seniman itu saya tantang untuk mengurus diri sendiri.
Rupanya tantangan itu dijawab para seniman dengan membentuk formatur. Terdiri, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Gayus Siagian, Jayakusuma, Pirngadi, Zulharmans. Tujuannya, menyusun Dewan Kesenian Jakata (DKJ). Tanggal 7 Juni 1968 pengurus DKJ dilantik Bang Ali. Mereka terdiri 25 orang dipimpin Trisno Sumardjo. Gubernur hanya mengukuhkan karena semua pengurus dipilih para seniman sendiri.
Kehadiran DKJ yang sudah ditunggu 20 tahun akhirnya terbentuk. Melalui ketuanya Trisno Sumardjo, DKJ punya tugas berat. Sebab, para seniman tak hanya mencipta karya seni, tapi juga harus bertanggungjawab agar organisasi bisa berfungsi. Sebab, kalau gagal akan memalukan bangsa. "Saya senang para seniman bersemangat," kata Bang Ali.
Rupanya tantangan Bang Ali kepada para seniman diingat benar mereka. "Saudara-saudara seniman saya tantang untuk bekerja dalam organisasi. Kalau saudara-saudara tidak beres akan saya kerahkan pemuda-pemuda mendemontrasi saudara," tantang Bang Ali saat pertemuan di rumah dinas gubernur DKI.
Akhirnya, DKJ punya wadah bagi anggotanya untuk menyalurkan bakatnya. Yakni, dengan membangun Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang kemudian diberi nama Taman Ismail Marzuki (TIM). Pemprov DKI yang membangun dengan memilih bekas kebun binatang di Cikini seluas 8 hektare.
Akhirnya, 10 November 1968, TIM diresmikan yang ditandai digelarnya Pesta Seni Jakarta selama tujuh hari. Acara cukup meriah dengan disi drama, gending konser, beragam pameran, orkes simponi, lenong, ludruk, tarian seluruh Indonesia. Pendeknya, semua seni budaya Indonesia ditampilkan.
Lalu dibentuk Akademi Jakarta yang berangotakan seniman senior. Tugasnya, memilih pengurus DKJ. Anggota Akademi Jakarta terdiri 10 lintas seniman dengan keanggotaan seumur hidup. Mereka antara lain, pelukis Affandi, pelukis Popo Iskandar, Soedjatmoko, Pak Said dari Taman Siswa, Djayakusuma, Asrul Sani, Mochtar Lubis, pelukis Rusli, HB Yassin. Sedangkan ketuanya dijabat Sutan Takdir Alisjabana.
Bang Ali tak hanya mengurusi para seniman. Tapi, juga membantu hak-hak masyarakat Jakarta dalam memperjuangkan haknya. Makanya, begitu Adnan Buyung Nasution dan anggota Peradi menghadap agar Gubernur mengukuhkan dan Pemda DKI menyokong dana opersional LHB, Bang Ali mendukungnya.
"Sebagai gubernur saya perlu dikontrol," aku Bang Ali.
Maka, Pemda DKI pun membantu keuangan LBH Jakarta. Meski dalam praktiknya, Pemda DKI sering berperkara dengan klien LBH. Umumnya soal penggusuran. "200 kali Guberur dituntut LBH ke pengadilan. Padahal, saya ikut mendirikan LBH sekaligus penyumbang dana," aku Bang Ali.
Makanya, Bang Ali sering jengkel Buyung. Tapi, setelah berfikir memang itu tugas Buyung membantu kliennya yang merupakan kewajibannya. Waktu itu ada lembaga yang mengusulkan LBH dibubarkan. Bang Ali menolak. "Sebagai gubernur saya memerlukan lembaga pengontrol seperti LBH," aku Bang Ali. (bersambung)
(ysw)