Menyusuri Jejak VOC di Gudang Timur Kasteel Batavia (Bagian-1)
A
A
A
BERBICARA soal Kota Tua Jakarta, masyarakat pada umumnya hanya mengenal kawasan wisata Kota Tua dengan ikon Museum Fatahillah. Namun ternyata, kawasan kota Tua luas sampai ke bagian utara yakni di dekat Museum Bahari atau disebut Kasteel Batavia.
Bersama Komunitas Anak Kali Ciliwung, Sindonews mencari tahu keberadaan gudang timur yang cukup terkenal di zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dibawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen itu.
Dari Museum Fatahillah ke Kasteel Batavia berjarak sekitar satu kilometer. Para pengunjung dapat menggunakan angkutan umum Mikrolet no 15 jurusan Tanjung Priok-Ancol- Kota dengan tarif Rp2.500 per penumpang, turun di depan Resto Bandar Betawi. Sedangkan bagi yang ingin berjalan kaki hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit.
Di depan area Kasteel Batavia terdapat papan nama bertuliskan Tanah ini Milik Kodam Jaya CQ. Dari pintu menuju ke Gudang Timur atau Oostzijdsche Pakhuizen. Tidak jauh dari lokasi, terdapat Jalan Tol RE Martadinata.
Gatot Sudarto (63) warga Jalan Tongkol RT 7 RW 1 yang tinggal sejak tahun 1986 mengatakan kala itu gudang masih utuh. Seiring pembangunan dan usia, sebagian gudang terkena penggusuran jalan tol dan roboh dimakan usia.
Gatot yang menjadi guide perjalanan kami bercerita, pada zaman VOC Gudang Timur digunakan untuk menyimpan logistik seperti gandum, beras, kacang tanah, kacang ijo dan kue-kue kering untuk perbekalan kapal Belanda.
Sementara untuk Gudang Barat atau Westzijdsche Pakhuizen yang kini menjadi Museum Bahari, VOC menyimpan rempah-rempah seperti lada, kopi, teh serta tekstil.
“Mulanya VOC membangun satu gudang dulu. Tidak lama tiga gudang baru langsung berdiri,” ujar Gatot kepada Sindonews, beberapa waktu lalu.
Gatot melanjutkan, luas gudang yang sekaligus digunakan sebagai benteng itu sekitar 65 hektare. Namun saat ini yang tersisa hanya satu gudang dan dalam kondisi tidak terawat. Sindonews pun diajak berkeliling lokasi Gudang Timur.
Pantauan di lokasi, kondisi jalan yang berasal dari tanah ketika hujan, maka akan cukup sulit dilalui. Tinggi gudang sekitar delapan meter. Tembok-tembok nan kokoh pada masanya kini mengelupas dan terlihat susunan bata.
“Dulu tidak memakai semen saat membangun. Selain bata, gudang ini hanya dicampur pasir dan batu kapur saja. Karena kurang perawatan, jadinya tanaman pada tumbuh ada yang kayak beringin ini tumbuh dan biasanya kalau besar bangunannya kalah dengar akar pohon,” tambah Gatot.
Di sekeliling bangunan tua ini sekarang digunakan sebagai tempat parkir truk barang maupun truk molen pengaduk semen.
Berdasarkan informasi, perusahaan swasta menyewa lahan itu untuk bisa menggunakan tempat bersejarah. Gatot menceritakan, ia sempat menjadi penjaga gudang dengan sukarela, namun tidak banyak yang dapat diperbuatnya. Ia hanya menegur orang-orang yang hendak merusak gudang yang dibuat pada 12 Maret 1619 itu.
Para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri sering mendatangi tempat ini. Bahkan lembaga PBB yang bergerak dibidang pendidikan, keilmuawan dan kebudayaan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pernah mendatangi tempat ini untuk mengecek situs bersejarah. Saat ini warga sekitar lebih mengenal Gudang Timur sebagai gudang Ditpalad.
Puas berkeliling sekitar Gudang Timur, Gatot pun membagi kisah peperangan yang terjadi masa itu. Selain sebagai tempat penyimpanan bahan logistik VOC, bangunan yang kini berusia sekira 397 tahun itu juga dijadikan sebagai benteng pertahanan.
“Pada saat itu, VOC sudah terkepung oleh pasukan kerajaan Mataram. Mereka pun panik. Akhirnya mereka membuat gudang yang sekaligus menjadi benteng pertahanan,” jelas Gatot kepada Sindonews beberapa waktu lalu.
Di luar gudang terdapat tembok-tembok tinggi menjulang. Antara tembok terdapat parit yang merupakan cara agar pasukan Mataram tidak dapat menerobos.
Saking takutnya terhadap tentara Mataram, VOC membuat dua lapis tembok. Diantara tembok juga terdapat jalan kecil yang digunakan Tentara VOC berjaga-jaga.
“Mereka (tentara VOC) kalau berjaga ganti-gantian. Memakai pistol panjang. Dari atas kan kelihatan, jika ada warga atau pasukan Mataram hendak menyelinap maka langsung ditembak,” terang Gatot sambil mempraktekan cara VOC menembak.
Untuk lebih melindungi gudang atau benteng itu, VOC pun mempersenjatai dengan meriam. Saat ditanya berapa jumlah pasti meriam yang disiapkan Belanda, Gatot kurang begitu mengetahuinya.
”Ada meriam juga, cuma saya kurang tahu persis berapa jumlahnya. Mereka bersiaga ketika pasukan Mataram mendekat,” lanjutnya.
Bersama Komunitas Anak Kali Ciliwung, Sindonews mencari tahu keberadaan gudang timur yang cukup terkenal di zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dibawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen itu.
Dari Museum Fatahillah ke Kasteel Batavia berjarak sekitar satu kilometer. Para pengunjung dapat menggunakan angkutan umum Mikrolet no 15 jurusan Tanjung Priok-Ancol- Kota dengan tarif Rp2.500 per penumpang, turun di depan Resto Bandar Betawi. Sedangkan bagi yang ingin berjalan kaki hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit.
Di depan area Kasteel Batavia terdapat papan nama bertuliskan Tanah ini Milik Kodam Jaya CQ. Dari pintu menuju ke Gudang Timur atau Oostzijdsche Pakhuizen. Tidak jauh dari lokasi, terdapat Jalan Tol RE Martadinata.
Gatot Sudarto (63) warga Jalan Tongkol RT 7 RW 1 yang tinggal sejak tahun 1986 mengatakan kala itu gudang masih utuh. Seiring pembangunan dan usia, sebagian gudang terkena penggusuran jalan tol dan roboh dimakan usia.
Gatot yang menjadi guide perjalanan kami bercerita, pada zaman VOC Gudang Timur digunakan untuk menyimpan logistik seperti gandum, beras, kacang tanah, kacang ijo dan kue-kue kering untuk perbekalan kapal Belanda.
Sementara untuk Gudang Barat atau Westzijdsche Pakhuizen yang kini menjadi Museum Bahari, VOC menyimpan rempah-rempah seperti lada, kopi, teh serta tekstil.
“Mulanya VOC membangun satu gudang dulu. Tidak lama tiga gudang baru langsung berdiri,” ujar Gatot kepada Sindonews, beberapa waktu lalu.
Gatot melanjutkan, luas gudang yang sekaligus digunakan sebagai benteng itu sekitar 65 hektare. Namun saat ini yang tersisa hanya satu gudang dan dalam kondisi tidak terawat. Sindonews pun diajak berkeliling lokasi Gudang Timur.
Pantauan di lokasi, kondisi jalan yang berasal dari tanah ketika hujan, maka akan cukup sulit dilalui. Tinggi gudang sekitar delapan meter. Tembok-tembok nan kokoh pada masanya kini mengelupas dan terlihat susunan bata.
“Dulu tidak memakai semen saat membangun. Selain bata, gudang ini hanya dicampur pasir dan batu kapur saja. Karena kurang perawatan, jadinya tanaman pada tumbuh ada yang kayak beringin ini tumbuh dan biasanya kalau besar bangunannya kalah dengar akar pohon,” tambah Gatot.
Di sekeliling bangunan tua ini sekarang digunakan sebagai tempat parkir truk barang maupun truk molen pengaduk semen.
Berdasarkan informasi, perusahaan swasta menyewa lahan itu untuk bisa menggunakan tempat bersejarah. Gatot menceritakan, ia sempat menjadi penjaga gudang dengan sukarela, namun tidak banyak yang dapat diperbuatnya. Ia hanya menegur orang-orang yang hendak merusak gudang yang dibuat pada 12 Maret 1619 itu.
Para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri sering mendatangi tempat ini. Bahkan lembaga PBB yang bergerak dibidang pendidikan, keilmuawan dan kebudayaan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pernah mendatangi tempat ini untuk mengecek situs bersejarah. Saat ini warga sekitar lebih mengenal Gudang Timur sebagai gudang Ditpalad.
Puas berkeliling sekitar Gudang Timur, Gatot pun membagi kisah peperangan yang terjadi masa itu. Selain sebagai tempat penyimpanan bahan logistik VOC, bangunan yang kini berusia sekira 397 tahun itu juga dijadikan sebagai benteng pertahanan.
“Pada saat itu, VOC sudah terkepung oleh pasukan kerajaan Mataram. Mereka pun panik. Akhirnya mereka membuat gudang yang sekaligus menjadi benteng pertahanan,” jelas Gatot kepada Sindonews beberapa waktu lalu.
Di luar gudang terdapat tembok-tembok tinggi menjulang. Antara tembok terdapat parit yang merupakan cara agar pasukan Mataram tidak dapat menerobos.
Saking takutnya terhadap tentara Mataram, VOC membuat dua lapis tembok. Diantara tembok juga terdapat jalan kecil yang digunakan Tentara VOC berjaga-jaga.
“Mereka (tentara VOC) kalau berjaga ganti-gantian. Memakai pistol panjang. Dari atas kan kelihatan, jika ada warga atau pasukan Mataram hendak menyelinap maka langsung ditembak,” terang Gatot sambil mempraktekan cara VOC menembak.
Untuk lebih melindungi gudang atau benteng itu, VOC pun mempersenjatai dengan meriam. Saat ditanya berapa jumlah pasti meriam yang disiapkan Belanda, Gatot kurang begitu mengetahuinya.
”Ada meriam juga, cuma saya kurang tahu persis berapa jumlahnya. Mereka bersiaga ketika pasukan Mataram mendekat,” lanjutnya.
(ysw)