Sejarah Mencatat Luar Batang Bukan Tanah Negara
A
A
A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta diminta membuktikan bila permukiman warga Luar Batang, Jakarta Utara, berdiri di atas lahan milik negara. Berdasarkan sejarah, tanah di kawasan tersebut bukan lah milik negara seperti yang diaku-aku Pemprov DKI Jakarta saat ini.
Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengungkapkan, kampung Pasar Ikan memiliki nilai historis yang kuat untuk Jakarta. Sebab, Pasar Ikan itu awalnya menjadi tempat transaksi jual beli ikan di kawasan Penjaringan sejak tahun 1886 yang saat itu terdapat 55 kios dan tepat berada di depan Museum Bahari.
"Kalau ditertibkan iya, tapi kalau digusur habis ini apa maksudnya? Ini lebih sensitif lagi, tidak jelas. Akan lebih baik pasar tradisional dikembalikan," ungkap Ridwan Saidi pada diskusi bertajuk “Ekspresi Warga Terhadap Kepemimpinan Ahok", Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 14 April 2016 kemarin.
Selain di Pasar Ikan, kata Ridwan, mayaritas warga Kampung Luar Batang pun berprofesi sebagai nelayan. Maka itu, Ridwan pun menolak keras Pemprov DKI Jakarta apabila hendak menggusur Kampung Luar Batang.
Sebab, selain akan menggerus peradaban, tanah yang ada di Luar Batang itu bukan lah tanah negara. Pada zaman dahulu itu, terdapat seorang tokoh bersejarah dari Yaman bernama Sayid Husein Bin Abu Bakar.
Sayid Husein Bin Abu Bakar membeli tanah di Luar Batang tapi tak menjadi tuan tanah. Selama berabad-abad lamanya, masyarakat pun telah tinggal di kawasan tersebut tapi tak membayar biaya apapun lantaran memang tanah tersebut tanah warisan leluhur.
"Lalu, Sayid Husein mengajukan pembangunan masjid. Pada tahun 1788 baru ada. Sayid lalu meninggal tapi tak ada keturunan. Jadi, itu bukan tanah negara. Makanya saya menolak habis itu. Jadi, kalau negara mengaku-aku itu tanah miliknya, negara harus membuktikan, harus menunjukkan riwayat tanah. Ini kita bicara logika saja. Enggak bisa lewat Perda," paparnya.
"Ini soal hak masyarakat, jangan asal digerus dengan alasan lu orang punya surat enggak? Kalau enggak punya surat, gue gusur. Kan ada kepemilika secara hukum, ada kepemilikan secara histori, dari abad-abad loh. Kalau ini digerus ya sejarah habis," tutupnya.
Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengungkapkan, kampung Pasar Ikan memiliki nilai historis yang kuat untuk Jakarta. Sebab, Pasar Ikan itu awalnya menjadi tempat transaksi jual beli ikan di kawasan Penjaringan sejak tahun 1886 yang saat itu terdapat 55 kios dan tepat berada di depan Museum Bahari.
"Kalau ditertibkan iya, tapi kalau digusur habis ini apa maksudnya? Ini lebih sensitif lagi, tidak jelas. Akan lebih baik pasar tradisional dikembalikan," ungkap Ridwan Saidi pada diskusi bertajuk “Ekspresi Warga Terhadap Kepemimpinan Ahok", Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 14 April 2016 kemarin.
Selain di Pasar Ikan, kata Ridwan, mayaritas warga Kampung Luar Batang pun berprofesi sebagai nelayan. Maka itu, Ridwan pun menolak keras Pemprov DKI Jakarta apabila hendak menggusur Kampung Luar Batang.
Sebab, selain akan menggerus peradaban, tanah yang ada di Luar Batang itu bukan lah tanah negara. Pada zaman dahulu itu, terdapat seorang tokoh bersejarah dari Yaman bernama Sayid Husein Bin Abu Bakar.
Sayid Husein Bin Abu Bakar membeli tanah di Luar Batang tapi tak menjadi tuan tanah. Selama berabad-abad lamanya, masyarakat pun telah tinggal di kawasan tersebut tapi tak membayar biaya apapun lantaran memang tanah tersebut tanah warisan leluhur.
"Lalu, Sayid Husein mengajukan pembangunan masjid. Pada tahun 1788 baru ada. Sayid lalu meninggal tapi tak ada keturunan. Jadi, itu bukan tanah negara. Makanya saya menolak habis itu. Jadi, kalau negara mengaku-aku itu tanah miliknya, negara harus membuktikan, harus menunjukkan riwayat tanah. Ini kita bicara logika saja. Enggak bisa lewat Perda," paparnya.
"Ini soal hak masyarakat, jangan asal digerus dengan alasan lu orang punya surat enggak? Kalau enggak punya surat, gue gusur. Kan ada kepemilika secara hukum, ada kepemilikan secara histori, dari abad-abad loh. Kalau ini digerus ya sejarah habis," tutupnya.
(whb)