Dua Wajah Anies di Pusaran Reklamasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memenuhi janjinya untuk menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta dengan mencabut izin 13 pulau reklamasi yang belum dibangun. Anies tegas menolak reklamasi karena memberikan dampak buruk kepada nelayan dan pengelola lingkungan.
Namun, langkah mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu masih menuai polemik. Pasalnya, dari 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Anies membiarkan empat pulau lainnya lolos, yakni Pulau C, D, G, dan N. Dalihnya, empat pulau tersebut telah dalam masa pembangunan dan telanjur dibangun.
Merasa dirugikan atas keputusan Anies, empat pengembang menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mereka secara terpisah menggugat Keputusan Gubernur Nomor 1409 Tahun 2018 tentang pencabutan izin 13 pulau reklamasi, tertanggal 6 September 2018.
Belum juga selesai polemik tersebut, Anies sudah menerbitkan izin reklamasi untuk perluasan kawasan Taman Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi. Izin ini tercantum dalam surat Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237/2020. Kepgub tersebut berisikan tentang izin pelaksanaan perluasan kawasan rekreasi Dufan seluas lebih kurang 35 hektare (ha) dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol seluas lebih kurang 120 hektare. Kepgub itu diteken pada 24 Februari 2020 lalu. (Baca: Izinkan Reklamasi Ancol, Pengamat Nilai Inkonsisten Kebijakan)
Keputusan Anies ini memunculkan kritik dari berbagai pihak. Lembaga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) misalnya. Mereka menilai, izin perluasan reklamasi Anies merupakan ironi kebijakannya yang pernah berjanji akan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta.
“Izin perluasan reklamasi untuk kawasan rekreasi di Pantai Ancol seluas 150 hektare merupakan ironi kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang pernah berjanji akan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta, tetapi faktanya, malah memberikan izin pada PT Pembangunan Jaya Ancol,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati.
Susan menyebut, Kepgub 237/2020 itu memiliki kecacatan hukum. Sebab, kepgub itu hanya berdasarkan pada tiga undang-undang yang dia anggap terlihat dipilih-pilih, yakni Undang-Undang Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Ketiga undang-undang tersebut terlihat dipilih oleh Anies Baswedan karena sesuai dengan kepentingannya sebagai Gubernur DKI Jakarta,” ucapnya.
Padahal, kata Susan, dalam pengaturan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, harusnya juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 2/2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Kenapa UU tersebut tidak dijadikan dasar oleh Anies,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai, konsisten atau tidaknya Anies dalam menjalankan keputusan bisa dilihat saat janji kampanyenya dulu. Jika saat kampanye dia menjanjikan akan menyetop seluruh proyek reklamasi, tapi sekarang nyatanya malam membuka kembali itu namanya tidak konsisten. “Dari situ saja, kita melihat apakah Anies konsisten atau tidak,” katanya. (Baca juga: Iran Keluarkan Surat Printah Penahanan untuk Trump dan 35 Pejabat AS)
Pengajar Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Jakarta ini menilai, pembangunan reklamasi harus memenuhi syarat utama soal dampak lingkungan. Jika proyek itu banyak merugikan nelayan dan ekosistem alam, sebaliknya dibatalkan. “Izin amdalnya ada tidak, bagaimana kajiannya. Kalau merugikan masyarakat harus dibatalkan,” ungkapnya.
Ditolak
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Manuara Siahaan tak setuju dengan adanya reklamasi Ancol yang diizinkan Gubernur Anies. Menurut dia, rencana perluasan lahan di tempat wisata itu bisa dihentikan lantaran tidak ada urgensi yang dilihat pihaknya. “Bisa dihentikan itu (reklamasi Ancol). Kalau DPRD ini secara kolektif kolegial memandang itu melanggar hukum dan belum urgen saat ini, bisa saja (disetop),” kata Manuara, kemarin.
Dia mempertanyakan izin reklamasi yang diberikan Anies pada PT Pembangunan Jaya Ancol. Bahkan, dia menuding reklamasi Ancol kental dengan komersialisasi. “Ancol ini bisa dijadikan mainan bisnis properti. Salah satu bidang usahanya adalah properti. Bisa saja mungkin ada ekspansi untuk mengembangkan bisnis properti di samping bisnis hiburannya,” ujarnya. (Baca juga: Kemenkop Bikin Kolaborasi untuk Bantu Warung Tradisional)
Dia menganggap reklamasi Ancol tidak sesuai dengan janji kampanye Anies saat maju di Pilkada 2017 yang tidak setuju dengan reklamasi. “Iya, tidak sesuai janji. Penyelenggara pemerintahan itu harus konsisten. Akuntabilitas kebijakan publik itu yang utama. Jadi, jangan keluarkan kebijakan yang tidak dipertanggungjawabkan, tidak akuntabel,” kata Manuara.
Bangun 4.000 Rusun Nelayan
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Justin Andrian Untayana meminta Gubernur Anies dan pengembang proyek reklamasi kawasan Ancol membangun 4.000 unit rusun nelayan. Menurut dia, dalam Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020, diatur berbagai kewajiban yang harus dipenuhi pihak pengembang, seperti menyediakan utilitas hingga membangun ruang terbuka hijau (RTH). Pengembang juga wajib menyerahkan 5% atau sekitar 6 hektare lahan dari luas kotor daerah yang berhasil diperluas lebih kurang 35 hektare dan 120 hektare wajib diserahkan pada Pemprov DKI. (Baca juga: Tingkat Kesembuhan Pasien Covid-19 di Papua Meningkat)
“Wilayah Jakarta Utara masih terdapat ribuan warga Jakarta yang hidup di rumah tidak layak dan lingkungan tidak sehat. Oleh karena itu, menurut kami akan lebih baik apabila lahan 6 hektare itu digunakan untuk membangun permukiman nelayan,” ucap Justin, kemarin.
Menurut dia, kawasan permukiman nelayan tersebut bisa berupa kompleks terpadu yang di dalamnya terdapat unit rusun, pasar, sekolah, dan puskesmas. “Agar penggunaan lahan lebih efisien, maka permukiman tersebut sebaiknya berupa rumah susun (rusun). Kami perkirakan, di lahan 6 hektare bisa dibangun setidaknya 4.000 unit rusun. Dengan asumsi tiap tower memiliki 16 lantai dan luas unit rusun 50 meter persegi,” ungkapnya.
Agar tidak membebani APBD, kata Justin, Anies bisa memerintahkan pihak pengembang menyisihkan keuntungannya untuk membangun rusun nelayan. Caranya, memanfaatkan klausul “kontribusi tambahan” yang terdapat dalam Kepgub 237/2020 diktum keempat huruf b angka 3 yang berbunyi, “Kewajiban tambahan yang akan ditetapkan oleh Gubernur”. (Lihat videonya: Bantu Perekonimian Warga, Karang Taruna Gunung Kidul Dirikan Pasar Sedekah)
“Penggunaan klausul kontribusi tambahan merupakan diskresi gubernur. Kasarnya, suka-suka gubernur mau dipakai untuk apa. Oleh karena itu, urusannya sederhana karena hanya butuh political will. Jika gubernur mau, maka akan terwujud rusun untuk nelayan. Tapi, kalau gubernur tidak ada niat membantu rakyat, maka akan ada banyak alasan,” tuturnya. (Bima Setiyadi)
Namun, langkah mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu masih menuai polemik. Pasalnya, dari 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Anies membiarkan empat pulau lainnya lolos, yakni Pulau C, D, G, dan N. Dalihnya, empat pulau tersebut telah dalam masa pembangunan dan telanjur dibangun.
Merasa dirugikan atas keputusan Anies, empat pengembang menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mereka secara terpisah menggugat Keputusan Gubernur Nomor 1409 Tahun 2018 tentang pencabutan izin 13 pulau reklamasi, tertanggal 6 September 2018.
Belum juga selesai polemik tersebut, Anies sudah menerbitkan izin reklamasi untuk perluasan kawasan Taman Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi. Izin ini tercantum dalam surat Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237/2020. Kepgub tersebut berisikan tentang izin pelaksanaan perluasan kawasan rekreasi Dufan seluas lebih kurang 35 hektare (ha) dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol seluas lebih kurang 120 hektare. Kepgub itu diteken pada 24 Februari 2020 lalu. (Baca: Izinkan Reklamasi Ancol, Pengamat Nilai Inkonsisten Kebijakan)
Keputusan Anies ini memunculkan kritik dari berbagai pihak. Lembaga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) misalnya. Mereka menilai, izin perluasan reklamasi Anies merupakan ironi kebijakannya yang pernah berjanji akan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta.
“Izin perluasan reklamasi untuk kawasan rekreasi di Pantai Ancol seluas 150 hektare merupakan ironi kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang pernah berjanji akan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta, tetapi faktanya, malah memberikan izin pada PT Pembangunan Jaya Ancol,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati.
Susan menyebut, Kepgub 237/2020 itu memiliki kecacatan hukum. Sebab, kepgub itu hanya berdasarkan pada tiga undang-undang yang dia anggap terlihat dipilih-pilih, yakni Undang-Undang Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Ketiga undang-undang tersebut terlihat dipilih oleh Anies Baswedan karena sesuai dengan kepentingannya sebagai Gubernur DKI Jakarta,” ucapnya.
Padahal, kata Susan, dalam pengaturan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, harusnya juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 2/2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Kenapa UU tersebut tidak dijadikan dasar oleh Anies,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai, konsisten atau tidaknya Anies dalam menjalankan keputusan bisa dilihat saat janji kampanyenya dulu. Jika saat kampanye dia menjanjikan akan menyetop seluruh proyek reklamasi, tapi sekarang nyatanya malam membuka kembali itu namanya tidak konsisten. “Dari situ saja, kita melihat apakah Anies konsisten atau tidak,” katanya. (Baca juga: Iran Keluarkan Surat Printah Penahanan untuk Trump dan 35 Pejabat AS)
Pengajar Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Jakarta ini menilai, pembangunan reklamasi harus memenuhi syarat utama soal dampak lingkungan. Jika proyek itu banyak merugikan nelayan dan ekosistem alam, sebaliknya dibatalkan. “Izin amdalnya ada tidak, bagaimana kajiannya. Kalau merugikan masyarakat harus dibatalkan,” ungkapnya.
Ditolak
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Manuara Siahaan tak setuju dengan adanya reklamasi Ancol yang diizinkan Gubernur Anies. Menurut dia, rencana perluasan lahan di tempat wisata itu bisa dihentikan lantaran tidak ada urgensi yang dilihat pihaknya. “Bisa dihentikan itu (reklamasi Ancol). Kalau DPRD ini secara kolektif kolegial memandang itu melanggar hukum dan belum urgen saat ini, bisa saja (disetop),” kata Manuara, kemarin.
Dia mempertanyakan izin reklamasi yang diberikan Anies pada PT Pembangunan Jaya Ancol. Bahkan, dia menuding reklamasi Ancol kental dengan komersialisasi. “Ancol ini bisa dijadikan mainan bisnis properti. Salah satu bidang usahanya adalah properti. Bisa saja mungkin ada ekspansi untuk mengembangkan bisnis properti di samping bisnis hiburannya,” ujarnya. (Baca juga: Kemenkop Bikin Kolaborasi untuk Bantu Warung Tradisional)
Dia menganggap reklamasi Ancol tidak sesuai dengan janji kampanye Anies saat maju di Pilkada 2017 yang tidak setuju dengan reklamasi. “Iya, tidak sesuai janji. Penyelenggara pemerintahan itu harus konsisten. Akuntabilitas kebijakan publik itu yang utama. Jadi, jangan keluarkan kebijakan yang tidak dipertanggungjawabkan, tidak akuntabel,” kata Manuara.
Bangun 4.000 Rusun Nelayan
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Justin Andrian Untayana meminta Gubernur Anies dan pengembang proyek reklamasi kawasan Ancol membangun 4.000 unit rusun nelayan. Menurut dia, dalam Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020, diatur berbagai kewajiban yang harus dipenuhi pihak pengembang, seperti menyediakan utilitas hingga membangun ruang terbuka hijau (RTH). Pengembang juga wajib menyerahkan 5% atau sekitar 6 hektare lahan dari luas kotor daerah yang berhasil diperluas lebih kurang 35 hektare dan 120 hektare wajib diserahkan pada Pemprov DKI. (Baca juga: Tingkat Kesembuhan Pasien Covid-19 di Papua Meningkat)
“Wilayah Jakarta Utara masih terdapat ribuan warga Jakarta yang hidup di rumah tidak layak dan lingkungan tidak sehat. Oleh karena itu, menurut kami akan lebih baik apabila lahan 6 hektare itu digunakan untuk membangun permukiman nelayan,” ucap Justin, kemarin.
Menurut dia, kawasan permukiman nelayan tersebut bisa berupa kompleks terpadu yang di dalamnya terdapat unit rusun, pasar, sekolah, dan puskesmas. “Agar penggunaan lahan lebih efisien, maka permukiman tersebut sebaiknya berupa rumah susun (rusun). Kami perkirakan, di lahan 6 hektare bisa dibangun setidaknya 4.000 unit rusun. Dengan asumsi tiap tower memiliki 16 lantai dan luas unit rusun 50 meter persegi,” ungkapnya.
Agar tidak membebani APBD, kata Justin, Anies bisa memerintahkan pihak pengembang menyisihkan keuntungannya untuk membangun rusun nelayan. Caranya, memanfaatkan klausul “kontribusi tambahan” yang terdapat dalam Kepgub 237/2020 diktum keempat huruf b angka 3 yang berbunyi, “Kewajiban tambahan yang akan ditetapkan oleh Gubernur”. (Lihat videonya: Bantu Perekonimian Warga, Karang Taruna Gunung Kidul Dirikan Pasar Sedekah)
“Penggunaan klausul kontribusi tambahan merupakan diskresi gubernur. Kasarnya, suka-suka gubernur mau dipakai untuk apa. Oleh karena itu, urusannya sederhana karena hanya butuh political will. Jika gubernur mau, maka akan terwujud rusun untuk nelayan. Tapi, kalau gubernur tidak ada niat membantu rakyat, maka akan ada banyak alasan,” tuturnya. (Bima Setiyadi)
(ysw)